Note : Karena cerita sebelumnya menggunakan point of view Yoo Joonghyuk, supaya tak membingungkan saja kali ini Rube menggunakan Kim Dokja point of view. Hope i can write as 'him' uhh..
Langit mendung yang mulai merayap ke atap-atap langit Seoul hari ini membuatku bergidik karena diikuti dengan suhu rendah. Tanganku reflek memegang lengan menggeseknya sedikit untuk mendapat kehangatan, namun seseorang memberikan satu minuman kaleng hangat di mejaku.
Yoo Joonghyuk, lelaki ini adalah ekspektasi paling bawah dari seluruh paradoks kemungkinan yang sudah aku pikirkan. Sebuah presentase paling kecil yang bisa dikatakan bahwa kita sekarang 'berteman' entah ia menganggapku teman atau hanya sekedar kenalan kantor aku tak tau.
"Ah? Oh.. terimakasih, Joonghyuk-ah." Mungkin ia memang menganggapku teman.
"Dengan tubuhmu yang ceking itu, kalau besok kau tak membawa pakaian tebal terkena hawa dingin pasti akan langsung mati." Tidak mungkin ia menganggapku teman.
Lelaki penuh kontradiksi, terkadang aku melihat diriku sendiri di dalam dirinya. Ia tak pernah menunjukan dirinya yang asli, seolah memang melantunkan mantra proteksi setiap hari. Semakin lama semakin tebal. Apakah dia dapat melihat dunia setelah banyak lapisan proteksi tersebut? Membuatku sedikit ingin menggapainya.
Hari berganti hari, nyawa seakan bergilir menyetorkan perasaannya. Dari sekian waktu yang kubunuh dengan tanganku sendiri, senyuman yang hanya dua kali aku lihat adalah tanda pecahnya semua proteksi yang telah ia rapalkan. Ketika aku memanggil namanya beberapa kali ia seperti terjebak dalam suasana estetika aneh.
Tatapan matanya mulai berbeda dengan biasanya. Kopi, perkataan kasar yang meyakinkan, dan sentuhannya. Aku berusaha untuk melankah lebih jauh lagi. Meruntuhkan pertahan itu dengan semua percakapan yang bisa aku pikirkan.
Sampai akhirnya rumor itu muncul.
"Anak pembunuh." Tanganku lemas seolah semua tulangnya diambil dan dihancurkan. Luruh bersama dengan darah yang terpompa kencang seperti jantungku ini tumbuh jadi tiga.
Tangan-tangan menunjukku, mata yang mulai terbuka menunjukan sorot yang tak mau aku tau artinya. Udara, dan langit bebas yang kuimpikan itu terpecah, membuatku jatuh lagi kedalam lubang penjara gelap yang penuh dengan bisikan dan telunjuk tangan yang mengalahkan semua strata.
"Dokja-ya." Suara yang biasanya ku gemari itu membuatku terbirit lari ketakutan.
Aku hanya ingin ia tau apa yang bisa aku banggakan, hal-hal baik yang terbaik ada dalam diriku. Membentuk jati diriku menjadi seorang yang dipenuhi dengan bunga musim semi.
Semua bunga itu tersiram cairan asam rumor, dan prasangka. Menenggelamkan semua warna yang bergelapan di matamu. Mungkin berganti semua monokrom yang kembali merengut keberadaanmu.
Sebuah kesadaran realita yang hilang kini kembali lagi, dengan tinjuan, dengan tamparan, dengan semua terjangan kekerasan.
Seminggu setelahnya aku melarikan diri, mengurung diriku lagi dengan uang yang ku simpan selama beberapa bulan ini. Entah berapa lama aku dapat hidup melihat keadaaanku yang malang seperti ini. Cukup dengan semua tindak tanduk congkak yang selalu aku lakukan. Kali ini aku tak punya apapun, dari awal memang aku tak pernah ada harganya. Dari awal memang aku tak pernah ada gunanya.
Hanya manusia yang berusaha bernafas, dan entah bagaimana dapat bangun keesokan harinya dengan perasaan yang sama.
Hari itu hari minggu, waktu aku yang aku dapati untuk masuk kedalam kereta panjang untuk bertemu dengan ibuku. Pertemuan kami singkat, aku hanya bercerita sedikit dan sisanya tertidur di kamar masa kecil suramku sampai baru bangun pada tengah malam.
Tanganku terasa kaku, kakiku terasa nyeri karena terlalu banyak tertidur. Pikiranku perlu sedikit hawa dingin musim salju untuk menenangkan dirinya sendiri. Karena itu kedua kakiku menumpu tubuhku untuk berjalan dengan sembarang ke pekarangan yang jarang aku lewati.
Sampai lelaki itu, mantel hitam panjang yang selalu aku lihat saat masa-masa semiku, perawakan bidang yang terlihat dari kejauhan. Menunduk dengan tatapan kosong, tiga botol bir tergeletak di samping ayunan anak.
Orang yang selalu sendiri itu akhirnya merasakan kesepian untuk pertama kalinya. Membuatku tak punya pilihan lain selain memanggil namanya, "Joonghyuk-ah"
Aku tak pernah melupakan mata yang membalas pandanganku malam itu, sedikit cercah diantara hitamnya manik yang menggetarkan eksistensi sekitarku. Gelombang frekuensi yang meleburkan semua rasionalitas terpancar dari mata dan wajahnya.
Saat itu tak jelas kuingat, yang jelas tergambar adalah satu. Detak jantungku yang begitu kencang saat menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ukira Realita [JoongDok]
FanfictionKehidupan sistematis Yoo Joonghyuk yang dikacaukan oleh suatu realita asing seperti virus yang dengan cepat menggandakan diri dan menyebar menyerang seluruh fungsional kehidupannya. Tak lain, tak bukan-Kim Dokja. Tidak ada hubungannya dengan canonic...