“Kamar mandi udah kosong tuh! Siapa yang mau mandi selajutnya?”
“AKU!”
“Aku udah Nadin, ya!”
Teriakan-teriakan itu sudah seperti makanan setiap pagi di telinga penghuni posko. Sebelum memulai aktivitas ke luar, mereka akan berbondong-bondong mencarter kamar mandi dan melakukan kegiatan lain sambil menunggu giliran. Ada yang memilih rebahan sambil main handphone, olahraga ringan di halaman depan, beres-beres ruangan, ada pula yang sekadar jalan-jalan pagi sambil berburu gorengan.
Seperti saat ini, Dara dan Caca kebetulan mendapat bagian belanja untuk kebutuhan dapur dan memasak. Mereka sedari subuh sudah bergegas ke pasar, ditemani oleh Bani sebagai tukang angkut-angkut barang, jaga-jaga kalau diperlukan.
“Permisi-permisi!” lontar Bani yang kesusahan membawa karung beras sepuluh kilogram, sementara Dara dan Caca berada di belakang dengan menenteng kantong belanja yang berisi sayuran dan beberapa bahan masakan lainnya.
Kebetulan sekali, Bisma sedang berada di halaman depan. Ia langsung mengambil alih karung beras yang dibawa Bani. Begitu berpindah tangan, Bani langsung terkulai di teras dengan napas yang terengah.
Ini gila, sih! Bani memang sudah biasa mengangkat beban seberat itu, tapi mengangkutnya dalam jarak sejauh ini, rasanya badannya terasa remuk. Jarak posko dengan pasar tradisional di desa ini cukup jauh. Mungkin sekitar satu kilometer, ditambah lagi mereka tidak menggunakan kendaraan. Hanya berjalan kaki, yang awalnya hitung-hitung olah raga, tapi lumayan bikin sengsara.
Tadi saja, ada beberapa kali Bani meminta berhenti untuk istirahat sejenak. Dara dan Caca sempat menawarkan diri untuk bergantian, tapi Bani menolak. Rasanya tidak tega jika harus melihat para perempuan itu mengangkat karung beras seberat ini.
“Bani, istirahat dulu aja, ya! Aku sama Caca langsung eksekusi di dapur, keburu anak-anak selesai siap-siap,” ucap Dara yang mempersilakan Bani untuk istirahat terlebih dahulu. Kasian.
Mendapat anggukkan dari Bani, Dara dan Caca pun mengekor di belakang Bisma yang mengangkut karung beras ke dapur. Mereka langsung merapikan bahan masakan dan mulai memilah bahan-bahan yang akan digunakan untuk makan pagi ini.
“Saya masak nasi, ya? Berapa kaleng ini?” Bisma menawarkan diri.
“Secukupnya aja, buat pagi ini dulu. Nanti biar siang, masak lagi,” jawab Dara tanpa menoleh sedikit pun. Gadis itu mulai disibukkan dengan mengupas wortel.
Sementara Caca membersihkan potongan ayam dan merebusnya sesuai intruksi Dara.
Bisma mengangguk, lalu bergegas untuk membersihkan beras dan memasak nasi. Kerja sama ini memang sangat diperlukan agar pekerjaan lebih cepat selesai, terlebih karena diburu oleh waktu.
“Uhm! Wangi banget!” Nadin yang baru keluar dari kamar mandi pun terkesima dengan aroma kaldu yang menguar ke seluruh penjuru ruangan.
“Lama banget lu mandi! Luluran apa gimana? Anak-anak udah nungguin, nih,” protes Janu pada Nadin yang baru saja selesai mandi, padahal Dara dan Caca saja sudah menyelesaikan dua menu masakan.
Senyum semringah Nadin seketika luntur. “Dih! Sewot! Ya suruh siapa nggak carter duluan? Kan kamu tau sendiri kalau aku mandinya lama!” sahut Nadin yang tidak terima dengan keluhan Janu.
Janu berdecih. “Egois! Jangan pikirin diri sendiri, dong! Liat yang lain juga butuh kamar mandi. Harusnya lu sadar diri aja, ini bukan kamar mandi pribadi. Kita ini diburu waktu. Belum makan, belum mandi, nggak enak sama masyarakat kalau harus terlambat,” omel Janu yang tidak suka dengan Nadin yang terlalu egois menurutnya.
“Ya udah, sih. Nggak usah marah-marah! Masih pagi juga!” balas Nadin sambil mencebikkan bibirnya.
“Udah! Udah! Nggak usah berdebat lagi, ok?” Bisma datang untuk menengahi. Ia memberi kode pada Janu untuk berhenti, dan beralih pada Nadin yang masih terlihat tak suka. “Nad, lain kali jangan terlalu lama di kamar mandi, ya? Bukan apa-apa, tapi nggak enak aja sama temen-temen yang lain. Mereka juga butuh cepet-cepet.”
Nadin mengangguk lesu, walau sebenarnya ia masih ingin mencak-mencak pada Janu. Kalau bukan karena Bisma yang melerainya, mungkin perdebatan ini akan makin panjang.
Dara terpaku dengan cara Bisma menegur Nadin. Suaranya terdengar begitu lembut. Sialnya, Dara merasa seperti kilas balik akan perlakuan Bisma padanya dulu. Dara meringgis untuk menghalau pikirannya.
“Kenapa, Dar?” tegur Caca yang terheran pada Dara yang masih betah berdiri dengan beberapa piring di tangannya.
Dara menggelengkan kepalanya cepat. Ia segera bergegas menyimpan piring-piring itu ke tengah rumah.
“Ayo makan dulu!” titah Dara pada teman-teman yang lain.
Mereka memang tidak mengharuskan untuk makan bersama, karena akan membuang waktu jika harus menunggu satu sama lain. Jadi, siapapun yang sudah siap atau yang tidak sedang apa-apa, boleh mengisi waktunya terlebih dahulu dengan makan.
“Mantap sekali masakan Neng Dara sama Neng Caca,” seru Bani dengan mata yang berbinar.
Perpaduan antara sop ayam dan perkedel kentang rupanya sangat nikmat, ditambah dengan sambal akan lebih mantap. Apalagi aromanya yang khas, berhasil membuat perut keroncongan.
“Itu mah buatan Dara, kok. Aku cuma bantu potong-potong aja,” sahut Caca.
“Waaah! Tapi beneran enak loh! Saya jadi pengin dimasakin tiap hari deh sama Neng Dara. Mungkin di masa depan, ya, Neng?” goda Bani dengan mengedipkan sebelah matanya pada Dara.
Sorak sorai anak-anak yang lain berhasil membuat semburat merah di wajah Dara. Ia merasa malu sendiri karena celetukan Bani dan ‘cie-cie’ dari anak-anak yang lain.
“Anjir! Muka Dara merah dong! Santai, Dar, santai!”
Entah siapa lagi yang menyahut, Dara nampaknya ingin menenggelamkan diri dari muka bumi. Sampai akhirnya suara orang terbatuk-batuk menginterupsi.
“Lah? Pak Ketu sampai keselek, euy!”
Sontak Dara menoleh ke arah Bisma yang sedang terbatuk-batuk dan hendak memberikan air mineral gelas yang ada di hadapannya, tapi pergerakannya kalah cepat dengan Nadin yang sudah berada di samping laki-laki itu.
Napas Dara tertahan, lalu ia kembali bersikap seolah tidak terjadi sesuatu. Padahal ia merasa ada yang mengganjal, tiap kali melihat Bisma bersama Nadin.
***
Sepulang dari kegiatan satu dan menunggu kegiatan lainnya memang paling enak kalau langsung tidur siang atau sekadar rebahan. Paling banter paling ikut nimbrung ngegosip bareng tetangga dengan menyeruput kopi yang disuguhkan.
Lain lagi dengan Dara hari ini. Alih-alih tidur siang, rupanya Dara lebih memilih mengeluarkan sketchbook—yang selalu ia bawa—dan mencoret-coretnya sesuai mood. Tidak ingin mengganggu teman-temannya yang tengah tertidur, Dara memilih berdiam diri dengan sketchbook-nya di ruang tengah. Keadaan begitu hening.
“Saya pikir kamu udah lupa.”
Dara yang sedang asyik menggambar cukup terkejut dengan kedatangan Bisma yang tiba-tiba. Saking khusyunya, Dara tidak sadar kalau laki-laki itu sudah duduk di sampingnya. Dara menoleh ke arah Bisma dengan mengernyitkan kening.
Mengerti kebingungan Dara, Bisma pun mengulum senyum. “Makanan favorit saya. Ternyata kamu masih ingat dengan detail. Terima kasih, Dara.”
Sementara itu, Dara seketika diam membeku. Ia bahkan tidak sadar kalau ia memasak makanan kesukaan Bisma.Seketika Dara jadi orang linglung WKWKWK
Sampai ketemu besooook!
Luv,
HD💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Selalu Biru
عاطفيةBisa berada satu kampus dengan Bisma-mantan kekasihnya saat SMA-saja, sudah membuat Dara merasa dunia ini begitu sempit. Terasa makin sempit ketika Dara dan Bisma berada dalam satu kelompok untuk pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata. Selama satu bulan, me...