Bab 13. Hati yang Berantakan

33 7 0
                                    


Huhu ... maafkan baru sempet nongol lagi.

Happy reading, Gaes ....

.

.

.

Bab 13. Hati yang Berantakan

Bulir keringat menetes dari dahi Zinnia, napasnya terengah-engah. Dia menghentikan larinya dan sedikit menunduk hingga tangannya bertumpu pada lutut guna mengatur napas. Setelah menegakkan tubuh, pandangan Zi mengedar. Perempuan itu mengayunkan langkah menuju toko terdekat untuk membeli air mineral dan roti.

Setelah mendapatkan barang yang dimaksud, Zi bergerak menuju taman kompleks perumahan. Dia bermaksud melepas lelah setelah lari mengelilingi area taman sebanyak 30 putaran. Perempuan berhijab putih itu memilih duduk di bangku kayu yang kosong seraya menikmati sepotong roti keju. Sesekali senyumnya terbit menyaksikan para balita yang sedang bermain sembari disuapi ibunya.

Rencananya gagal. Padahal dia ingin menghabiskan waktu di balik selimut lebih lama dan bermalas-malasan mengingat dirinya sedang datang bulan. Namun, sejak panggilan azan Subuh mengudara matanya secara otomatis terjaga. Mungkin sudah menjadi kebiasaannya bangun pagi hari meskipun tidur larut.

Pada akhirnya, Zinnia memutuskan untuk berolahraga pagi. Sejak sepuluh tahun terakhir, Zi aktif berolah raga demi menjaga stamina. She loves food and sugar; dan dia tidak ingin mengorbankan kesenangannya. Untuk itu Zi mengimbangi dengan rutin membakar kalori setiap hari.

"Mbak Zi ... tumben kelihatan pagi-pagi!" sapa seorang ibu muda. Perempuan itu menggandeng seorang gadis mungil dan duduk di samping Zinnia.

"Hai Mbak Lita. Ini Vanya, ya ... duh, makin cantik aja." Zi menyapa perempuan berekor kuda seraya cipika-cipiki. Tak lupa, Zi mencubit pipi gembul Vanya dengan gemas.

"Kebetulan ketemu di sini. Aku mau pesen kue buat ultah Vanya yang kelima minggu depan."

"Boleh banget. Ntar biar asistenku telpon Mbak Lita untuk menunya, gimana?" sahut Zi riang.

Lita berpikir sejenak. "Enggak usah, deh, ntar biar kita mampir ke kedai aja. Kebetulan besok papanya Vanya off, biar nanti Vanya yang pilih menu sendiri. Iya 'kan, Kak?" Perempuan itu berpaling kepada putrinya meminta persetujuan.

Vanya mengangguk dengan antusias. Gadis kecil itu tertawa hingga memperlihatkan gigi kelincinya.

Zi ikut tertular tawa gadis kecil berpipi gembul itu. Dia mengacak poni Vanya seraya berkata, "Nanti kalo ke kedai, Vanya boleh pilih cake ultah. Gratis hadiah dari tante. Okay?"

"Yeayy! Makacih, Tante Zi." Gadis kecil itu bertepuk tangan dengan riang.

"Sama-sama, Sayang."

Tak lama, Lita dan putrinya berpamitan. Zi menatap kepergian keduanya sampai menghilang dari pandangan. Bibir yang semula melengkung sempurna sesaat kemudian tertarik kembali. Berganti senyum getir dengan dada yang berdenyut nyeri. Zi mengeluh dalam hati. Kenapa setiap berjumpa dengan teman sebaya selalu saja sudah mempunyai anak? Minimal sudah menikah. Zi mendesah. Kenapa hidup tak seindah drama korea atau novel romansa?

***

"Mbak Zi, sini bentar!" Wina melambaikan tangannya yang memegang kertas begitu melihat Zinnia memasuki kedai. Mendekati tengah hari, perempuan itu baru tiba di Peony Corner.

Zi mendekati Wina yang berada di balik kasir. "Apaan, sih, teriak-teriak? Malu sama tamu." Pandangan Zi mengedar ke penjuru kedai yang lumayan ramai.

Wina meringis. "Sori, Mbak. Nih, barusan ada orderan gede buat besok. Wina enggak berani putusin. Mbak Zi aja yang handle. Nih, nomernya," ucap Wina seraya menyerahkan kertas berisi catatan.

"Acara apaan?"

"Bridal shower katanya."

"Oh, oke!" Zi melakukan panggilan ke nomor telepon yang tertulis di kertas seraya bergerak menjauh. Dia memilih duduk di balik coffee bar dan melakukan panggilan. "Dengan Mbak Dea?" tanya Zi setelah menjawab salam.

Selama lima belas Zi melakukan pembicaraan di telepon. Seraya bicara tangan Zi sibuk mencatat di sebuah note. "Oke, makasih Mbak. Insya Allah jam lima sore kita kirim pesanannya via kurir," ucap Zi mengakhiri pembicaraan.

Zinnia melihat catatannya kembali, kemudian dia menyalin dan sekaligus membagi pesanan sesuai dapur yang bertugas. Satu lembar dia berikan kepada Wina. "Win, tolong lo jadiin satu sama orderan yang lain. Cek stok boks premium. Kalo habis segera pesen."

"Siap, Bos!" sahut Wina cepat. Gadis berseragam hitam itu hendak berbalik, namun teringat sesuatu. "Mbak, Babang Gavin tadi nelpon. Katanya hape Mbak Zi gak bisa dihubungi. Tunangan Mbak bilang mau mampir pulang kerja."

Zi mendelik. "Gue enggak tunangan sama Gavin!" pekiknya.

Wina shock mendapat bentakan Zi. Belum pernah Zinnia semarah itu terhadapnya. "Ehm, Wina minta maaf, Mbak. Maksud Wina cuma canda." Wina memilin apron yang dipakainya dengan sedikit menunduk.

Seketika Zi merasa bersalah melihat sikap Wina. Perempuan itu menghela napas. "Gue minta maaf, Win. Gue enggak maksud bentak lo. Pikiran gue lagi penuh banget."

Wina mendekati Zinnia. "Wina juga minta maaf. Canda enggak liat sikon. Wina enggak tahu kalo Mbak Zi lagi sumpek. Wina mau kok, dengerin cerita Mbak Zi."

"Makasih Win ... ada waktunya nanti gue cerita sama elo, tapi enggak sekarang. Kerjaan yang utama." Zi mengusap bahu Wina dan menepuknya perlahan. "Gue mesti ke dapur dulu. Lo tolong handle depan."

"Beres. Mbak Zi enggak perlu khawatir masalah itu." Cengiran menghiasi wajahnya yang bulat.

Zi ikut tertawa lirih. Sesaat kemudian, dia mengayunkan langkah menuju dapur.

"Mas Aryo mau 'kan pergi sama aku? Aku Cuma pengen ngerayain berdua sama Mas Aryo."

"Akuu–"

"Enggak papa kalo Mas Aryo keberatan. Maaf, ya, Mas." Salwa menunduk dan memutar tumitnya.

"Aku mau kok. Lusa 'kan?"

Salwa memutar kembali tubuhnya. Wajahnya tampak berbinar. "Makasih banyak, Mas. Enggak lama, kok. Aku tahu lesehan enak yang buka tengah malem. Enggak jauh dari sini."

"Nanti pulangnya tak anterin aja, Wa. Kamu enggak usah bawa motor," ucap Aryo seraya menatap gadis di hadapannya.

"I-iya, Mas. Makasih banyak, ya ... Mas Aryo sudah–"

"Iya, sama-sama. Sudah sana balik ke dapur. Kerjaanmu masih banyak 'kan?" potong Aryo.

"Iya Mas."

Zinnia mematung, memperhatikan percakapan Salwa dan Aryo dari balik dinding pembatas. Setelah keduanya menghilang ke dapur masing-masing, Zi juga memutar tubuhnya. Dia menatap kertas catatan di tangannya dan memutuskan menunda sejenak tujuannya tadi. Seraya melangkah ke atas, Zi memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Seharusnya dia merasa bahagia, bukankah dirinya ingin menjadi mak comblang mereka? Mengingat senyum Aryo tadi, ada sebagian hatinya yang tidak rela. Dia merasa hatinya berantakan.

***

Peony CornerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang