Bab 15. Survey Lokasi

45 7 2
                                    

Bab 15. Survey Lokasi

"Jadi ini lahan yang dimaksud Ibuk," ucap Ajisaka seraya menunjuk lahan kosong sekitar seribu meter persegi di hadapannya. Lahan itu diberi pagar bambu di sekilingnya dan di dalamnya ditanami pohon sengon. Lahan yang dimaksud Ajisaka berada di kota Sidoarjo dan berada tidak jauh dari kampus swasta dan daerah perumahan.

"Tapi ini besar sekali Sakaaa!" ucap Zi gemas. "Sayang banget kalo cuma dibikin kedai kopi. Lagi pula aku belum sanggup mikirin tiga kedai sekaligus. Belum ada SDM-nya juga."

Saka tergelak. "Siapa juga yang suruh kamu urus sendirian, Zi? Hire orang, manager yang pengalaman. Biarkan sistem yang bekerja. Kamu tinggal jadi owner yang terima laporan bulanan sama keuntungan. Beres!" Saka menjentikkan jarinya.

Zi mengerucutkan bibirnya. "Enak aja kalo ngomong! Lagi pula Ibuk yang punya modal, gue cuma menjalankan. Enggak bisa dong, gue ongkang-ongkang kaki doang."

Saka kembali tertawa. "Hidup kamu terlalu serius, Zi."

"Elo yang terlalu santuy," cibir Zinnia.

Mata Saka menyipit. "Kamu, Zinnia ... bukannya kita sudah sepakat masalah panggilan aku-kamu?"

"Iya, sori ... aku lupa. Puas?" Zi mendelik.

"Good girl!" Laki-laki itu mengacungkan jempolnya. "Yuk, ah ... aku laper!" Saka mengajak Zi meninggalkan tempat itu. Dia mengarahkan mobilnya ke restoran terdekat. "Maaf, lidahku Jawa sekali ... lebih cocok sama masakan ndeso kayak gini," ucap Saka saat memasuki resto khas Jawa. Lelaki berkaus hitam itu mengajak Zi menuju display aneka masakan yang disajikan di wajan-wajan tembikar.

"Aku juga suka, kok, masakan rumahan kayak gini," ucap Zi berbisik saat mereka memilih lauk.

Suhu udara Sidoarjo cukup terik hingga Saka mengajak Zi untuk duduk di area outdoor resto. Semilir angin yang berembus menerpa dedaunan lumayan membuat nyaman keduanya. Rasa lapar karena makan siang yang terlambat membuat mereka makan dengan lahap. Zinnia dan Saka dengan cepat mengabiskan hidangan yang tesedia.

Menyantap hidangan pedas membuat keringat Zi bercucuran. Perempuan itu bermaksud menyeka dahinya yang basah, namun tangannya tidak sengaja menyentuh mata. "Aduh, mata gue! Pedesss!"

"Merem dulu. Cuci tanganmu dulu!" Saka dengan sigap meraih tangan Zi dan membantunya cuci tangan di baskom kecil yang sudah disediakan. "Ini tisunya!"

Dengan tergesa Zi mengusap matanya dengan tisu. "Sial! Soft lens gue lepas!" umpat Zi, "Aku gak bisa lihat. Tolooong!" Zinnia berteriak panik.

Saka kembali menolong Zinnia. Dia mencari soft lens Zi yang lepas. "Ketemu! Kayaknya enggak mungkin kamu pake lagi, Zi. Sudah kena sambel. Kamu bawa yang lain?"

"Tolong lihatin di tas," pinta Zinnia masih merem.

Saka mengaduk-aduk isi tas Zinnia. "Enggak ada, Zi. Adanya kaca mata."

"Tolong bawa sini," pinta Zi kembali dengan tangan menengadah.

Saka dengan segera menyerahkan kaca mata berbingkai hitam. Dia memperhatikan Zi melepas soft lens di mata satunya dan memakai kaca mata. "Puas, ya, kamu lihat aku kayak botol."

Saka menggeleng dengan bingung.

"Iya, kaca mata aku tebel kayak botol." Zi menunduk kehilangan kepercayaan dirinya.

"Enggak ada yang salah sama wajah kamu, tetep cantik seperti biasa." Saka berkata dengan lembut. Manik lelaki itu menyorot lurus kepada Zi.

Perlahan, Zi mengangkat wajahnya. Bibirnya mengerucut. "Gombal! Sudah berapa perempuan yang jadi korban rayuanmu?" Dia pura-pura judes.

"Hmmm ... hanya satu, kamu!" Cengiran menghiasi wajah Saka. Spontan dia dihadiahi pelototan oleh Zinnia.

***

Mobil Saka baru saja keluar dari parkiran sebuah optik. Laki-laki itu memaksa membelikan Zinnia soft lens baru. Sejak selesai makan siang, Zinnia tampak gelisah dan seperti kehilangan kepercayaan dirinya. Saka memperhatikan wajah Zi lebih sering menunduk, perempuan itu juga seakan-akan kehilangan kemampuan bicaranya yang tajam.

"Merasa lebih baik?" tanya Saka. Pandangannya lurus ke jalan raya di hadapannya.

Zi berpaling menatap Saka di balik kemudi, kemudian terdiam sejenak. "Hmmm ... makasih, ya." Perempuan itu berucap tulus. "Kenapa Saka?"

Saka berpaling hingga manik keduanya bertaut. Laki-laki iu tersenyum tipis. "Menjadi cantik itu bagus, tapi yang paling penting adalah menjadi bahagia," ucap Saka seraya mengembuskan napas panjang. Lelaki itu kembali berkata, "Aku enggak tahu luka apa yang pernah kamu alami, tapi kamu itu sangat berharga Zi. Setiap perempuan itu sempurna dengan kelebihan dan kekurangannya. Raih bahagiamu Zi, salah satunya cara berdamai dengan masa lalu."

Zi tertegun mendengar ucapan lelaki di sampingnya. Kelebat masa lalu kembali hadir memenuhi benak Zinnia.

Saka tertawa lirih hingga membuat Zi menoleh. "Sepertinya aku enggak cocok ngomong serius." Tawanya kembali mengudara.

Zi memandangi Saka dengan hati berkecamuk. Perempuan itu sungguh tidak bisa mendeskripsikan perasaanya saa itu.

Tak lama ponsel Saka berdering. Dia segera mengangkat telepon dan menjawab salam. "Iya, Buk. Sudah ... ini perjalanan pulang. Iyaaa ... waalaikumsalam."

Saka menatap perempuan disampingnya. "Ibuk tanya kapan kamu ke rumah lagi? Mau dimasakin nasi jagung katanya."

Zinnia tersenyum lebar mengingat ibu Saka yang ramah dan baik hati. Namun, senyumnya lenyap ketika mengingat sosok perempuan berhijab panjang yang menjadi asisten beliau. "Enggak, ah, takut ada yang salah paham ntar."

Kening Saka berkerut. "Maksudmu?"

"Aida," ucap zi sinis.

Ajisaka melongo melihat ekspresi Zinnia. Tak lama, lelaki gondrong itu pun terbahak. "Alhamdulillah ... ada yang cemburu!"

"Dih, aku enggak cemburu!" sinis Zi.

"Itu namanya cem-bu-ru!"

"Enggak. Aku enggak ada rasa ama kamu. Kenapa mesti cemburu?" Zinnia melotot seraya bersedekap.

"Oh, oke!" Saka memilih diam dengan bibir terkulum.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Peony CornerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang