Hari tetap berjalan laju seperti biasa, dan aku tetap menyempatkan lima belas menit tak berguna memikirkan suaranya lama kelamaan tergerus semilir angin.
Cindera mata yang ia berikan bukanlah benda, namun kegiatan masa lalu yang hanya bisa kusimpan sendirian dengan egois dan tak tau malu.
Libur tak terasa liburnya, hanya melankoni menjijikan yang membuatku merana. Seperti batu kecil yang dijatuhkan ke dalam palung terdalam. Hancur begitu mencapai dasar dengan tekanan tinggi, melebur bersamaan pasir yang tak pernah menatap matahari.
Semenjak aku menatapmu sebenarnya aku sudah jadi milikmu, genggaman semu yang melebur tak bisa keluar dari kedalaman rasaku. Perlambangan nada sensual menyayat yang obsesif.
"Secret i have held in my heart, are harder to had than i thought."
"Maybe i just wanna be yours."
Lantunan lagu sensual itu menggambarkan pengabdian terlambatku saat ini. Tentang cinta, dan keagungan yang menggelikan ternyata dapat membuat seseorang berubah jadi semengerikan ini.
Ah, ternyata semua oksigen dan nafas yang kau berikan itu harus kubayar dengan perasaan obsesif, dan ketergantungan ini. Membutuhkan keberadaanmu hanya untuk berjalan adalah hal konyol. Maka aku adalah orang konyol.
Aku tak pernah merasakan perasaan senyata ini, sampai rasanya dapat menyobek dan menggantikan fungsi indraku. Seolah beberapa rak dalam otakku beralih tempat sesukanya.
"Joonghyuk ... Joonghyuk-ah, astaga? Kau baik-baik saja?"
Suara itu kembali lagi, suara yang teputar seperti adegan eror memuakan. Tapi, merindukan.
Aku tak pernah baik-baik saja setelah kau lenyap pagi itu, pergi tanpa pamit maupun sekedar basa-basi. Sebenarnya kau darimana saja? Suaramu yang kembali memasuki gendang pendengaranku itu seperti membasuh seluruh tubuhku dengan kenyataan.
"Aku adalah orang bodoh." Lelaki itu tak mebalas perkataanku sama sekali, hanya berdiam melihat kondisiku yang menyedihkan.
"Maaf." Ucapku mencelos begitu saja.
Setidaknya katakan sesuatu, aku tak akan berkata untuk membencimu kali ini. Mungkin tak akan pernah lagi. Aku harus meminta maaf berapa kali lagi?
Aku bisa mengucapkannya ratusan kali, jutaan kali, miliaran kali. Sebutkan saja angkanya aku akan berusaha sekuat tenaga agar kau tetap mau berbicara denganku dan membiarkan udara yang kau berikan ini tetap mengalir.
Ia masih tak mengucapkan apapun, apakah sesusah itu untuk menggegamku dengan tanganmu?
"Kim Dokja."
Kami bertemu di taman pekarangan rumahku, seorang paruh baya dengan tak tau malunya duduk di ayunan kecil untuk balita dengan tiga botol bir di sampingnya. Ini adalah titik lonjak kemunduran moral manusia dan aku adalah contohnya. Dan Kim Dokja menemukanku disaat paling memalukan seperti ini.
"Kau tidak apa-apa?" Entah mengapa apapun pertanyaanmu membuatku marah, entah karena kau pura-pura bodoh, atau memang tidak mengerti.
Aku mendengus pelan, "Apa aku terlihat seperti orang yang tak apa?" Tangan rampingnya itu bergerak cepat menyingkirkan tiga kaleng kosong bir di atas pasir taman bermain itu.
Membuangnya ke tempat sampah sebelum kembali padaku, "Katakan apa masalahmu?"
"Masalahnya adalah diriku sendiri." Ia diam mencoba menarikku dari ayunan, namun satu jengkal pun tak bergeser.
"Apa yang harus aku lalukan? Polisi pasti akan patroli sebentar lagi."
Kesadaranku tercampur dengan alkohol, dan pelampiasan. Keruh seperti susu, dengan mudahnya berpikir hal paling hina yang akan aku ucapkan.
"Ciuman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukira Realita [JoongDok]
Fiksi PenggemarKehidupan sistematis Yoo Joonghyuk yang dikacaukan oleh suatu realita asing seperti virus yang dengan cepat menggandakan diri dan menyebar menyerang seluruh fungsional kehidupannya. Tak lain, tak bukan-Kim Dokja. Tidak ada hubungannya dengan canonic...