Sebentar saja, aku ingin dia ada dan mengatakan tidak akan pernah ke mana-mana."Genny!" pekik Zoey ketika Fern, sang nenek, seorang perempuan paruh baya mengenakan celemek, bertubuh mungil, berambut cokelat kemerahan yang mulai memutih, dan bermata biru terang, membuka pintu.
Gadis kecil berusia tiga tahun yang berada dalam gendongan Ella itu langsung mengulurkan kedua tangannya, minta digendong.
"Halo, Sweetheart!" Fern meraih tubuh Zoey dan digendongnya di pinggang. "Ayo, cepat masuk! Aku sedang memanggang roti," katanya kepada Ella sambil melangkah cepat ke dapur.
Ella menghela napas panjang. Ia melepas mantel dan menggantungnya di dekat pintu. Setelah menempuh perjalanan dengan bus selama tiga jam, akhirnya ia sampai di rumah ibunya di Cherry Hill, sebelah timur New Jersey.
Ibunya gemar memasak. Harum rempah, roti, ataupun hangat mentega hampir pasti menjadi penyambut bagi tamu yang berkunjung ke rumah ini. Rumah masa remajanya.
Ella berjalan menyusuri koridor pendek yang terhubung dengan ruang tamu. Furnitur di rumah ini masih tampak anggun, meski kain-kain pelapisnya sudah sedikit pudar dan lusuh.
Sesaat kaki Ella berhenti meraih bingkai foto dirinya bersama kedua adiknya, Liv, dan Rommy saat ketiganya masih kecil. Ia menyentuh foto itu dengan seulas senyum getir di bibirnya.
Aroma kayu manis yang menguar dari dapur, membuat Ella meletakkan bingkai itu kembali dan melanjutkan langkahnya mengikuti hangat roti di udara. Pasti ibunya baru mengeluarkan roti dari oven. Segera saja ia ingin mencicipi. Tidak ada yang bisa menolak makanan yang dimasak ibunya.
"Kau mau rendang, Ella? Itu makanan kesukaanmu, kan? Lidah Indonesiamu pasti tergoda begitu kau mencium aroma sedapnya. Rommy mengirimkan enam kotak rendang. Mama simpan di lemari. Dia baru selesai mengurus acara di Padang," kata Fern seraya meletakkan roti yang baru matang di piring.
Romijn—Rommy, adik bungsunya membuka EO bersama teman-temannya di Jakarta.
Fern tidak menikah lagi-meskipun sempat kencan beberapa kali. Mungkin perceraian membuat ibunya takut untuk berkomitmen lebih jauh.
"Nanti saja kalau aku sudah mau pulang, aku ambil, Ma." Ella mengambil dua cangkir tembikar dari lemari dinding. Lalu ia menuang air panas dari ceret yang segera ia bubuhi daun teh. "Liv sudah mengabari kapan dia pulang dari San Francisco, Ma?"
"Tadi dia telepon. Katanya lusa dia pulang." Fern menyahut sambil mengajak bercanda Zoey.
Ella duduk di hadapan ibunya. Ia menuang teh ke kedua cangkir, sementara memperhatikan nenek dan cucunya itu tertawa. Ia senang melihat kedua perempuan yang paling ia cintai itu tampak bahagia tanpa beban.
"Kau sehat, Ella?" Fern mendekatkan salah satu cangkir ke hadapannya. "Kau kelihatan lebih kurus."
"Ya." Ella menyeruput tehnya. Sebenarnya tidak. Perasaannya sulit terkendali sejak kematian Maura seminggu lalu. Hampir setiap malam ia menangis dalam tidur-ia tidur, tapi hatinya tetap terisak.
Masih tidak terbayangkan olehnya kehilangan Maura. Kehilangan sahabat terbaiknya.
"Benar?" tanya Fern tidak yakin.
"Ya... sebenarnya tiga hari ini badanku tidak enak. Pusing dan mual terus." Ella mengangkat bahu. "Mungkin karena aku sedang hamil."
Kedua alis Fern tampak terangkat di atas cangkir yang menempel di mulutnya. "Al sudah datang menemuimu, membicarakan bayi yang kau kandung itu?"
Ella menggeleng. "Belum."
Sudah seminggu Maura meninggal dan Al belum menemuinya. Padahal saat usai acara pemakaman Maura, Al berjanji padanya akan segera membicarakan tentang bayi ini dengannya.
Padahal hampir setiap hari Ella datang ke apartemen Al untuk membuatkan makanan, karena ia tidak tega melihat suami sahabatnya itu tampak terpuruk dan semakin kacau-meskipun Al tidak pernah memakannya dan jarang kelihatan berada di apartemen.
Ella mengerti, Al pasti butuh berpikir dan menenangkan diri. Dirinya bisa menunggu, tapi bayi ini tidak. Dia membelai perutnya yang mulai membuncit di bulan ketiga kehamilannya. Bayi ini memang telah kehilangan ibunya, tapi tetap membutuhkan ayahnya.
"Kalau ayahmu tahu tentang keputusanmu menjadi surrogate mother, pasti dia sangat marah. Hal itu tidak bisa diterima dalam budaya, agama, ataupun hukum di Indonesia." Fern meletakkan cangkirnya di atas meja. "Apa yang akan kau lakukan dengan bayi itu?"
"Aku tidak tahu, Ma."
"Pikirkan yang terburuk, Ella. Misalnya Al tidak menginginkan bayi itu, apa kau akan merawatnya?"
Ella tidak langsung menjawab. Dia memikirkan baik-baik. Bayangan Maura melintas dalam benaknya. Apa saja yang ia dan sahabatnya itu lalui bersama. Dan, betapa besar harapan dan mimpi Maura memiliki buah hati.
Tidak. Tidak mungkin Ella tega menelantarkan bayi ini.
"Maura sudah melakukan banyak hal untukku, Ma." Telunjuk Ella mengitari bibir cangkir.
"Mama tahu." Fern menyetujuinya. "Tapi, apa kau sanggup membiayainya? Untuk menghidupi dirimu sendiri dan Zoey saja kamu pontang-panting kerja."
Ella meresapi kata-kata Fern. Semua berputar dalam benaknya. Saat ini, hidupnya bergantung kepada Maura dan Al. Tapi kalaupun Al tidak menemuinya lagi, ia bisa bekerja-apa pun.
Selama ini, Ella bisa bekerja keras untuk dirinya dan Zoey. Dia pasti juga bisa berjuang untuk bayi ini.
"Kau juga harus memikirkan hidupmu, Ella." Fern mengembuskan napas. "Mama cuma tidak mau kau dalam keadaan seperti ini terus."
"Aku akan merawat bayi ini, Ma," putus Ella.
Fern mendesah pelan dan tersenyum. "Kau pasti tahu yang terbaik, Nak."
Ella membalas senyuman ibunya. Ia berusaha meyakinkan diri hal baik akan datang untuknya.
Pasti akan datang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost is Never Enough (SEGERA TERBIT)
RomanceTELAH DIADAPTASI MENJADI FILM DAN SERIES DEAR JO. FILMNYA BISA DITONTON DI NETFLIX SERIESNYA BISA DITONTON DI VIU. Baby Love Series #1 Ada hati yang kujaga agar tak jatuh. Namun, saat di dekatmu, seringnya ia tak patuh. Al Telah kehilangan orang ya...