Tertarik Denganmu -8-

1.4K 96 3
                                    

Sia ingin berlari ke arah Garda dan menolong pria itu, namun kakinya terlalu kaku untuk digerakkan. Ia pun hanya diam di tempat dan menyaksikan bagaimana satpam dan pengawal menolong Garda keluar dari mobil.

Sia kesulitan bernafas saat melihat Garda tak sadarkan diri. Tiba-tiba memori kedua orang tuanya yang bunuh diri terulang lagi di otaknya dan membuatnya merasa takut jika ia akan melihat kematian lagi.

"Non Sia."

Tepukan di bahunya dari seseorang tak mampu membuatnya merasa lebih baik dan kemudian tak sadarkan diri dengan wajah pucat pasi serta berkeringat. Sia bisa membohongi orang lain bahwa ia kuat dan sudah melupakan kesedihannya akan kematian orang tuanya. Namun, hari ini ia gagal membohongi dirinya sendiri. Kematian orang tuanya memberikan trauma mendalam yang membuat Sia tak sanggup membayangkan kehilangan orang terdekatnya lagi.

_________________

Sia membuka matanya perlahan-lahan dan berusaha menyesuaikan intesitas cahaya yang masuk ke kelopak matanya saat terbuka sepenuhnya. Melihat ruangan serba putih membuat ia tersadar berada di rumah sakit. Ia berusaha bangun dan seseorang membantunya. Orang tersebut adalah salah satu pelayan di rumah Garda yang bernama Bu Suri.

"Non, masih terasa sakit? Mau Bibi panggilkan dokter?"

"Aku baik-baik saja, Bi. Keadaan Garda bagaimana?"

"Bapak masih tak sadarkan diri. Tulang lengan Bapak patah jadi tak bisa digerakkan selama beberapa minggu."

"Saya mau melihat Garda."

Bu Suri mengangguk dan mengantarnya ke ruangan VVIP, tempat Garda dirawat. Ia masuk sendirian ke dalam karena Bu Suri berencana pulang untuk membawa pakaian Garda karena pria itu harus menginap di rumah sakit.

Sia menatap sendu pada Garda yang terlihat berbeda dari biasanya, pria itu terlihat rapuh dengan kain perban yang membungkus tangan kanannya. Ia memberanikan diri menyentuh perban itu, namun tiba-tiba Garda terbangun dan membuka mata.

"Maaf, apa lenganmu terasa sakit?"

"Ya, sedikit."

Situasi canggung mulai terasa di antara keduanya karena pertemuan terakhir mereka terjadi pertengkaran.

"Mau aku telepon Zela untuk memberitahu kabarmu?"

"Tidak perlu. Zela jarang bersenang-senang dengan temannya, dia akan lebih memilih pulang untuk melihat keadaanku dan aku tak mau menganggunya."

"Ya, kau benar."

Tak ada lagi percakapan. Untungnya dokter dan suster datang untuk mengecek keadaan Garda. Sia hanya memperhatikan dan mendengarkan diagnosa dokter. Selama beberapa minggu, Garda tak boleh menggerakkan tangannya sehingga harus dibantu seseorang untuk menyuapinya saat makan, atau mengambil keperluannya. Setelahnya dokter dan suster pergi meninggalkan keduanya.

"Saya minta maaf atas perkataan saya waktu itu, saya tidak bermaksud menghina kamu," ucap Garda memberanikan diri untuk membuka percakapan mengenai pertengkaran mereka lebih dulu.

"Iya, saya sudah maafkan," balas Sia. Ia tak tega untuk berlarut-larut dalam amarah saat kondisi Garda sedang tak baik.

Bu Suri akhirnya kembali sambil membawa tas berukuran besar yang kemungkinan berisi barang Garda. Jarak rumah sakit dan rumah memang tak terlalu jauh sehingga Bu Suri kembali dengan cepat.

"Pak Garda, ini perlengkapan yang dibutuhkan selama Bapak menginap di sini. Perlengkapan Non Sia juga ada di sini."

"Punya saya? Tapi saya engga dirawat, Bi. Saya udah bisa pulang hari ini," tanya Sia yang bingung.

"Saya kira Non Sia yang rawat Bapak selama di rumah sakit, soalnya engga ada Non Zela. Bapak juga engga suka berinteraksi dengan pekerjanya."

"Saya bisa rawat diri saya sendiri, Bi. Bibi dan Sia pulang saja," ucap Garda yang tak ingin menyusahkan Sia. Terlebih gadis itu hanya diam dan tak menyetujui ucapan bu Suri. Bu Suri mengangguk dan pamit pulang.

Sia menjadi merasa bersalah karena menolak membantu Garda padahal pria itu sudah sangat baik padanya.

"Engga apa-apa, biar saya bantu rawat kamu selama Zela masih camping."

"Yakin? Engga keberatan?"

"Engga kok, kamu butuh apa?"

"Saya lapar, mau makan."

Sia menekan tombol merah di samping tempat tidur Garda, tak lama kemudian suster datang. Ia pun menjelaskan keinginan Garda dan suster mengambilkan makanan berupa sup dan air putih.

Sia yang mengerti kondisi tangan Garda langsung berinisiatif menyuapi pria itu. Satu suapan hingga suapan yang kesekian kalinya, mereka hanya diam tanpa berbicara apapun. Bahkan sampai mangkuk kosong dan dibawa oleh suster, keduanya masih diam. Sia juga pura-pura sibuk main ponsel padahal ia hanya buka tutup aplikasi, ia tahu Garda sedang memperhatikannya saat ini.

"Kamu masih marah sama saya?" tanya Garda yang membuat Sia mau tak mau menatap pria yang mengajaknya bicara.

"Engga."

"Lalu, kenapa masih bersikap dingin?"

"Seingat saya, hubungan kita tidak pernah hangat."

Sia, gadis yang berpikir dengan logika dan telah mengesampingkan perasaan setelah tahu bagaimana perilaku Garda. Ia bisa memaafkan, tapi tak bisa melupakan.

"Kata Bibi, kamu sempat pingsan. Kamu sakit?" tanya Garda mengabaikan jawaban Sia sebelumnya.

"Saya baik-baik aja. Cuma capek."

"Kamu mirip Zela, kalau bohong selalu pegang alis."

Ucapan Garda membuat Sia tersadar dengan perilakunya sendiri. Ia pun menurunkan tangannya dari alis dan tampak canggung karena Garda tahu kebiasaan buruknya. Garda yang awalnya masih menatap lembut padanya, kini menatap serius padanya.

"Sia, saya tertarik sama kamu."

*****

Tangerang, 02 Juli 2023

SIA - Dewasa KarenamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang