HAPPY READING
Jika diizinkan untuk merencanakan takdir, Niskala akan lebih memilih untuk tidak mengenal siapa itu Auriga Kavi. Jika ia boleh meminta, ia lebih ingin bangun dari koma dengan keadaan hilang ingatan seutuhnya, hingga ia benar-benar melupakan semua beban pikiran yang kini tengah mempersembahkan tarian melumpuhkan dalam kepalanya. Keberadaannya seolah menjadi gerbang pertama yang membuka luka-luka lama.
Semalaman Niskala tak dapat beristirahat dengan tenang, setelah mendengar penjelasan psikiater mengenai keadaannya. Benar saja, itulah mengapa ia sering kali mengalami perubahan mood secara drastis, dan melupakan kejadian-kejadian pada waktu-waktu tertentu dalam keadaan bingung. Ternyata itu adalah gejala kepribadian ganda yang dideritanya. Kivandra mengatakan padanya, bahwa ia adalah kepribadian yang terbentuk untuk membantu Nabastala—kepribadian aslinya—dalam memendam apa yang membuatnya sangat terpuruk. Niskala berjasa membuat ia masih bertahan hingga kini.
Niskala juga mengetahui bahwa Kivandra telah menceritakan keadaannya pada Nabastala kemarin setelah menceritakan padanya, lewat sepucuk surat yang tergeletak di atas nakas. Dalam surat tersebut tertera nama si penulis, yaitu Nabastala, yang tak lain adalah kepribadian lain dalam dirinya. Surat itu di awali dengan salam pembuka dan perkenalan singkat, lantas sapaan padanya sebagai kepribadiannya yang lain. Rasanya aneh sekali saat harus berkomunikasi dengan diri sendiri melalui surat.
Sekarang, Niskala tahu sebab keberadaannya. Jadi, sosok Ayahnya memang begitu berpengaruh dalam kehidupannya, hingga saat keberadaannya telah tiada menciptakan luka terdalam pada jiwanya. Hingga Nabastala tak lagi kuat untuk memikul bebannya, dan memutuskan untuk beristirahat. Meminta bantuan pada Niskala untuk menggantikannya.
Perihal cerita novel yang telah ditulisnya sejak satu bulan yang lalu, ia juga telah membacanya. Jangankan Kivandra, Niskala saja tercengang membaca cerita tersebut. Jadi selama ini semuanya hanya khayalannya saja? Segalanya hanya ilusinya semata? Untuk hal ini, Niskala mengakui bahwa dia gila. Bagaimana bisa ia begitu terpuruk karena tokoh khayalannya? Dan benar saja, beberapa hari terakhir sejak ia bangun dari komanya, ia sering kali berkhayal tentang keberadaan Kavi yang mendatanginya. Bahkan delusi yang dideritanya tak jarang hampir saja membuatnya celaka.
Namun, suatu fakta seolah membantah argumentasi bahwa semua itu hanya ilusinya. Lukisan yang di temukan bersamanya saat kecelakaan, lukisan itu masih ia simpan. Dalam lukisan tersebut terdapat sebaris nama Auriga Kavi beserta paraf yang tampaknya adalah milik lelaki itu. Tidak mungkin jika Niskala melukisnya sendiri, karena ia memang sangat payah dalam hal menggambar maupun melukis. Dan di lukisan itu juga tertera puisi singkat yang ia ketahui penulisnya adalah dia sendiri. Niskala telah memastikan hal itu semalam dengan mengobrak-abrik semua tulisannya.
Ah, sudahlah. Memikirkan semua ini malah membuatnya semakin terpuruk. Namun, perkataan terakhir Kivandra terngiang dalam kepalanya. “Jalani semuanya dengan hati yang ikhlas, sebab hidup ini bukan milik kita, melainkan titipan dari Tuhan.”
Niskala berjalan mendekati jendela yang terbuka, dan membuka tirainya. Tatapannya tertuju pada pohon kemboja yang telah tumbuh tinggi, hingga ia dapat menyentuhnya dari kamarnya yang berada di lantai dua. Udara dingin pagi ini memaksanya untuk berpakaian tebal, dan syal yang melingkari lehernya. Gadis itu menggosok-gosokkan tangannya demi memperoleh kehangatan.
Apa yang dikatakan Kivandra padanya memang benar. Hidup ini bukanlah milik kita sepenuhnya. Ia jadi berpikir, apakah dirinya begitu egois terhadap hidup? Hingga tuhan membalasnya dengan cara ini.
Niskala mengembuskan napas dengan berat. Auriga Kavi, siapa pun dia, baik nyata maupun hanya khayalannya belaka. Niskala harus mengikhlaskan ketiadaannya. Begitu pula dengan kepergian Ayahnya, Bintang. Nabastala harus berusaha untuk merelakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAJNUN NISKALA✔
Romance"Pada majnun niskala ini kita akan meramu nirmala. Atau sanggupkah engkau dengan nirwana?" . . Jika boleh bernegosiasi dengan takdir, aku ingin meminta agar tak 'kan pernah mengenalmu. Jika ilusimu saja semenyakitkan ini, bagaimana jika kau nyata bu...