06 : Kebencian Galang

159 24 9
                                    

Pagi tiba dan ternyata Langit masih absen di meja makan, hanya ada Abimanyu, anak-anak Papa Baskara, serta Bunda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi tiba dan ternyata Langit masih absen di meja makan, hanya ada Abimanyu, anak-anak Papa Baskara, serta Bunda. Tidak ada yang berani menanyakan Langit setelah Abimanyu memberi ultimatum kalau Langit sakit dan jangan ada yang mengusiknya di kamar. Papa dan Bunda bereaksi sama, mereka hanya mengangguk saja. Sementara Galang dan Devan yang tahu hanya saling melirik biasa. Seolah ada telepati antara mereka berdua yang yakin kalau Langit masih dikurung di kamar atas.

Devan, sih, tidak begitu peduli. Hama di meja makan telah berkurang satu. Begitu juga dengan Galang yang merasakan hal yang sama dengan Devan. Tinggal Abimanyu yang harus mereka singkirkan. Kalau hoki, Bunda juga bisa pergi dari rumah. Toh, kalau mereka berpikir naif, mereka hanya ingin adik-adik mereka memiliki sosok ibu, bukan sosok saudara tiri.

"Rain, nanti aku panggil dokter ke rumah, ya. Kamu jangan dulu kerja," ucap Papa ketika sudah menyelesaikan sarapannya.

Bunda mengangguk. Ia juga sudah selesai sarapan dan mengangkut piring-piring itu ke dapur. "Kira-kira datang jam berapa, ya, Mas?" tanya Bunda sambil berjalan. Ada juga beberapa pembantu yang ikut membantu Bunda dan mencuci piring.

Papa melihat jam di tangannya, diam sejenak sambil memperkirakan kapan temannya datang ke rumah. "Sepertinya... antara jam 9 atau jam setengah 10, dia baru pulang dari Solo kemarin, sih—"

"Yang lain aja, deh, Mas. Kasihan dokternya baru pulang dari Solo..." tolak Bunda yang berdiri di dekat Papa.

Papa menggeleng sambil membereskan barang-barangnya di tas kerja. "Santai aja, Rain. Dia memang sering bolak-balik, kebetulan masih libur juga dia. Aku udah chat, kok. Katanya bisa ke sini. Dia temenku, Rain, jadi jangan sungkan."

"Om Gibran, ya, Pa?" si paling bungsu langsung menebak begitu saja. Wajahnya cerah dengan senyuman lebar.

Papa ikut tersenyum. "Iya, Fi, om Gibran."

"Aku pengen ketemu sama om Gibran tapi aku harus sekolah..."

"Lain kali aja, Fi. Om Gibran gak bakal ke mana-mana kok."

Daffi mengulum bibirnya dengan pasrah. "Oke, Pa."

Bunda akhirnya mengangguk dan membiarkan suaminya yang mengurus ini dan itu. "Ya sudah kalau begitu. Makasih, ya, Mas."

"Iya, Rain. Sudah kewajiban aku sebagai ayah sambung Langit."

Devan melirik penasaran dan tidak tahan karena sedari tadi diam saja. "Langit sakit apa, sih, Pa? Sampe dibawa om Gibran ke sini. Kalau masih bisa toleransi pakai obat warung kenapa gak pakai obat warung aja? Kasian kalau hari ini dia gak sekolah," tanya Devan lengkap dengan ekspresi manipulatifnya yang pura-pura berempati padahal ia hanya penasaran saja.

Abimanyu menatap Devan dengan ekspresi tidak sukanya. "Kalau udah ke dokter itu artinya gak bisa pake obat warung."

"Aku cuma tanya?" Devan langsung menyolot, mengerutkan dahinya drastis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Candramawa Sang LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang