8. Astrantia

1K 86 2
                                    

Enjoy the music enjoy the story

Enjoy the music enjoy the story

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam pulang tiba. Orang-orang yang dulu tak pernah bicara padaku kini mengajakku belajar kelompok.

Dunia yang terlihat menarik kini terlihat lebih menarik sejak kedatangan Vicky.

Seandainya dia tidak memberitahu tentang kebenaranku kepada satu sekolah, mungkin orang-orang ini masih menganggapku anak pungut yang tidak pantas dijadikan teman.

"Samara, kata Laras dulu lo pengemis. Bener nggak sih?" tanya salah satu siswa berwajah tirus yang pernah membantu Laras menaburkan tepung ke wajahku di tengah-tengah pelajaran olahraga.

"Biar pun dulu pengemis, Samara itu nggak seburuk perkataan Laras," sahut Dian sebelum aku sempat menyahut.

"Iya juga sih. Tapi kan gue nggak mau temenan sama pengemis."

Senyumku memudar.

"Katanya, anak-anak panti asuhan ngemis karena terpaksa."

Aku menoleh ke arah cowok yang baru saja mendukungku. Dia satu kelas denganku, namanya Ethan.

"Kalau nggak ngemis, mereka dihukum pakai hukuman yang enggak-enggak," sambung Ethan.

"Maksud lo apa hukuman yang enggak-enggak?"

Aku menonton diskusi mereka dengan telinga memerah. Sebelum mendengar lebih banyak, aku memutuskan untuk pergi dari sana.

Aku tidak suka masa laluku yang kelam dijadikan lelucon. Mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan dulu.

Berjualan di tepi jalan untuk mencari kepingan uang. Terkena asap kendaraan. Menatap miris seorang anak yang berjalan bersama orang tuanya. Mereka berjalan normal ke sekolah, tapi dimata kami mereka sedang menyombongkan diri karena mereka punya apa yang tidak kami punya.

Sebuah mobil mengkilap yang tadi pagi kulihat di depan gerbang rumah berhenti di depanku. Jendelanya terbuka dari dalam. Wajah tertutup kacamata hitam menoleh ke arahku.

"Samara, kan?" tanya suara laki-laki yang memaksakan diri menggunakan bahasa Indonesia dengan aksen luar.

Dia menyingkap kacamata hitamnya. Dia adalah Rendra.

"Bunda suruh gue jemput lo."

Aku menatap ke arah sepedaku yang masih terparkir aman karena tak ada Laras yang akan membuangnya. "Gue bawa sepeda."

"Jadi, lo nggak akan pulang bareng gue?"

Aku menggeleng. "Nggak, terima kasih."

Rendra keluar dari mobil. Dia mendekat seolah ingin menangkapku. Tubuhku refleks mundur. "Minimal jangan menggagalkan tanggung jawab orang lain."

Itu tanggungjawabnya, kenapa aku harus terlibat?

"Masuk!" perintah Rendra dengan nada kasar.

Aku tidak berani membantah dan memilih untuk masuk ke dalam mobil.

EVIDEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang