Happy reading🥰
🌷🌷🌷
Bab 6. Lelaki Beraroma Mentega
“Minyak apa yang bikin mabuk?” tanya Aksan seraya cengar-cengir. Pemuda berambut keriting itu paling senang tebak-tebakan sama Gita, karena gadis itu tidak pernah bisa menjawab.
Keduanya baru saja selesai membersihkan ruangan kedai. Setengah jam lagi kedai baru buka sehingga Aksan dan Gita beristirahat sejenak di depan coffe bar. Tampak Wina sedang mondar-mandir membawa nampan dan menyusun kue-kue cantik itu di etalase. Sementara Zinnia duduk di ujung, termenung seraya memegang cangkir berisi kopi.
Gita yang masih memegang lap dan spray pembersih di tangannya, mengerutkan kening sambil berpikir serius dengan bibir mengerucut. “Hmmm ... apa, ya? Minyak goreng ... bukan ... minyak tawon ... untuk obat ... minyak apa to, San? Bingung ... aku nyerah aja,” dengkusnya.
“Minyaksikan kamu tersenyum, Gita Sayang ....” Aksan tertawa melihat wajah Gita yang cemberut.
“Hush, takut aku ... enggak mau! Nanti Mbak Mira marah sama aku, aku enggak bisa ngutang nasi bungkus lagi di depan,” omel Gita.
“Lah, kenapa Mira dibawa-bawa? Hubungannya apa Gitaaaa!” teriak Aksan dengan gemas. Kini, giliran Aksan yang bingung sendiri. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Ya, ada ... kalo kamu suka liat aku senyum nanti pacarmu, Mbak Mira itu sewot. Aku yang rugi ... aku ‘kan enggak suka sama kamu. Cintaku Cuma untuk Jimin seorang. Ti-tik!” ketus Gita seraya bersedekap.
“Ya Salaam ... Ya Robi. Ini tebak-tebakan Gita! Lucu-lucuan!” Aksan menepuk jidatnya.
Wina yang sedari tadi sibuk menata kue di etalase tertawa keras melihat kelakuan Aksan dan Gita. Selalu saja seperti itu akhirnya ... salah paham tiada akhir. Aksan yang hobi tebak-tebakan pasti kepentok sama Gita yang serius namun naif. Melihat sikap keduanya yang bagaikan Tom and Jerry, sungguh membuat hiburan bagi Wina dan yang lainnya.
“Lagian kamu itu San, hobi kok ngasih tebak-tebakan ke Gita. Sudah tahu kalo Gita enggak pernah bisa jawab kok enggak kapok-kapok. Coba tanyain warna favorit Jimin pasti tahu dia!” seru Wina dari balik etalase. Dia baru saja selesai menyusun nampan kue terakhir.
“Biruuu,” sahut Gita antusias.
Aksan memutar bola matanya. Dia mendengkus lirih. “Iya ... iya ... dasar Army sejati! Sama kayak Mbak Wina,” tukas Aksan.
“Iyess ... Jimin, I love you!” Gita membuat kecupan jarak jauh sambil memejamkan mata. Wajahnya berbinar dengan senyuman terkembang sempurna.
Aksan yang melihat kelakuan Gita langsung bergidik geli. Tidak habis pikir bagaimana fanatiknya gadis berekor kuda tersebut.
“Sudah ... sudah ... kalian ke dalam dulu. Cepetan bersih-bersih diri biar enggak kucel kek gitu,” seru Wina melerai. Bahaya jika keduanya dibiarkan begitu saja, enggak akan ada habisnya saling bersahutan tiada henti. Wina bernapas lega begitu melihat keduanya menghilang ke dalam.
Pandangan Wina tertumbuk kepada Zi yang sejak tadi diam tanpa suara. Alisnya terangkat dan maniknya memicing menatap Bos Cantik yang sejak tadi memutar-mutar cangkir di tangannya. “Mbak Zi ... hoi ... Mbak ... helloow!” seru Wina menggoyang-goyangkan tangan di hadapan wajah Zinnia.
Zi tergagap. “Eh i-iya, Win ... lu manggil gue, ya?”
Wina berdecak. Dia menghampiri Zi dan berdiri di balik meja menatap Zi tajam. “Kalo mata Mbak ngeluarin sinar kek Superman pasti dah hancur dari tadi itu gelas. Mbak Zi sakit? Ato lagi banyak pikiran? Tak perhatiin sudah dua hari ini kicep. Biasanya rajin ngomel,” cerocos Wina.
Zinnia mendongak sesaat, tak lama pandangannya menunduk kembali. Perempuan yang hari ini mengenakan outer rajut abu-abu dengan pasmina senada masih saja terdiam tanpa kata. Hanya tarikan napas panjang yang sesekali terdengar lirih.
Wina kembali berdecak. Kepalanya dipenuhi tanya melihat sikap bosnya yang sangat tidak biasa selama dua hari ini. Kecerewetan Zinnia menghilang ditelan bumi. Wina masih sibuk dengan analisa tentang apa yang terjadi dengan Zi. Maniknya menelisik perempuan yang duduk di hadapan. Wajah Wina berubah cerah saat sosok Aryo melintas masuk dengan menenteng ransel di bahu. “Nah, pas banget ini ... Mas Aryo, sini!” seru Wina.
Aryo berhenti sejenak dan menatap Wina dengan pandangan bertanya.
“Bantuin Mbak Zi, gih ... bikinin Mbak Zi apa gitu. Kasian dari kemarin lemes, tuh. Biasanya desert buatan Mas Aryo ampuh buat mood booster Mbak Zi. Ayo, Mas Aryooo ... please ....” Manik Wina mengerjap-ngerjap dengan tatapan memohon.
Aryo menatap Zinnia yang terlihat lesu. Lelaki berjaket denim itu beranjak mendekati Zi. “Ikut ke dapur sekarang!” Lelaki itu berkata dengan nada rendah dan sedikit penekanan. Tanpa menunggu jawaban, Aryo beranjak pergi.
Zinnia kembali mendongak menatap punggung lebar Aryo yang menghilang di balik pintu. Hatinya tiba-tiba berdegup kencang. Selama dua hari perkataan Aryo terus saja berputar di kepalanya, timbul tenggelam menggedor pikiran dan otaknya.
Berbeda dengan Gavin, Zinnia sejak awal bisa membaca bahwa laki-laki berzodiac Leo itu menyukainya. Namun, tidak untuk Aryo ... Zi tidak bisa membaca pertanda apa pun. Apakah dirinya yang terlalu naif dan bodoh? Zinnia merutuki dirinya sendiri. Ucapan Aryo justru menghancurkan hatinya. Dia menyayangi Aryo sepenuh hatinya, tetapi bukan rasa sayang antara dua insan berlainan jenis. Laki-laki itu kerap menjadi penolong sekaligus bodyguard. Bagi Zi, Aryo adalah keluarganya ... seorang adik laki-laki dengan selisih usia tiga tahun di bawahnya.
Zinnia menimbang sejenak tawaran Aryo. Sudah dua hari dia tidak menginjak dapur favoritnya. Sesungguhnya Zi rindu aroma mentega bercampur susu yang selalu memenuhi ruangan itu. Hatinya tidak siap jika harus kehilangan Aryo dalam hidupnya. Ternyata kehadiran laki-laki itu sungguh berharga dalam diri Zi tanpa disadari. Zinnia benci situasi ini.
“Mbak ... Mbak Zi? Lah, kenapa malah jadi patung? Enek opo to, yo? Itu loh, ditunggu Mas Aryo!” seru Wina.
Zinnia mengerjap. Teguran Wina kembali menarik kesadarannya. Dia meraup oksigen sebanyak-banyaknya, berusaha menguatkan dirinya. Zi tidak menyukai dirinya yang lemah, bagaimana pun dia harus meluruskan permasalahannya dengan Aryo. Zinnia kembali menarik napas sebelum mengayunkan langkahnya.