H-25

590 60 16
                                    

*) typo berserakan, mohon di note aja nanti aku benerin 🥰








"Tubuh tolong kerjasamanya ya."

~Naradipta Jayendra Aksa~

🌚🌚🌚🌚




Nara berjalan lesu menuruni anak tangga, padahal lantai dua tak setinggi itu, tapi entah mengapa rasanya lelah. Seharian ini Nara terus mencoba berfikir positif tapi apa daya dirinya yang memang sedari kecil selalu gampang gugup dan takut.

Langkah kaki membawanya pada ruang tengah yang nampak ramai. Efan, Chanka, Saga, dan Raka ada disana menikmati film berbahasa Inggris dengan serius. Sedangkan Abra ada di dapur, berkutik membuat cemilan kesukaan adik-adiknya.

Nara melewati mereka begitu saja, berjalan ke samping tangga tepat kamar sang kakak berada. Lebih tepatnya kamar kedua Madha yang biasa digunakan saat Madha memiliki banyak pekerjaan.

Tok... Tok... Tok...

Meski ia tak berucap apapun, Madha membuka pintu dengan pelan. Menggenggam lengan sang adik dan membawanya masuk.

"Duduk dulu," titah Madha.

Sedangkan dirinya berjalan menuju kulkas kecil yang ada di pojok ruangan, membukanya dan mengambil satu kotak susu berwarna putih kemudian memberikannya pada Nara.

Dengan pelan Nara menusuk tempat sedotan dan meminumnya dalam diam.

"Makasih Bang," ucapnya setelah setelah menghabiskan setengah dari kotak susu tersebut.

"Udah tenang?" tanya Madha, dan Nara hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Apa yang mau dibicarakan?" Madha menempatkan diri disamping Nara yang duduk di tepi kasur.

Pandangan sang adik yang kosong membuat Madha sempat berfikir negatif, namun hal itu ia enyahkan. Lagi pula ia bukan tipe orang yang menebak-nebak hal buruk.

"Disuruh dokternya check-up menyeluruh, katanya ada yang nggak beres di tubuh gue. Tapi gue takut bang."

Air mata Nara meluruh begitu saja. Pundaknya menurun, terisak lumayan keras sampai Madha tak tega. Madha memeluk tubuh adiknya yang meski tinggi tapi memiliki tubuh yang kecil. Ia mengusap punggung Nara pelan dan membiarkan adiknya menangis sampai puas. Setidaknya dengan begitu Nara bisa lebih tenang.

"Kita periksa ya? Abang bakal temenin kamu sampai kamu sembuh," bisik  Madha pelan di telinga sang adik.

Nara menyudahi tangisnya yang berdurasi cukup lama itu, menaikkan pandang ke arah kakak pertamanya dengan netra sayunya.

"Terima kasih bang, tapi jangan bilang mama sama papa ya." Madha memilih mengiyakan permintaan sang adik. Fokusnya kini hanya agar Nara mau diperiksa lebih lanjut.

"Keluar yuk, ikut yang lain kumpul."

Nara ijin sebentar untuk membersihkan bekas tangis di wajahnya. Sampai beberapa menit sekiranya bekas tangis itu sudah sudah hilang, mereka keluar. Seperti tidak terjadi apa-apa dan Nara mulai bersandiwara.

Mereka duduk di alas lantai berbulu, hanya Nara, Madha dan Saga. Sedangkan yang lainnya duduk di sofa.

"Gimana kalian hari ini? Enggak ada yang bikin masalah lagi kan?"

Madha bertanya seakan sudah tahu dengan tabiat adik-adiknya. Sehari saja tak membuat kegaduhan adalah hal yang istimewa.

"Aman dong bang, kan pembuat masalahnya lagi tak berdaya," sahut Raka dengan tawa renyahnya.

"Tutup mulut lo Rak! Sebelum ni kue melayang ke muka lo!" Efan yang menjadi sasaran menanggapi dengan kesal dan tawa.

Ia yang tak bisa membalas secara fisik mulai melempari bantal yang ada di belakang tubuhnya. Yang bodohnya, bantal itu adalah penyangga dan apabila disingkirkan akan membuat Efan jatuh ke belakang.

Puk!

"Aw! Sakit bang." Bantal mendarat di hadapan Raka begitu juga dengan dirinya yang merosot sampai kakinya ikut ngilu.

"Kan, baru aja gue seneng hari ini nggak ada masalah lagi." Madha berdiri, membantu Efan yang di tahan oleh Nara.

Untung saja Nara orangnya cepat tanggap, jika tidak, pasti Efan akan lebih kesakitan lagi.

"Jangan marah dulu, ini masih sakit bang." Efan kesal saat Madha membantunya, meski yang salah disini adalah dia sendiri.

Madah itu orang tersabar yang pernah Nara temui, jika saja Efan adalah adiknya mungkin sebelum anak itu tumbuh lebih nakal sudah Nara buang di pinggir jalan. Kesal sekali ia, tiada hari tanpa emosi bagi Efan, bahkan yang mendengar kenakalan Efan saja sudah muak rasanya.

Namun setidak sukanya ia pada Efan, Nara tetaplah adik yang baik. Buktinya saat ini ia dan Madha membatu Efan untuk kembali ke kamar. Waktunya minum obat dan istirahat. Setelah menelan beberapa butir obat, Efan yang semula duduk kini mengubah posisi menjadi tidur.

"Yang luka cuma kaki, tapi kenapa kepala ikut sakit juga ya?" celetuk Efan sambil mengusap samping kepala.

Madha mencekal tangan sang adik yang memijat kepalanya perlahan.

"Sini gue aja." Efan tak menolak, dipijat lembut seperti itu membuat ia nyaman dan mulai terlelap.

"Mas Efan belum tau ya bang?" tanya Nara yang sedari tadi belum berpindah dari kamar ini.

Madha menggeleng, "Papa yang minta kita buat jangan kasih tau Efan dulu, biar dia fokus ke penyembuhan lagian nggak parah kok."

Nara mendengar hal itu lega. Setidaknya jika hanya ia yang sakit mama dan papa tidak terlalu kerepotan karena Nara bukan tipe yang gampang rewel seperti Efan.

_-_-_-_-

Nara, sosok yang dulunya terkenal kuat menghadapi segalanya macam kenyataan yang menyakitkan nyatanya dia hanya sosok laki-laki yang cengeng dalam kesendirian. Ia hanya mampu memeluk dirinya sendiri dan menangis, dan ya, Lagi-lagi ia menangis.

Album foto kenangan yang ia bawa belasan tahun lalu masih sama rapinya, tapi entah mengapa rasa sakit itu selalu ada kala ia menatap sosok wanita cantik yang menggendong dirinya itu.

"Andi dulu kalian nggak selingkuh, gue nggak akan semenderita ini!" Pekik Nara disertai isak tangis.

Jemarinya saling bertautan, meredam emosi yang kian membara. "Tuhan, kenapa aku bukan anak kandung mama aja, kenapa aku harus jadi anak haram."

Nara masih menangis dan kian kencang setelah dialognya untuk Tuhan selesai. Sudah banyak yang ia maki, ia menyesal, menyesal hidup dan tumbuh dari kesalahan.

Sejenak Nara mencoba menenangkan diri setelah merasa tubuhnya kian memburuk, jarinya mengusap pelan cairan yang mengalir dari kedua lubang hidungnya dan setelah mengetahui apa yang terjadi membuatnya menghela nafas berat.

"Kenapa harus sekarang, ini gue lagi kesel-keselnya sama hidup gue dan kenapa lo muncul!"

Ia mencari tisu yang biasanya ada di nakas, namun karena tak kunjung menemukannya ia menggunakan selimut yang sangat dekat dengan dirinya.

"Tolong ya tubuh, jangan ambruk dulu. Besok gue periksain ya. Tapi sekarang baikan ya."

Dengan tenaga yang sangat minim Nara perlahan naik ke ranjang, meski kesulitan namun akhirnya dia bisa. Beberapa kali gerakan tangannya yang reflek menghapus cairan merah yang sialnya belum berhenti sedari tadi.

"Pliss, gue mohon malam ini aja biarin gue tidur nyenyak. Berhenti ya, jangan keluar mulu kasian tubuh gue."

🌚🌚🌚🌚

Hai semua 👋
Maaf ya baru bisa up💖
Kalo aku up ini berarti cerita "AuRevoir" Sudah tamat🥲
.
Hehehe, makasih ya buat kalian semua yang setia dengan cerita aku.
Do'ain semoga terus ada ide sampai cerita ini tamat.
.
.
Sampai jumpa lagi.
Untuk Next chapter vote 50+ ya😍
Salam Sayang, kinm 💖

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rumah Terakhir (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang