Bab 8. Ancaman?

96 16 5
                                    

Happy reading😘

***

Keringat masih menetes dari kening Zi saat dia keluar dari sanggar Yoga. Seminggu dua kali, Zinnia rutin melakukan Yoga.

Matanya memicing melihat mobil berwarna putih miliknya dengan Aryo di belakang kemudi. Dengan wajah semringah Zi berjalan cepat, membuka pintu mobil dan segera mengempaskan bokong di kursi penumpang. Dengan segera Zinnia meraih botol air mineral, kemudian meneguknya sampai setengah botol.

“Haus banget, ya?” tanya Aryo.

Zi hanya mengangguk singkat dan kembali minum sampai habis. “Alhamdulillah ... lega gue.  Lumayan dua jam tadi. Baidewe, gue hepi banget setelah sekian lama gue bisa headstand,” sahut Zi cepat sambil bertepuk tangan. Dia mengambil handuk kecil dari tas dan menyeka sisa keringat di dahi.

Kening Aryo mengeryit. “Apaan tu?”

“Gerakan Yoga, Aryooo. Susah tauk! Gue harus latihan lama. Beneran, ya, kalo sudah advance gerakannya susah banget. Jadi, badan kita harus beneran seimbang dan hanya bertumpu di kepala. Nih, gue tunjukin.” Dengan semangat Zi mengaduk tas dan mengambil ponsel. Dia mencari sebuah gambar di galeri dan sehera menunjukkan kepada Aryo.

“Jadi kamu pake sport bra aja kalo yoga?” Aryo tersenyum miring.

“Mesum aja pikiran lo pagi-pagi. Enggaklah. Itu bukan gue lagi, gambar doang,” sahut Zi. Dia berpikir sejenak. “Gue laper. Cari sarapan dulu, yuk. Pecel Kawi gimana?”

Aryo hanya berpaling sebentar sebelum menjalankan kendaraan. Laki-laki itu fokus pada jalanan di hadapannya.

“Yo, gue penasaran sama omongan lu semalem. Siapa yang lu maksud beneran cinta sama gue?”

“Akulah ...,” sahut Aryo seraya menyeringai.
Zi mendengkus. Dia menepuk lengan Aryo dengan handuk di tangannya. “Gue serius nanya, Yo!” ketusnya.

Aryo terbahak. “Aku beneran serius sama kamu, Zi. Sayang ditolak,” ucap Aryo.

“Aryooo!” Bibir Zi mengerucut menahan kesal. Dia melirik Aryo yang tampak santai dan tidak peduli. Zi memilih mengalihkan pandang ke jendela samping.

“Semalem aku juga sudah bilang, tanya nuranimu sendiri. Jangan ingkari!” ucap Aryo seraya berpaling menatap Zi.

Zinnia pun menoleh, tatapan mereka bertautan sesaat sebelum Aryo kembali fokus pada jalanan. Zi menghela napas panjang. Sejenak bayangan Gavin dan Saka bergantian dalam benak. “Dua-duanya bikin gue ilfil.”

Aryo kembali terbahak. Dia menepikan mobil di depan warung pecel Kawi. “Turun, yuk. Pagi-pagi sarapan dulu biar gak oleng.” Aryo bergegas turun diikuti Zi. Mereka memilih bangku kosong yang tersedia setelah memesan. Tak lama, dua porsi nasi pecel lengkap tersaji di hadapan bersama dua gelas teh hangat.

Keduanya berbincang ringan seraya menikmati makanan tradisional berupa sayuran hijau yang dikukus dan disiram dengan saus kacang lengkap dengan peyek. Zi meneguk teh hangat saat ponselnya berdering. Setelah membersihkan mulutnya dengan tisu, Zi menerima panggilan. Perempuan itu menjawab dengan ramah dan menyimak dengan tekun pembicaraan dari lawan bicaranya.

“Tapi ... sepertinya belum bisa kalo hari ini. Zi belum koordinasi sama anak-anak juga. Gimana kalo hari Jumat saja, Zi ke sana, ya, Bu,” jawab Zi santun.

Zi kembali menyimak pembicaraan. Dia pun menaikkan alisnya sembari berpikir sejenak. “Insya Allah, ya, Bu. Zi usahakan.” Zinnia kemudian menutup sambungan dengan mengucap salam.

Aryo yang berada di sisi Zi tersenyum samar mendengar percakapan telepon barusan. Dia segera beranjak dan membayar pesanan mereka.

“Yo, gue aja yang bayar.”

Peony CornerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang