LANGIT TANPA GEMINTANG

15 8 0
                                    

HAPPY READING

Rintihan pilu membisingkan sukmaku

Mengisi cawan-cawan perunggu berukir sembilu

Kucari, nyatanya bisik semilir angin yang lalu

Menelisik, memainkan seruling pusaka daku

Menyapa, menjerat padu

Bisikannya yang memanggil-manggil asmaku,

Seolah menulikan gendang rungu

Menghunjam renjana dari balik luka tanpa pelaku

Menjebloskanku pada ruang sunyi tanpa pandu

Hari Jumat pukul 18.40. Lagi-lagi aku kembali menyendiri di perpustakaan fakultas Humaniora. Atau aku memang selalu sendiri? Berteman dengan sunyi, aku seolah sedang berdebat dengan diri. Menyilangkan perkara-perkara yang datang sebagai penghibur hati.

Duduk menyendiri di bangku pojok paling belakang dekat jendela, aku tengah membaca buku yang harusnya sudah selesai kupelajari di sore-sore yang lalu. Tapi laki-laki itu mengacaukan jadwalku, bahkan merusak agendaku di malam hari.

Melihat keluar jendela, aku tengah menatap nabastala nan luas sebagai obat dari kejenuhan. Menghela napas dengan sisa-sisa kewarasan pada kantong-kantong jiwa. Memang benar, pada semenjana rasa yang memorak-poranda, renjana memanglah pemenangnya. Ia membisukan puing-puing luka tanpa menuntut sembilu. Menggiringnya dengan kegilaan yang mustahil untuk sembuh. Padahal Tuan hanya menyingkap kelambu, melirik jiwa yang sedang terseduh.

Lihatlah keluar sana, mega merah kembali menjadi pengantar sang surya yang berpulang. Senja tinggal dengan titipan pesan singkat dari baskara, dengan harapan rindunya sampai kepada sang candra. Esok jika rembulan membalas perasaannya, ia akan mendapat pesan balasan yang dititipkan pada arunika dengan berbahagia.

Oh ayolah, Tuan! Aku tidak perlu menulis secarik surat dan menitipkannya pada kesiur anila untuk menyampaikan perasaan rindu ini, bukan? Atau aku perlu memanggil hujan untuk membisikkan pesan singkat bahwa aku tengah merindu sosokmu yang hirap tanpa berpamitan, apalagi janji untuk pulang? Sebab rinai tak 'kan datang, rintiknya telah habis oleh tangisku tadi malam. Angin tak 'kan mampu menerbangkan suratan rindu, karena rasa ini terlalu kuat untuk ditandu.

Aku mengembuskan napas kasar. Sudah tiga hari seniman itu tidak menemuiku, mengingkari janji-janjinya untuk datang pada malam-malam bertabur bintang yang seketika menjadi kelam tanpa hadirnya. Membiarkanku menjadi seonggok jiwa bisu dengan rasa yang menggebu. Menggerogoti sisa kewarasanku yang sudah tersisa selapis tisu.

Waktu berjalan seolah merangkak. Semalam tanpa gemintang begitu hampa. Membuat rindu ini semakin membengkak. Nabastala kosong hanya akan menjadi kelam, bukan? Dan itulah yang tengah kulihat saat ini. Langit telah melepas warna jingganya, digantikan gelap penuh awan mendung. Memperhatikannya dari balik jendela yang terbuka, hawa dingin seolah menusuk hingga ke tulang, aku tengah menantikan setitik bintang hadir bersemayam pada nabastala. Tapi apakah mungkin?

Aku meremukkan kertas di hadapanku. Berani-beraninya laki-laki itu menghilang setelah pertanyaannya di malam itu? Meramu nirwana katanya? Lantas ke mana ia sekarang? Aku menutup buku yang tadi kubaca. Buku sejarah seni ini terlalu melekat dalam diri Kavi! Membacanya hanya membuatku semakin menderita saja.

Beranjak dari kursi, aku memutuskan untuk keluar dari perpustakaan. Mungkin untuk berjalan-jalan, menjernihkan otak?

Udara dingin langsung menerpaku saat menuju pintu perpustakaan. Dinginnya seolah ikut membekukan rindu yang berdomisili di hati. Aku mengedarkan pandang, hanya sepi yang kudapati. Lagi pula, siapa yang akan menghabiskan malam yang dingin ini di kampus? Mungkin hanya secuil mahasiswa yang terpaksa datang untuk mengikuti kelas hingga pukul 20.00 atau mereka yang memang memiliki keperluan lain.

MAJNUN NISKALA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang