"DARAAAAA!"
Suara Moza menggelegar membuat alis Dara bertaut dan matanya menyipit. Tidak lupa dengan kedua tangan yang sudah menutup telinga. Suara Moza terlalu nyaring untuk didengar telinga normal.
Mata Dara mendelik sebal. Suara Moza berhasil membuat Dara yang sedang serius membaca laporan praktikum anak-anak tingkat satu itu terperanjat saking terkejutnya. Beruntung di dalam Laboratorium hanya ada Dara saja. Bisa-bisa Moza kena tegur kalau masih ada Bu Asri di sini.
"Apaan, sih, Mo? Berisik!" dengkus Dara yang kesal karena aktifitas membacanya terganggu oleh sahabatnya itu.
Tanpa rasa bersalah, Moza hanya memamerkan deretan gigi rapinya dengan mata yang membentuk bulan sabit. Gadis itu menarik kursi yang ada di dekat Dara dan duduk di sana. Ia menyodorkan dua kantong plastik yang berisikan batagor dan thai tea masing-masing dua.
"Rajin banget sih kamu, Dar. Ngopi, dong, ngopi! Periksa laporan mulu!" sindir Moza yang sudah mulai menyantap batagor yang diseruput langsung dari ujung plastiknya.
"Tanggung, sisa dua!" balas Dara yang kembali memeriksa laporan praktikum.
Perut Dara memang sudah ingin diisi, tapi rasanya tanggung kalau harus makan dulu. Lagipula Dara tidak mau kalau harus membawa laporan-laporan itu ke rumahnya. Jadi, lebih baik ia kerjakan dulu sampai semua selesai.
Moza mengangkat bahunya, lalu melanjutkan memakan batagornya yang sisa setengah. Sambil menunggu Dara, ia membunuh waktu dengan memainkan handphone.
"Dar, ada salam dari Daffa. Katanya, kamu bisa nggak jalan bareng hari ini?" Moza angkat suara begitu melihat Dara sudah menyelesaikan tugasnya.
Helaan napas keluar begitu saja dari bibir Dara. "Aku mau pulang."
"Jadi, bisa nggak?" tanya Moza lagi.
"Nggak! Kan, aku mau pulang."
Dara merapikan tumpukan laporan itu dan menyimpannya di lemari Bu Asri. Sementara Moza mengikuti langkah Dara yang bulak-balik dari meja ke lemari untuk mengangkut laporan-laporan itu. Alih-alih membantu, Moza memang lebih senang merecoki. Beruntung kesabaran Dara setebal kulit sapi.
"Buru-buru banget. Kamu ada acara emangnya?"
"Nggak ada."
Moza tidak puas dengan jawaban Dara yang bilang 'nggak' terus, tanpa ada alasan yang pasti. "Terus? Kenapa nggak bisa?"
"Ya, nggak mau aja, Mo."
"Dih! Sok jual mahalnya kumat." Moza memutar bola matanya sebal. Bisa-bisanya Dara menolak ajakan dari lawan jenis. Selalu seperti itu. "Ini Daffa loh yang ngajak kamu jalan."
Dara mengangkat sebelah alis. "Ya terus kenapa kalau Daffa?"
Lain halnya dengan Dara yang memiliki kesabaran setebal kulit sapi, kesabaran Moza justru seperti selembar tissue dibagi tiga. Kalau ada yang lebih tipis, mungkin seperti itulah kesabaran Moza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Selalu Biru
RomanceBisa berada satu kampus dengan Bisma-mantan kekasihnya saat SMA-saja, sudah membuat Dara merasa dunia ini begitu sempit. Terasa makin sempit ketika Dara dan Bisma berada dalam satu kelompok untuk pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata. Selama satu bulan, me...