Jumat bersih. Program ini memang sudah biasa dilakukan oleh warga desa setiap sebulan sekali. Kebetulan Jumat Bersih kali ini melibatkan anak-anak KKN 147. Pagi-pagi sekali, mereka sudah bergabung bersama warga untuk membantu membersihkan beberapa area.
Kali ini Dara, Caca, Nadin, Bisma, Janu dan Bani ikut bekerja sama untuk bebersih, sementara sisanya ikut bergabung membantu memasak dan angkat-angkat barang.
“Ujang, tolong pangangkatkeun ieu, nya?” kata Pak Sanusi sambil menunjuk ke arah tumpukan rumput yang sedang diikat oleh warga lain.
“Ujang? Maaf, Pak, di antara kami nggak ada yang namanya Ujang,” celetuk Nadin yang nampak kebingungan karena bapak-bapak itu melihat ke arah mereka.
Gelak tawa tak terelakkan dari Bani. Ia bahkan sampai nyaris terjungkal karena tidak tahan melihat ekspresi Nadin yang terlewat polos. Sementara anak-anak yang lain dan Pak Sanusi mencoba menahan tawa.
“Gini, ya, Nadin cantik, Ujang itu panggilan buat anak laki-laki. Ya emang, sih, ada yang namanya Ujang juga, cuma untuk kondisi saat ini Ujang itu untuk manggil kita-kita para cowok,” jelas Bani yang telah menyelesaikan tawanya.
Wajah Nadin berubah menjadi semu merah. Antara malu dan juga karena pujian dari Bani. Siapa, sih, yang tidak suka dipuji cantik? Bagi penganut bahasa cinta words of affirmation, tentu saja Nadin sangat menyukai pujian ini.
“Ah, gitu,” balas Nadin mencoba stay cool.
Setelah kesalahpahaman tadi, para laki-laki kecuali Bisma mengangkat rumput-rumput seperti yang diperintahkan. Rumput-rumput yang terkumpul tersebut biasanya sebagian akan dialokasikan langsung untuk diolah menjadi pupuk organik, sebagian lagi dipasok untuk hewan ternak warga.
Sedangkan Bisma bersama tiga perempuan sibuk mengurusi sampah. Bisma bagian terjun ke parit dan yang lain memasukkan sampah-sampah itu ke trash bag.
“Ih ini bau banget!” keluh Nadin sambil mengusek-usek hidungnya. Ia bahkan dari tadi hanya diam berdiri memegang trash bag yang masih bersih tanpa mau menyentuh sampah sedikit pun.
Mencium aromanya saja sudah dapat dibayangkan betapa menjijikannya sampah-sampah tersebut. Bisa-bisa aromanya menempel di tubuh Nadin menggantikan aroma minyak wangi ratusan ribu milik gadis itu. Membayangkannya saja, Nadin sudah tidak sanggup.
Berbeda dengan Nadin, Dara dan Caca sebisa mungkin membantu pekerjaan itu. Memang bagi mereka ini bukanlah hal yang biasa, tapi bagaimanapun mereka harus mencoba untuk berkontribusi langsung bersama masyarakat. Dengan alat seadanya, Dara dan Caca membungkus tangannya dengan kantong plastik agar tidak bersentuhan langsung dengan sampah dan hidung yabg tertutup dengan masker.
“Tau gini, aku mending ikut Manda sama Indah masak bareng sama ibu-ibu,” keluh Nadin lagi.
Mendengar keluhan Nadin ini membuat Bisma tergelitik. “Duh, jangan, Nad! Kamu lebih aman bareng kita, deh, di sini. Nggak apa-apa deh kalau cuma pegang trash bag dan nggak ngapa-ngapain. Kalau kamu ikut ke dapur, bisa-bisa piring pecah semua. Piket kemarin aja ada dua piring kan yang kamu pecahin. Ya, kan, Dar, Ca?”
Pernyataan Bisma diangguki oleh Dara dan Caca secara bersamaan.
Nadin meringis sambil memamerkan gigi kelincinya. Benar kata Bisma, kemarin saat ia mendapat piket dapur, berkat keteledorannya dua piring pecah bersamaan dua menu masakan yang meluncur bebas dari sana. Sejak dulu, Nadin akui kalau dia memang tidak pernah bersahabat dengan urusan dapur.
“Iya juga, sih!” Nadin menganggukkan kepala. Ia menoleh ke arah pohon rindang yang hanya beberapa meter dari mereka. Gadis itu mendekati Bisma yang sedang di parit, lalu mengelus puncak kepala laki-laki itu. “Semangat, ya, Ganteng!”
Diperlakukan seperti itu, bukan hanya Bisma yang mematung, tapi juga Dara dan Caca yang sama terkejutnya.
“Aku mau duduk di sana, ya!” beritahu Nadin pada mereka bertiga, sebelum akhirnya memilih duduk di akar pohon yang menyembul ke atas.
“Kamu pacaran sama si Nadin, Bis?” tanya Caca begitu saja sampai Dara mendadak tersedak salivanya sendiri.
Tanpa menjawab pertanyaan Caca, Bisma memberi kode pada gadis itu untuk mengusap-usap punggung Dara yang kini sedang terbatuk-batuk.
“Kamu kenapa, Ra?” Baru menyadari situasi, Caca pun ikut panik karena Dara yang tiba-tiba batuk.
Dara menggeleng pelan. Ia mengangkat sebelah tangannya memberitahu kalau ia baik-baik saja. “Aku nggak apa-apa, kok,” balas Dara setelah batuknya berhenti.
“Kalau capek, istirahat aja, Ra.”
Mendengar sahutan Bisma, sontak Dara menggeleng. Ia bahkan tidak berani menoleh ke arah laki-laki itu. Ia khawatir Bisma berpikiran yang tidak-tidak, karena ia tersedak tadi. Dara hanya terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir Caca untuk Bisma tadi.
Pemikiran Dara beralih pada dugaan sebelumnya. Berarti bukan hanya Dara yang ‘ngeh’ akan interaksi Bisma dan Nadin yang terlihat sebagai pasangan, tapi Caca juga. Atau mungkin teman-teman yang lain berpikiran yang sama.
“Iya, Dar, kalau capek istirahat aja,” timpal Caca.
“Nggak kok, aku baik-baik aja. Santai.”
Mereka kembali melakukan pekerjaan yang sempat tertunda. Walau sebenarnya di hati Dara yang terdalam masih menerka-nerka jawaban apa yang akan terlontar dari bibir Bisma kalau saja ia tidak batuk. Entah mengapa, rasanya penasaran saja. Dara hanya ingin tahu. Tidak lebih.
Sudah hampir tiga trash bag besar terisi penuh oleh sampah-sampah yang Bisma korek di parit sepanjang lima meter. Banyak sampah-sampah plastik dan juga beberapa barang yang cukup besar seperti potongan kasur atau baju utuh yang sudah lusuh. Jika dikumpulkan keseluruhan mungkin lebih dari sepulu trash bag.
Rupanya, kesadaran masyarakat atas pembuangan sampah ke saluran air masih begitu rendah. Bagi mereka, yang terpenting dikumpulkan dulu di sana, karena akan ada pembersihan setiap sebulan sekali. Namun, bisa berbahaya jika terus seperti ini, karena penimbunan sampah terlebih dalam air, selain bisa menyumbat saluran air, ini juga dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Akan banyak korban demam berdarah nantinya.
“Eh, ada Kak Gala,” celetuk Caca yang tidak sengaja melihat Gala tengah berjalan ke arah mereka.
Pandangan Dara beralih pada Gala yang sudah berada di antara mereka. Walau memakai pakaian rumahan dan terlihat kotor, tapi di mata Dara, Gala tetap berkarisma walau hanya mengangkat buntelan sampah-sampah itu.
“Ini udah selesai?” tanya Gala sambil mengarahkan tangannya ke arah trash bag yang sudah penuh itu.
“Udah, Kak,” jawab Dara sembari menyunggingkan senyum.
“Biar saya bawa, ya?”
Ketika hendak mengambil trash bag tersebut, sebuah tangan lebih dulu menarik buntelan sampah itu dan membuat Gala terkejut. Tidak hanya Gala, Dara dan Caca pun terkejut karena tiba-tiba Bisma sudah naik ke darat dengan pakaian yang basah kuyup penuh lumpur.
“Nggak usah repot-repot, A. Biar saya aja yang angkut.”
Tanpa babibu, Bisma mencoba mengangkut satu trash bag. Berat sekali rasanya. Ia bahkan menolak bantuan Gala yang mengusulkan untuk angkut berdua. Namun, takdir sedang tidak berpihak kepadanya.
“Bisma, kamu nggak apa-apa?”
Bisma terjungkal karena beban yang terlalu berat dan medan yang licin. Ini sangat memalukan. Bisakah ia tenggelam dari muka bumi ini?Luv,
HD💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Selalu Biru
RomanceBisa berada satu kampus dengan Bisma-mantan kekasihnya saat SMA-saja, sudah membuat Dara merasa dunia ini begitu sempit. Terasa makin sempit ketika Dara dan Bisma berada dalam satu kelompok untuk pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata. Selama satu bulan, me...