4. Carnation

2.2K 123 4
                                        

Aku menatap iris coklat yang terpantulkan cahaya senja itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menatap iris coklat yang terpantulkan cahaya senja itu. Hanya lima senti dari wajahku. Aku bisa melihat lebih dalam, apa yang dipendam di dalam sana. Dia memendam sesuatu yang begitu besar, yang tidak pernah diketahui oleh banyak orang.

"Berheni liatin gue!" katanya sambil menghempaskan tubuhku. Seketika aku mengalihkan pandangan padahal belum selesai menganalisis apa yang dia pendam di balik tatapan itu.

"Ngapain lo di sini?" tanyanya. Dengan nada yang dingin seolah tidak memiliki belas kasihan.

Aku membuang muka. Sadar kalau sejak tadi tubuhku dikendalikan oleh energi negatif hingga hampir saja terjun ke bawah sana untuk mengakhiri hidup. Jika saja Vicky tidak menghentikanku, mungkin aku sudah berada di dimensi lain.

"Nggak papa," sahutku pelan. Meraih tas yang tidak sengaja jatuh dari bahu dan kini tergeletak lima meter di kejauhan.

"Jangan coba-coba berpikiran negatif cuma karena dibully. Kuatin mental lo."

Aku menoleh dengan dahi berkerut. Menatap raut wajah datar tanpa ekspresi itu.

Apa dia baru saja memberiku saran? Cowok yang kelihatannya tidak punya hati dan perasaan itu memberiku saran?

"Jangan egois, cuma mikirin diri lo sendiri. Ada orang yang menyesal seumur hidupnya ketika lo ambil tindakan bodoh itu," sambungnya.

Aku berjalan mendekat dan mengamati wajah Vicky lebih teliti.

Ternyata cowok sepertinya juga bisa memberi saran. Aku sempat mengira dia ini kaku, seperti robot yang tidak punya hati. Paling-paling dia akan melarang, lalu pergi meninggalkanku sendirian, bukannya memberi saran seperti ini.

"Makasih sarannya, tapi ...." aku benar-benar kehilangan kata-kata.

Kami saling menatap. Tak lama kemudian, dia mengalihkan pandangan karena sepertinya dia tau kalau aku sedang berusaha mencari tau tentang dirinya lewat iris coklatnya.

"Lo ngapain di sini?" tanyaku. Entah kenapa punya keberanian seperti itu padahal tadi pagi aku hampir tak bersuara ketika diancam olehnya di parkiran.

Semenjak aku tau dia punya hati, aku jadi makin berani.

Dia tidak menjawab. Justru mengabaikanku. Berjalan hingga tiba di atas atap untuk duduk di sana. Aku mengamatinya, menunggunya bertindak, tapi dia hanya duduk dan menatap cakrawala.

Aku pun mendekatinya. Agak tersenyum meskipun sangat sulit untuk tulus. "Gue minta maaf, karena udah buat lo nggak nyaman tadi. Iya, benar, gue tadi dengar semuanya."

Dia masih tak menatap ke arahku.

"Dan makasih juga untuk sarannya. Sebenarnya tadi gue nggak sadar gimana bisa ada di sini."

"Jangan sampai alam bawah sadar ambil alih tubuh lo. Itu akan terjadi ketika lo udah nggak bisa ngendaliin diri sendiri. Contohnya sedih berkepanjangan," sahutnya seolah dia sudah tau banyak tentang stres. Oh, mungkin dia bukan cuma tau, tapi mengalaminya juga.

EVIDEN (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang