Berulang kali Dara me-refresh laman resmi pengumuman kelompok Kuliah Kerja Nyata, dengan harapan yang ia lihat itu tidak benar adanya. Bisma Kamandaka, sebuah nama yang mencuri perhatian Dara sejak munculnya nama itu di antara barisan nama-nama anggota—yang akan menjadi—kelompoknya saat KKN nanti.
Bisa Dara pastikan kalau tidak ada lagi Bisma dengan nama lengkap dan jurusan yang sama dengan Bisma yang ia kenal.
“Ini web error pasti, nih!” Dara mencoba menghibur diri.
Dara tidak tinggal diam. Ia mencoba me-restart laptop-nya dan membuka kembali laman tersebut.
“Sial!” keluh Dara untuk kesekian kalinya.
Urutan nama-nama itu masih sama. Nama Bisma masih berada tepat di atas nama Dara. Helaan napas berembus keras dari bibir gadis itu. Ia menatap laman itu sekali lagi, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
Di antara ribuan mahasiswa di kampus ini dan ribuan peluang, mengapa harus ada Bisma yang menjadi teman satu kelompoknya? Berada dalam satu kampus yang sama saja membuat Dara kewalahan sendiri untuk menghindar, padahal mereka berbeda fakultas. Apalagi harus disatukan dalam kelompok yang sama, Dara tidak bisa membayangkan jika harus berinteraksi lebih dengan Bisma dalam waktu sebulan lamanya. Sangat di luar ekspektasi Dara.
Bukan tanpa alasan Dara sefrustrasi ini. Bisma adalah laki-laki yang selama ini Dara hindari. Laki-laki yang merupakan mantan kekasih Dara yang putus empat tahun lalu. Laki-laki pertama yang berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Rasanya rasa sakit hati Dara terlalu mendarah daging, sampai ia selalu merasa kesal tiap melihat atau mendengar sesuatu yang berkaitan Bisma.
Kalau bukan karena cita-citanya dulu untuk masuk kampus ini, mungkin Dara akan memilih kampus lain agar tidak berada di lingkungan yang sama dengan Bisma. Namun, nasi sudah menjadi bubur, mereka dipertemukan kembali di kampus yang sama. Sekeras apa pun untuk menghindar, nyatanya peluang untuk bertemu tidak bisa terelakkan.
“Kebetulan yang sangat membagongkan,” gumam Dara sambil menatap laptop-nya dengan horor.
Sedang sibuk meluruskan pikirannya, suara dering telepon memecah lamunan Dara. Nama Moza terpampang di sana. Tanpa menunggu lama, Dara mengusap tombol hijau dan segera menjauhkan speaker dari telinganya.
Sudah Dara duga, lengkingan suara Moza akan menyambutnya dan membuat ia meringis.
“Dar! Tau, nggak?”
“Nggak!” sahut Dara yang membuat terdengar dengkusan kecil di seberang sana.
“Ih, belum selesai!” protes Moza kesal. Ia kembali melanjutkan pembicaraannya, “masa ya, di kelompokku nama-nama cowoknya kayak orang-orang ganteng dan bau-bau duit.”
“Ya terus?”
“Ya mau aku jadiin gebetanlah! Sayang banget satu bulan nggak menikmati pemandangan indah para cowok ganteng itu,” balas Moza dengan antusias.
Sementara Dara hanya bisa memijat kepalanya yang mendadak pening. “Yakin banget kamu, Mo, kalau mereka ganteng dan berduit cuma tebak dari nama doang. Aneh!”
“Ets! Jangan salah! Gini-gini seorang Moza udah survey dan memantau akun-akun sosial media mereka. Ya, walau beberapa dari mereka udah ada yang punya pacar, selagi janur kuning belum melengkung, masih bisa lah kusalip!”
Dara memutar bola matanya sebal. Kalau Moza berada di hadapannya, mungkin sebuah toyoran sudah mendarat di kepala sahabatnya itu. Celotehannya bikin sakit kepala emang. Nanti, giliran tidak sesuai dengan ekspektasi, jangan harap telinga Dara aman dari curhatan panjang kali lebarnya Moza.
“Terserah kamu, deh, Mo,” balas Dara yang sudah pasrah dengan pemikiran Moza. Apalagi kalau sudah menyangkut laki-laki. Didebat bagaimanapun rasanya tidak mempan. “Lagian, ya, kita di sana niatnya buat KKN. Kerja! Bukan ajang cari jodoh.”
“Tau istilah sambil menyelam minum air, kan, Dar? Nggak usah kaku-kaku bangetlah hidup mah. Kayak kanebo kering aja.”
Nah, kan! Moza dengan sejuta alasannya.
“Kalau kamu gimana, Dar? Udah survey sosmed cowok-cowok ganteng di kelompokmu belum?”
Alih-alih bertanya ditempatkan di desa mana, Moza memang lebih tertarik membicarakan makhluk yang berwujud laki-laki. Terlebih laki-laki tampan nan rupawan. Selalu menjadi trending topic pertama di dalam kepalanya.
Dara menghela napas lelah. Boro-boro survey sosial media teman-teman kelompoknya, pikiran Dara sudah kacau lebih dahulu karena melihat nama Bisma di barisan itu. Sampai detik ini saja, Dara masih berharap kalau daftar nama-nama itu bisa berubah.
“Nggak penting,” balas Dara.
Lagipula, menurut Dara, memang setidak penting itu untuk mencari tahu lewat sosial media. Toh, pada akhirnya, mereka akan melakukan pertemuan untuk mempersiapkan KKN besok. Jadi, rasanya tidak perlu capek-capek untuk mencari tahu lebih.
“Susah emang ngomongin cowok sama cewek anti-romantic kayak kamu mah, Dar. Aku sumpahin loh, di sana kamu dapet cowok! Biar agak rame gitu masa mudanya. Kasian, nggak ada hiburan.”
Dara tidak bisa menahan tawanya karena Moza yang terdengar frustrasi di seberang sana. Ia suka bingung sendiri dengan Moza yang terkesan memaksanya untuk mendapatkan seorang kekasih. Memang ada yang salah kalau Dara memilih jomlo?
“Gimana kamu ajalah, Mo, yang penting Moza bahagia!” ucap Dara di tengah kekehannya.
“Aku juga mau kamu bahagia, Dara. Dah, ah! Malah jadi melow ngobrol sama kamu. Aku tutup dulu ya, Dar? Kita sambung besok di kampus,” putus Moza.
Setelah sambungan telepon Moza terputus, Dara kembali larut dalam kenyataan. Dara mematikan laptopnya setelah ia memastikan sekali lagi kalau nama-nama itu tidak berubah. Selepas itu, Dara menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan menatap langit-langit dengan perasaan yang terombang-ambing.
Memikirkan berada di satu lingkungan bersama Bisma selama kurun waktu satu bulan lamanya membuat otak Dara pening. Jujur saja, Dara belum sesanggup itu jika harus berhadapan dengan Bisma secara langsung. Jika di kampus ia masih bisa kabur dengan lewat jalan lain, beda cerita dengan kegiatan KKN ini. Untuk kabur saja, rasanya tidak mungkin.
“Aku harus gimana, ya?” Dara berpikir keras. Ia tidak ingin terlihat seperti orang yang gagal move on, meski kenyataannya Dara belum bisa melupakan Bisma seratus persen. “Aku nggak boleh bikin cowok itu menang. Enak aja!”
Dara ditinggalkan dan dikhianati. Bisma yang memutuskan hubungan mereka terlebih dahulu. Akan merasa di atas awan untuk laki-laki itu jika Dara terlihat gagal move on darinya. Dara juga tidak bisa terima, kalau laki-laki itu lebih bahagia dari dirinya.
“Saran Moza nggak ada salahnya, deh. Apa aku harus cari pacar juga di sana?” tanya Dara pada dirinya sendiri.
Namun, Dara segera menggelengkan kepala. Pemikirannya barusan, sepertinya bukan solusi yang tepat untuk pembuktian kepada Bisma kalau ia sudah lebih bahagia selepas ditinggal laki-laki itu dulu.
“Kayaknya, aku baru aja jilat ludah sendiri.”
Dara mengacak-acak rambutnya sendiri. Ia mengguling-gulingkan tubuhnya di atas ranjang dan berakhir menenggelamkan kepalanya di bawah bantal. Memilih tidur sepertinya akan membuat pikiran Dara tidak seberisik ini.
Bisma dan kenyataan yang kuhadapi saat ini, semoga mereka hanyalah mimpi burukku malam ini. Doa Dara sebelum akhirnya terlelap dalam tidur.Agak sulit emang kalau dasarnya gagal move on,
tapi maksa-maksa ingin keliatan udah move on.🙃
Kalau kamu di posisi Dara, apa yang bakal dilakuin?Terima kasih udah baca cerita ini.
Sampai ketemu besooook!Luv,
HD💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Selalu Biru
RomanceBisa berada satu kampus dengan Bisma-mantan kekasihnya saat SMA-saja, sudah membuat Dara merasa dunia ini begitu sempit. Terasa makin sempit ketika Dara dan Bisma berada dalam satu kelompok untuk pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata. Selama satu bulan, me...