TANGAN-TANGAN KEMBOJA

51 18 26
                                    

HAPPY READING

Tidak ada hal istimewa di pagi yang cerah ini. Aku hanya bangun pukul 6 pagi seperti biasa, mencuci muka, lalu pergi ke dapur untuk membuat segelas susu hangat. Dilanjut dengan menonton televisi, bermain gawai, sembari memakan camilan. Bermalas-malasan memang hal yang paling tepat dilakukan saat libur akhir pekan.

Kembali kutekan tombol pada remot control untuk mengganti saluran televisi, tapi tidak kutemukan acara yang menarik. Jadi aku putuskan untuk mematikannya saja. Hari ini benar-benar membosankan.

Aku mengembuskan napas berat. "Baiklah, mari kita keluar dari gua ini dan berjalan-jalan sejenak."

Beberapa menit bersiap-siap, aku kini telah berjalan pada jalan setapak yang tenteram. Pepohonan yang berjajar membuat udara di daerah ini menjadi lebih segar. Mood-ku langsung berubah menjadi lebih baik. Kuperhatikan keramaian di sekitarku. Orang-orang yang tengah berpiknik bersama keluarga di taman kota, berjalan-jalan bersama teman maupun pasangan. Sepertinya hanya aku yang sendirian.

"Hai, Nona." Sapaan itu mengagetkanku, membuatku langsung menoleh pada sumber suara. "Apa yang sedang Nona lakukan sendirian di sini?"

Aku menghela napas berat, kenapa harus orang ini lagi. Masih belum puaskah ia telah membuatku terjaga tadi malam? "Harusnya aku yang bertanya, mengapa kau ada di sini?"

Aku mendapatinya tertawa renyah. Lantas berucap, "Nona, aku yang bertanya terlebih dahulu, seharusnya kau menjawabnya, bukan balik bertanya."

"Ck, kau tidak lihat aku sedang berjalan?" Aku merotasikan bola mata.

"Daripada berjalan, aku melihatmu sedang menyihirku, Nona. Kau terlalu memesona."

Ucapannya mampu membuatku membisu. Aku tersanjung, mungkin pipiku sudah memerah. Entah sejak kapan jantungku menjadi lemah. Ia sering kali berdebar. Tapi anehnya, hanya saat aku bersamanya. Aku tertawa untuk menetralkan keadaanku. "Lalu, sedang apa kau di sini?"

"Aku tengah merakit bahtera harsa, Nona." Sekali lagi aku dibuat terdiam olehnya. "Kau bisa melihatnya, bukan? Hanya orang dengan ketulusanlah yang dapat melihat perahu tersebut. Dan aku yakin Nona sedang memandanginya sekarang."

Perkataannya memang sedikit rumit, tapi aku dapat memahaminya. Ternyata tidak percuma aku kuliah dengan jurusan sastra. Yaa, selain cerita-cerita dan puisi-puisi yang berserakan di kamarku, yang belum memperoleh hunian.

Entah kenapa aku malah tersenyum lantas bergumam, "Ya, aku melihatnya. Sedikit lagi bahtera itu akan sempurna."

"Tentu saja. Ia akan segera sempurnya jika Niskala bersedia menumpanginya."

Aku menoleh, memperhatikannya yang tengah berjalan di samping kananku. "Bukankah akan lebih rumit jika dengan niskala?"

Ia balik menatapku. "Tidak, Nona. Jika Nirwana juga ikut berkenan. Bukankah ia puncak dari segala karsa?"

Ia membuatku terkekeh, "Kau sungguh pandai merakit kata, Kavi."

"Terima kasih. Untuk pertama kalinya kau menyebut namaku, Nona Nirwana."

"Terima kasih kembali. Tapi orang-orang biasa memanggilku Kala."

Langkahnya berhenti, membuatku ikut menghentikan langkah. "Kala ... waktu? Tidak-tidak, waktu sering kali membuatku menunggu. Biarkan aku memanggilmu Nirwana. Lagi pula orang-orang biasa memanggilku Auriga, tapi kau memanggilku Kavi."

MAJNUN NISKALA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang