Happy reading, Genks
.
.
.
"Sayang ... maafin aku. Please ... jangan diem kayak gini," ucap Gavin lirih.
Zinnia mengarahkan pandang ke jendela di sampingnya, rasa sesak dan amarah masih tersisa di dada. Berulang kali perempuan itu menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Sepanjang acara keluarga di rumah Gavin dia memilih menahan dirinya. Zi tidak mau mempermalukan laki-laki itu di tempat umum, terlebih di keluarganya sendiri. Dia tahu rasanya dipermalukan, dan ... itu sungguh menyakitkan.
"Zinnia ... Sayaaang ...." Gavin berusaha meraih tangan Zi dengan tangannya yang bebas. Dia membagi fokusnya, antara menyetir dan perempuan yang dicintainya.
Zinnia berpaling, berusaha melepas genggaman tangan Gavin. Wajahnya berubah sendu. "Kamu jebak aku di sana, Vin. Kamu janji kita di sana hanya sebagai teman. Kamu juga janji akan beri aku waktu untuk lamaran itu. Aku masih belum mau menikah ... sebaiknya aku kembalikan aja cincin itu," ucap Zi perlahan.
"Nooo!" seru Gavin panik, "Zi ... cincin itu buat kamu. Oke, aku akan berusaha bicara sama Mama biar enggak salah paham lagi." Gavin berucap sungguh-sungguh.
Zi hanya memandang Gavin tanpa kedip sebelum mengangguk perlahan. Sisa perjalanan mereka hanya ditemani suara merdu Tulus yang menguar di udara. Keduanya tenggelam dalam riuh pikiran masing-masing.
"Tengkyu, Vin." Zi menutup pintu mobil Gavin dan berbalik menuju kedai dengan langkah gontai.
Sampai di dalam suara Wina langsung menyambutnya. "Mbak Zi ... gimana rasanya ketemu calon mertua? Loh, Mbak ... Mbak Ziii!" Wina memanggil-manggil bosnya dengan bingung.
Zinnia mengabaikan pertanyaan Wina dan hanya melambaikan tangannya. Tujuaannya saat ini hanya satu. Aroma butter menguar menyambut kedatangan Zi. Perempuan itu langsung mengempaskan bokongnya di kursi dan menelungkupkan wajahnya di meja. "Aaarrgghh!"
"Makanlah."
Suara berat Aryo membuat Zi mengangkat wajahnya. Chef laki-laki itu menggeser satu porsi dessert beserta satu senok kecil ke hadapan Zi dan menyuap miliknya sendiri.
"Wow, eclair!" Manik Zi seketika berbinar. Dia langsung menyuap dengan antusias.
"Lebih baik?" tanya Aryo ketika dessert milik Zi tinggal sedikit. "Mau nambah?"
Zinnia menggeleng. Dia beranjak untuk mengambil air putih dan juga tisu. Tidak lupa Zi membawakan air minum untuk Aryo.
"Sejak kapan elo nyetok ginian, Yo?"
"Sejak sering kedatangan perempuan tukang galau suka ngerusuh di dapur. Masih banyak di kulkas. Ambil aja!" ucap Aryo santai.
"Sial, lo!" Zi melempar gumpalan tisu yang masih di genggamnya. Sementara Aryo hanya menarik bibirnya sekilas. Dengan penasaran Zi menuju lemari pendingin, begitu membuka pintunya dirinya dibuat takjub dengan aneka dessert di sana. "Itu buat gue semua? Makasih, Aryooo ... gue sayang banget sama elo! Terbaek emang elo, Yo!" Suara Zi girang bukan main seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
"Sekarang kalo mau cerita, cerita aja. Jangan ditahan, nanti jadi bisul!" ejek Aryo.
"Sial emang lo, tau banget kelemahan gue." Zi mendengkus keras, bibirnya lantas mengerucut. Namun hal itu tidak brtahan lama. Zinnia beringsut mendekati Aryo dan duduk di sampingnya. "Gue sebel banget sama Gavin. Jadi, tadi gue ...." Meluncurlah dari bibir Zinnia segala keluh kesah yang memenuhi dadanya sejak tadi. Dia menceritakan semua kejadian yang dia alami dan bagaimana perasaanya saat ini.