Sepoi-sepoi angin bertiup menerbangkan dedaunan kering yang jatuh, suasana siang nampak tenang dengan suara kicauan burung. Dia duduk menghadap laptop di balkon kamar yang bernuansa putih itu. Angin juga menerbangkan rambut yang sudah ditata sejak mentari belum bangun. Siapa lagi bukan Naradipta Jayendra Aksa.
Sejak selesai shalat subuh berjamaah di masjid pagi ini, Nara adalah orang yang paling sibuk. Hari pertama ospek fakultas setelah kemarin ospek Univ. Jangan kira saat ini ia sibuk dengan tugas ospek yang diberikan kakak pembina.
Naradipta atau yang sering dipanggil Nara itu sibuk menghubungi sang abang untuk membantunya mengerjakan tugas. Siapa lagi jika bukan Madhava Garvi Arsharendra. Jika tugas yang mepet seperti ini, hanya si sulung yang bisa diharapkan. Meski sibuk dengan perkerjaannya, tapi Madha pasti akan menyempatkan diri untuk membantu sang adik.
Mengharapkan Abang keduanya adalah hal yang mustahil, Abang keduanya adalah manusia super sibuk di dunia. Dia adalah pelukis terkenal, bahkan setiap bulan dia akan pergi ke luar negeri untuk menyelenggarakan atau sekedar melihat pameran seni. Namanya Abra Auriga Arsharendra, manusia teraneh bagi Nara. Ya, aneh karena bagi Nara seorang seniman akan bersifat lembut karena melukis membutuhkan kesabaran, tapi bisa-bisa Abra yang tak punya kesabaran menjadi seniman.
Jika Abra orang tak memiliki kesabaran bisa sabar saat dihadapkan pada lukisan, beda lagi dengan Abang ketiganya. Rahandika Efan Arsharendra, si jago karate, mahasiswa abadi, si paling pengertian dan penyabar diantara para abangnya yang lain. Tapi jika sudah berhadapan dengan orang-orang yang menyakiti keluarganya, jurus seribu bayangan miliknya akan keluar. Atlit karate ni bos abang gue! Mas Efan tercinta.
Kalau si Efan mahasiswa abadi, ada satu abangnya yang hanya beda 2 bulan sama Nara. Kok bisa? Ya biasalah, kan panjang ceritanya. Chandrika Eknath Arsharendra, manusia full senyum yang kini sama-sama maba seperti dirinya. Satu kampus tapi beda jurusan, jika Nara memilih jurusan psikologi, Maka Chaka mengambil jurusan Satra Indonesia. Dengan dalih suka sastra padahal mah dia asal nembak jurusan, eh malah keterima. Sungguh takdir yang tak terduga.
Jika kalian pikir Nara adalah anak bungsu, tentunya kalian salah besar kawan. Nara masih memiliki dua adik. Adiknya yang pertama bernama Actya Raka Gyan. Raka masih duduk di kelas 11 SMA di salah satu SMA favorit di kota. Dia satu sekolah dengan si bungsu Sagara Iravan, Saga duduk di bangku kelas 10. Padahal seharusnya ia masih kelas 9, tapi karena dia masuk kelas akselerasi membuat Saga berada di bawah Raka tepat.
Kalau ada anak-anak pasti ada orangtua, nih gue kenalin nyokap bokap gue yang paling baik sedunia. Heran gue, bisa sabar banget ngadepin anak-anak absrut macem gue. Bokap gue namanya Agha Arsharendra, pemilik perusahaan tempat Abang pertama gue kerja. Makanya kadang gue ngelunjak kalau Bang Madha gue recokin. Ya, karena tu perusahaan milik bokap gue. Tobat nggak sih bapak gue punya anak spek akhir zaman? maafin anakmu ini ya pak. Tapi gue manggilnya bukan bapak ya guys, Papa adalah cara manggil gue untuk Bapak Agha terhormat, Sampai gue keceplosan manggil dia Bapak, bisa dipotong uang jajan gue.
Kalau nyokap sih gue manggilnya Mama, Mama Chaya, bukan cahaya ya. Entar nasib Lo kek gue kalau manggil Mama Chaya jadi Cahaya, bakal bawa bekel selama seminggu. Enak sih tapi uang jajan gua diambil. Yah, nyesel nggak nyesel. Tapi sumpah, Papa sama Mama tu baiknya minta ampun. Entah terbuat dari apa kebaikan mereka dulu, tapi yang jelas kebaikannya nggak bakal nurun ke gue.
🍀🍀🍀🍀
"Bang, ini gimana? Masih baru jadi Mahasiswa malah disuruh bikin proposal. Apa itu? Gue nggak bisa!!" gerutu seseorang pada lawan bicaranya lewat panggilan telepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Terakhir (On Going)
Fanfiction"Bang, vonis dokter udah keluar." "Dokter bukan Tuhan. Jangan terlalu percaya, berobat ya?" . . . "Jangan nyerah dulu Mas, kan kita belum ketemu dia. Katanya mau balas dendam dulu baru mati!" . . . "Happy anniversary sayang, terima kasih udah nemeni...