"Di mana otak kamu dan Maura saat merencanakan soal surrogacy ini? Apa kalian sudah pikirkan kalau kalian kembali ke Indonesia, ada konsekuensi sosial, hukum, agama?"Daria duduk di hadapan Al dan Ella yang tengah menunduk di ruang tengah. Wajah Daria benar-benar memerah karena marah.
"Ma, kami sudah tidak punya jalan lain. Ini jalan terakhir yang kami punya untuk punya anak," jawab Al. "Sesuai permintaan Mama."
Daria menunjuk wajah Al dan bicara lantang. "Jangan bawa-bawa Mama dalam hal ini!"
"Tapi, memang Mama yang selama ini selalu mendesak aku dan Maura untuk punya anak, kan?" Al terus menyerang ibu tirinya.
"Menurutmu, apa lagi yang diharapkan dari sebuah pernikahan kalau bukan keturunan? Memangnya enak hidup merana sendirian saat istrimu meninggal—seperti sekarang?" Daria melihat ke arah Ella. "Buktinya, kamu tidur dan tinggal bersama perempuan ini, kan?"
Ella terkejut mendengar itu. Dia lekas menukas. "It's not what you think, Daria."
"Don't call me Daria. Call me 'Ibu', understand?" tegas Daria.
"Ya, Ibu." Ella sedikit menunduk.
"Ma, Ella benar." Al menyergah. "Ini tidak seperti yang Mama pikirin. Kami melakukan ini lewat proses transfer embrio. Dan, kita harusnya berterima kasih pada Ella. Dia berbesar hati mau menolong."
"Menolong kamu bilang?" Sepasang mata Daria menatap kedua orang di hadapannya dengan nyalang. "Kalau dia adalah orang yang berbesar hati mau menolong, dia tidak akan mau menerima imbalan sepeser pun!"
Ella dan Al sama-sama diam.
"Tidak ada yang bisa menjawab?" ucap Daria penuh kekesalan.
Ella dan Al masih belum ada yang bersuara. Keduanya masih sama-sama menunduk.
"Setelah Maura meninggal, kalian tinggal bersama di sini, tanpa satu ikatan apa pun. Ide siapa?"
"Ma..." Al menarik napas. "Ini keputusanku."
Daria langsung menghela napas sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Sesaat ia memejamkan mata. Lalu, Daria kembali mendekati putra tirinya. "Aldebaran Joshua, kamu tahu arti ini semua? Kalau sampai keluarga besar kita tahu?"
Al lagi-lagi diam dan menunduk.
"Al?" Daria menunggu.
"Tahu, Ma." Al mengangguk.
Daria kembali menyandarkan punggung ke sofa. Helaan napas berat keluar dari mulutnya sambil mengurut kening.
Ella menyenggol lutut Al dengan tangannya, agar laki-laki itu bicara pada ibunya.
"Ma..." panggil Al.
Daria memilih untuk bangkit berdiri dan mengangkat tangan sebagai tanda tidak ingin melanjutkan percakapan ini. "Mama mau tidur di hotel saja." Dia pun pergi.
Setelah Daria keluar dari rumah. Ella mendekati Al yang sedang menunduk sambil meremas rambutnya. Terlihat bingung.
"Tadi apa maksudnya soal kalau keluarga besar tahu?" tanya Ella.
"Kau tahu sendiri, kan, bagaimana orang Indonesia?" Al mengangkat pandangannya pada Ella. "Kalau mereka tahu, ya jelas orang tuaku malu—ada anaknya kumpul kebo."
"Tunggu," kata Ella. "Berarti karena aku di sini—walaupun kita tidak melakukan apa-apa—itu akan membuat keluargamu malu?"
"Tidak masalah, lah." Al mengangkat bahu. "Aku ada di Amerika. Keluarga besarku di Indonesia." Kemudian di pun bangkit dari sofa. "Ya sudah ya, aku ke kamar dulu. Pusing."
Ella hanya menatap kepergian Al dengan sekelumit pikiran bergerumul dalam benaknya.
***
Ella sedang memasak ketika bel rumah berbunyi. Ia buru-buru meletakkan sendok sayur di atas meja dapur, melap tangannya, lalu berjalan ke arah pintu. Sepasang matanya terbelalak melihat Daria kembali datang.
Dengan gugup, Ella memersilakan Daria masuk dan menyediakannya limun dingin. Tapi sampai Ella duduk di hadapan perempuan itu, minuman yang berada di atas meja sama sekali belum disentuh.
"Ada apa ya Ibu mau bertemu dengan saya?" tanya Ella setelah hening dan canggung beberapa saat.
Daria membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku cek. Disobeknya selembar kertas dan menyodorkannya pada Ella. "Buatmu. Isi berapa pun nominal yang kau mau."
"Ini untuk apa?" Ella terlihat bingung.
"Saya mau kau pergi dari kehidupan Al. Bawa bayi itu," tukas Daria.
"Tapi, aku tidak mungkin melakukan itu," jawab Ella.
"Saya yang bayar ganti rugi dan denda kontrakmu." Daria mengangkat dagunya dan memasang wajah super duper masam.
"Ini bukan hanya masalah uang, Ibu Daria." Ella berusaha menjelaskan perlahan. "Saya, Maura, dan Al melakukan ini karena cinta dan kasih sayang."
"Cinta dan kasih sayang?" Daria tertawa mencemooh. "Kedua hal itu tidak pantas keluar dari mulut seseorang yang mau saja dibayar rahimnya. Bahkan, saya tidak yakin bayi itu adalah bayinya Al."
"Maksud Ibu Daria apa ya?" Ella merasa tersinggung.
"Bisa saja kau mengandung anak laki-laki lain, tapi kau bilang itu anak dari putra saya." Daria mengedik ringan.
"Ibu Daria..." Ella menarik napas. "Walaupun saya miskin, tidak berarti saya rendah dan murahan."
"Terserah." Daria tampak tidak peduli. "Silakan diisi dan segera tinggalkan rumah ini." Ia pun beranjak pergi.
Ella menatap kertas cek di tangannya, kemudian meremasnya kuat-kuat dan membuangnya begitu saja di lantai.
***
"Sebaiknya kau pergi dari sana, Ella. Aku tidak mau kakakku direndahkan seperti itu!" Liv berkata penuh emosi di video call.
Ella meletakkan ponsel di atas meja rias, sementara ia mengemasi pakaian dan barang-barangnya di dalam koper. Harga dirinya benar-benar merasa diinjak oleh ibunya Al. Pantas saja Maura tidak kuat menghadapi ibu mertuanya yang seperti monster itu.
"Aku memang mau pergi, kok." Ella menyahuti. "Tapi sepertinya aku belum bisa kembali ke New Jersey. Mungkin aku akan menyewa rumah di dekat sini sampai aku melahirkan dan perjanjianku dengan Al selesai."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost is Never Enough (SEGERA TERBIT)
RomanceTELAH DIADAPTASI MENJADI FILM DAN SERIES DEAR JO. FILMNYA BISA DITONTON DI NETFLIX SERIESNYA BISA DITONTON DI VIU. Baby Love Series #1 Ada hati yang kujaga agar tak jatuh. Namun, saat di dekatmu, seringnya ia tak patuh. Al Telah kehilangan orang ya...