PROLOG

137 31 20
                                    

HAPPY READING

Mega merah menjadi pengantar sang surya yang tengah berpulang menuju mahligai. Dengan kilauan nirmala yang meramu nirwana, ia banyak menyita netra pengagum permai. Bentang cakrawala yang melahap habis bara seolah menjadi primadona buana. Juga kesiur anila yang menyejukkan jiwa lakon sandiwara, menuntunnya untuk beradu barang sejenak cahaya, membuang segala kepenatan dengan sisa-sisa karsa.

Namun, di tengah kecerlangan yang candu, seorang gadis berpipi tembam dengan ukiran lesung manis tak lagi memperhatikan pesona nabastala. Remaja berusia 20 tahunan tersebut tengah tenggelam dalam ilusinya sendiri, dengan perkara yang bergerak berisik dalam kepalanya. Sesuatu yang menggiringnya untuk menumpang bahtera harsa nan membawa sukma menuju analekta kirana asmaraloka. Bahkan headset yang tersemat di telinganya seolah sedang menggaungkan kidung-kidung mantra yang menyihirnya lewat alunan nada. Ralat, bukan nyanyian yang menyihir gadis itu, melainkan sosok laki-laki yang tengah bercerita dalam pikirannya.

Langkahnya bergerak pasti tanpa kepastian. Bibirnya mengukir senyum manis pertanda kegembiraan. Tiada suatu apa yang terlintas dalam pikirannya, selain sebait kata dari sang peramu cinta. Ia terlampau berpusat pada apa yang ia rasa, hingga abai dengan segala perkara di sekitar, semua tragedi di sekelilingnya terkalahkan oleh ilusi niskala nan anindita.

Jika hidup adalah kehancuran, maka cinta adalah pertahanan. Kalimat itu terbesit dalam ingatannya, lengkap dengan pesona si penutur.

Gadis itu terus berjalan sembari mengamati lukisan yang dibawanya. Sebuah lukisan abstrak yang mendeskripsikan kehancuran dan sesosok wanita berambut sebahu yang terlahap oleh cahaya yang begitu berseri. Di ujung kiri-bawah lukisan tersebut terdapat sebait kalimat juga paraf pelukisnya. Hanya sekedar menuliskan ilusi yang kau buat, mengapa nona layaknya penyihir? Aku tersihir kau buat. Kembali ia baca tulisan itu dalam kalbunya.

Gadis itu menghela napas, bagaimana bisa seorang seniman berkata layaknya pujangga? Ia tertawa kecil disertai pipi tembamnya yang tiba-tiba merona. "Bukan aku yang penyihir, tapi kau yang berhasil menyihirku-

Kalimatnya terhenti oleh suara decitan rem yang mendadak. Ia refleks menoleh ke sumber suara dan baru menyadari dirinya tengah berada di tengah jalan raya. Ya, ia tahu ia tadi sedang menyeberang, tapi kenapa ia baru menyadari jika ia masih berada di sana? Lukisan itu benar-benar telah menyihirnya. Atau pelukisnya? Dan yang lebih mengejutkan, sebuah bus dengan dua tingkat tengah melaju di depan sana, tepat menuju ke arahnya. Jaraknya tak cukup jauh bagi sang sopir untuk menarik tuas rem dengan tepat waktu.

Jantung gadis itu terpacu, pikirannya tak karuan. Tiada satu apa pun yang melintas di kepalanya. Ia benar-benar diam di tempat tanpa melakukan suatu apa. Ia merasa pasrah dengan kehidupannya. Mungkin ini adalah hukuman bagi gadis itu yang telah berani mendamba, begitulah pikirnya.

Namun, di saat napasnya seakan tak lagi terembus, mengapa sosok laki-laki itu kembali terbayang? Gadis itu telah gila. Dan saat itulah, bus itu menghantam dirinya. Di saat gadis itu tengah melirihkan sebait nama, bersamaan dengan bus yang menyerempet tubuhnya dan berakhir dengan menabrak perbatasan jalur lalu lintas.

Banyak insan berteriak histeris, menutup mata dengan perasaan takut serta iba. Gadis itu tergeletak tak sadarkan diri dengan bersimbah darah.

"Benar-benar cerita yang tragis," ucap seorang wanita yang baru saja selesai mengetik sepenggal cerita tersebut dalam novel yang ia buat. Scan di mana seorang gadis tertabrak bus dua tingkat karena terbutakan oleh cinta.

***

Holla!
Gimana prolognya?
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya.
Sampai jumpa di chapter 1!

MAJNUN NISKALA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang