BINTANG REDUP

13 8 0
                                    

HAPPY READING

Seruan itu membuat mereka semua menoleh, begitu pula denganku. Kudapati seorang pemuda tampan berkulit putih cerah dengan kemeja putih bergaris. Rambutnya yang tersisir rapi tampak bergelombang dan ringan terembus angin malam.

Dengan langkah lebarnya, ia berjalan menuju ke arahku. Mengulangi ucapan sebelumnya dengan dingin. “Lepaskan istri saya.” Netranya yang seolah beku menatap orang yang menahanku.

Sekali sentakan, laki-laki yang memangkuku mendorongku dengan kasar. Membuatku hampir terjerumus ke tanah jika pemuda itu tak menolongku. Tatapan laki-laki itu penuh rasa tidak suka yang menguar begitu jelas saat menghadapi pemuda yang menolongku. “Ayolah, Bro. Gue cuma pengen ngajak dia main bentaran doang.” Lantas menatapku penuh nafsu, dengan seringainya yang membuat bulu romaku berdiri.

“Istri saya bukan untuk mainan. Jangan pernah menyentuhnya, atau anda akan tahu akibatnya.” Lantas ia menarikku pergi dari sana. Berjalan tepat ke tempat yang ingin kutuju.

“Anda baik-baik saja?” tanyanya dengan lembut dan begitu sopan.

Sedang tubuhku masih bergetar ketakutan. Aku mengangguk, dengan patah-patah mengucap terima kasih.

“Maaf soal yang tadi.” Aku menoleh ke arahnya, menampakkan raut bertanya. “Maaf karena telah menyebut anda sebagai istri saya. Saya refleks mengatakannya tadi saat melihat anda sepertinya tak nyaman dan dipaksa.”

Aku kembali mengangguk. Dengan cepat, kami hampir sampai di padang rumput itu. Seolah ia mengikuti alur langkahku dan mengarah ke sana tanpa tanya.

“Oh iya, saya lupa belum memperkenalkan diri. Saya Kivandra. Boleh saya tahu nama anda?” Pemuda yang ternyata bernama Kivandra itu mengulurkan tangannya untuk berjabat.

Aku terdiam, begitu pula dengan langkah kami yang terhenti, padahal tujuan kami sudah di depan mata. Jujur saja, aku takut untuk kembali berkenalan dengan orang baru. Menambahkan mereka dalam daftar hadir di buku kehidupanku. Aku takut jika ia hanya akan mencantumkan namanya, melihat-lihat sejenak lantas pergi. Aku tak ingin terlalu berharap akan ada orang yang berdiri di sampingku.

Tapi, menolak berkenalan dengannya bukanlah keputusan yang baik, sebab di telah menolongku. “Namaku Kala, Niskala Nirwana,” ucapku setelah beberapa pertimbangan. Menjabat tangannya yang telah lama terulur. Dan kembali berjalan dengan dia melangkah di sampingku.

Kivandra tersenyum. “Salam kenal. Saya rasa, saya akan memanggil anda Nirwana. Orang bilang, nama adalah doa, bukan?”

Ucapannya barusan membuatku tertegun. Satu lagi orang yang menyebutku dengan asma Nirwana. Tapi, aku hanya mengangguk, mengiyakan. “Santai aja, nggak perlu terlalu formal. Lagi pula, sepertinya aku lebih muda darimu.”

“Ah, ya. Saya kira anda akan kurang nyaman jika saya menggunakan bahasa informal. Akan terlihat sok akrab.” Ia menggaruk tengkuknya. “Ngomong-ngomong, apa yang anda lakukan sendirian di sini malam-malam seperti ini? Daerah ini rawan kejahatan. Tidak seharusnya seorang perempuan berkeliaran sendirian malam hari.”

Tidak ada jawaban dariku. Hanya tatapanku yang berubah menjadi kosong setelah mendengar pertanyaannya. Mengapa aku ada di sini sendirian? Aku tidak mungkin menceritakannya pada orang asing, bukan?

Sepertinya Kivandra menyadari perasaanku yang enggan untuk bercerita, sehingga ia berucap, “Maaf. Anda tidak perlu menjawabnya jika memang tidak berkenan.”

Kami sudah sampai di padang rumput itu saat ia meminta maaf untuk ke sekian kalinya dalam pertemuan tak terduga ini. Aku hanya menanggapinya dengan gelengan kecil. Tidak apa. Lantas ia kembali berucap, “Sekali lagi saya meminta maaf karena telah lancang.” Ia bergumam sejenak. “Tapi, apakah boleh saya menemani anda untuk malam ini? Setidaknya sampai saya yakin anda pulang dengan selamat.”

Tawarannya membuatku menoleh.

“Oh, tentu saja anda boleh menolaknya jika saya mengganggu anda.” Ia menambahkan dengan cepat.

Aku menggeleng. “Tidak. Aku tidak akan menolak tawaranmu. Kurasa, aku membutuhkan teman sebaik dirimu.”

***

Aku baru saja sampai di halaman rumahku setelah dua jam bercakap-cakap banyak hal dengan Kivandra di padang rumput itu. Hingga ia mengantarkanku pulang ke rumah dengan selamat. Aku masih berada di halaman rumah, di bawah pohon kemboja dengan bunga-bunganya yang berserakan di kakiku. Menikmati udara dingin yang memelukku erat, seolah ingin membekukan rasa yang mengganggu.

Kavi, ke mana dia saat seharusnya ia yang mendatangiku, berjalan di sampingku, dan mengantarkanku pulang, memastikan bahwa aku selamat sampai tujuan? Aku kembali menghela napas berat untuk ke sekian kalinya. Mengangkat wajahku yang langsung membuatku terkejut dengan apa yang aku lihat. “Maaf telah mengingkari janjiku, Nona.”

 Seniman dengan gelang berliontin bintang itu tengah menampakkan wajah bersalah. Seolah ia tak pernah menginginkan untuk melewatkan pertemuan denganku. Matanya yang sehitam bulu gagak menusuk netraku dalam. Berkali-kali mulutnya terbuka lantas kembali tertutup, seolah ada yang ingin ia katakan, tapi terlampau sulit.

“Ke mana saja kamu selama tiga hari?” tanyaku setelah menunggu beberapa saat untuk di berbicara. Namun, rak ada sepata kata pun yang keluar dari mulutnya.

Ia kembali membuka mulutnya untuk kemudian kembali menutupnya. Seolah ia ragu apakah akan mengucapkan kalimat yang sudah tersusun di kepalanya. “Maaf.” Akhirnya hanya itu yang terucap.

Aku menelisik raut wajahnya, memperhatikan setiap garis wajahnya yang tampak lelah. Matanya yang sayu seolah tak sanggup membalas tatapanku yang dingin. Kini ia hanya menundukkan pandangannya menatap tanah.

“Aku tidak membutuhkan permintaan maafmu,” sarkasku lantas pergi meninggalkannya seorang diri. Membanting pintu rumah dengan asal dan langsung naik menuju kamarku di lantai dua.

Menjatuhkan tubuhku di atas kasur empuk yang telah lama menunggu, aku kembali mengembuskan napas kasar.

Aku telah bertemu dengannya, namun rasa rindu itu masih membungkus hatiku. Begitu sulit bagiku untuk tidak berlari memeluknya, dan aku berhasil menahan diri. Tapi, hal itu membuatku semakin sakit.

Kavi, masihkah ia di bawah sana? Di bawah pohon kemboja yang telah berkali-kali menjadi saksi pertemuan kami. Jika ada kata yang paling ingin kukatakan saat ini, maka itu adalah permintaan maaf. Bukan maksudku untuk meninggalkannya. Aku hanya ingin ia lebih terbuka kepadaku. Bukankah aku yang tertutup telah membuka diri untuknya? Aku hanya ingin ia bercerita, dan lebih mempercayaiku. Tapi, apakah tindakanku barusan dengan meninggalkannya adalah salah?

Malam ini pikiranku dipenuhi oleh kekhawatiran. Apa yang terjadi pada seniman itu? Pikiran-pikiran negatif terus saja datang silih berganti dalam kepalaku. Hingga terlelap dengan semua pikiran-pikiran itu.

TO BE CONTINUED

MAJNUN NISKALA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang