H-26

640 65 18
                                    

Tiba di hari yang mana Nara dan Efan melakukan pemeriksaan dan entah mengapa semua jadi lebih sibuk. Memang hari ini adalah hari selasa tapi tidak biasanya seperti ini, apalagi Abra yang mendadak pergi ke Jepang untuk bertemu seseorang dan membuat pekerjaan Madha semakin berat.

Nara hanya meminta sang kakak pertamanya untuk mengantarkan sampai depan saja. Dia masih sehat dan bisa mengurus Efan yang kini juga sudah lebih baik. Untuk check-upnya dirinya tak masalah karena bisa dilakukan nanti atau lain hari. Tapi takdir berkata lain. Selagi menunggu hasil pemeriksaan Efan, Nara diberi kesempatan untuk memeriksakan diri dan itu adalah hasil kerjaan Madha yang menitipkan mereka pada salah satu temannya yang juga staff rumah sakit.

Efan sementara menunggu di ruang rawat, sebenarnya malas juga harus mendekam disini lagi, tapi mau gimana lagi dari pada menunggu Nara yang lumayan lama periksanya. Bahkan Efan masih sempat tertidur dan Nara juga belum kembali.

Disisi lain, Naradipta dihadapkan pada beberapa pertanyaan dan pilihan. Hanya bermodalkan sedikit keberanian, dia mendengar penjelasan sang dokter.

"Gimana mas? Mau kan di periksa lebih lengkap? Mas-nya masih muda dan perjalanannya juga masih panjang, selagi masih terdeteksi lebih awal penyembuhannya juga lebih mudah." Tutur dokter laki-laki yang ada di depannya.

Sedang Nara masih terdiam mencerna ucapan sang dokter. Mengapa tiba-tiba kata dokter ada yang tidak normal dalam dirinya, padahal dia sudah menjaga kesehatan dengan baik. Dan apa lagi ini? Kenapa dari penjelasan sang dokter merujuk pada sesuatu yang menyeramkan.

"Mmm, baik dok. Tapi jangan sekarang. Kasian kakak saya yang lagi sakit nanti nunggu lama, nanti aja kalo pas kakak saya yang satunya udah pulang saya check lengkap." balasnya dengan gugup.

Tak tau apa yang dia lakukan benar atau salah, tapi sungguh dia takut dan ingin pulang saja untuk saat ini.

Nara berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan pandangan kosong. Tak ada kata penenang yang mampu menghilangkan kegelisahannya saat ini.

"Gimana kalo gue beneran sakit parah dan bakal meninggal?" tanyanya lirih pada diri-sendiri.

Netranya tertuju pada lantai putih rumah sakit, namun pikirannya tak lepas dari dugaan dokter tadi. Yang dia pikirkan adalah adik-adiknya yang masih kecil. Apa reaksi mereka jika tahu umurnya tak lagi panjang. Lalu bagaiman dengan kakaknya yang begitu sering ia repotkan, dan Kala, kekasihnya itu pasti akan shock jika tahu kondisinya saat ini.

"Enggak Nara, dokter itu masih ngeduga dan belum tentu bener." Ucapnya menenangkan diri yang sudah kacau itu.

"Tapi gimana kalo bener, Tuhan. Aku harus apa." Lirih dan hampir tak terdengar jika dia mengeluh, tapi di lorong yang ramai ini ia kesepian dan penuh rasa takut.

Air matanya terus mengalir bahkan isaknya juga mulai terdengar keras. Nara memutuskan untuk ke toilet sebentar. Setidaknya ia harus mencuci muka dan menghilangkan bekas tangis di wajahnya.

_-_-_-_-

Nara masuk perlahan di kamar rawat Efan, mereka tak akan menginap disana. Hanya perlu menunggu sampai Madha datang dan mereka akan pulang.

Nara duduk di kursi samping ranjang tempat Efan sedang tidur. Wajah kakaknya itu semakin hari semakin gagah. Dari 6 saudaranya yang lain Efan lah yang paling berani, bahkan terhadap sang ayah sekalipun.

"Mas lo inget nggak sih saat pertama kali gue datang ke rumah?" Tanya Nara pada Efan yang masih terlelap.

Nara hanya menatap dan menjawab pertanyaannya sendiri.

"Lo paling anti sama gue tapi paling seneng kalo deket sama Saga. Waktu itu gue masih kecil banget dan lo nggak suka kalo gue lagi di suap mama. Dan bodohnya dulu gue anggap kalian adalah keluarga kandung gue. Sampek sempet mikir kasih sayang mama harus banyak ke gue." Nara menjeda ucapanya itu dan terkekeh pelan mengingat masa lalu.

"Ternyata sebaik itu nyokap lo ke gue. Sampai ngira mama itu nyokap kandung gue. Tapi sekarang bahkan lo lupain kenangan kita dulu. Ya masa gue harus jelasin luka lama gue mas."

Nara hanya bisa tersenyum dalam sesaknya dada, air matanya turun mengingat berapa berharganya keluarnya saat ini. Andai mereka tak menerimanya dengan baik mungkin Nara yang saat ini sudah tak bernyawa lagi.

"Andai kita memiliki hubungan yang baik kaya gini sejak dulu. Mungkin gue akan jadi adik paling bahagian di dunia ini. Gue sayang banget sama lo mas. Sama kalian juga." Ucap Nara yang mulai menjauh dari sisi Efan.

Dia harus ke toilet untuk membersihkan kekacauan yang di buat tubuhnya. Dan untuk kesekian kalinya Nara marah pada dirinya sendiri. Mengapa begitu lemah untuk hidup di dunia yang kejam ini dan menjadi sosok Nara yang sangat merepotkan.

"Tuhan, kalo memang mau di jemput, jemput aja sekarang. Jangan sampai buat keluarga hamba yang begitu baik itu kerepotan." Tuturnya dalam tangis yang sudah tak tertahan.

Darah yang masih mengotori wajahnya bercampur dengan air mata yang melangir begitu deras. Sudah tak terbayang bagaimana hancurnya Nara saat ini. Batinnya sudah hancur dan raganya kini mulai hancur juga. Kenyataan yang sudah ia simpan rapat-rapat kini mulai menjadi bayang kehidupan. Dan si paling kuat itu sekarang mulai rapuh.

_-_-_-_-

Menjelang magrib mereka baru saja tiba di rumah. Seperti biasa, rumah akan sepi dan berantakan karena tak ada yang membersihkan mama dan selain bang Madha.

Nara akui jika dirinya banyak dosa, sudah tak terhitung seberapa lama ia tak melakukan kewajiban sebagai seorang muslim. Ada rasa malu dari dirinya yang akan melakukan kewajiban jika ada masalah saja. Tapi untuk yang kali ini Nara beneran ingin tobat, jujur saja dia takut mati dalam waktu dekat.

Meski dengan bacaan yang masih tertatih Nara tetap mencoba membaca kita suci. Dalam beberapa ayat saja ,Nara sudah menitihkan air mata. Sungguh rasa takut akan kematian memang sebegitu besar. Doa-doa yang dia panjatkan juga meminta agar segala penyakitnya sembuh dan semoga dia tak mengidap menyakit apapun.

Lama mendekap di kamar, akhirnya Nara turun untuk ikut makan malam. Meski tak nafsu dia harus berusaha baik, hanya saja ia takut jika mendapat pertanyaan dari Madha tentang pemeriksaannya tadi. Dan benar saja, Madha masih peka terhadap raut wajah lesunya.

"Gimana hasilnya tadi dek? Alerginya makin parah?" Tanya madha setelah mereka menyelesaikan makan malam.

Padahal Nara hampir meninggalkan tempat saat Madha menanyakan hal itu. Ia tampak berbalik dan duduk di dekat sang kakak yang sedang membersihkan meja.

"Aku mau ngomong sama abang, tapi nanti aja kalo abang udah selesai bersih-bersih."

"Dimana?" tanya Madha yang sudah mengetahui tabiat adiknya itu.

"Di kamar abang aja, nanti aku kesana. Sekarang aku mau ke kamar dulu."

Setelah berucap hal demikian Nara meninggalkan abangnya yang masih melanjutkan pekerjaan setelah beberapa saat terdiam.

Kalau sudah begini Nara juga bingung mau jujur atau bohong, tapi kalau bohong ia takut akan mati dengan cepat. Tapi kalau jujur pun ia pasti akan sangat merepotkan.

_-_-_-_-_-

Selain rasa kebimbangan yang ada pada diri Nara, keluarga Arsharendra tengah bahagia setelah mendapat kabar bahwa orang tua mereka akan pulang. Sekaligus menghadiri perlombaan Saga tingkat nasional, jika kali ini dia menang, kemungkinan Saga akan mengikuti pertukaran pelajar dan bisa langsung lanjut ke Perguruan tinggi di luar negeri.

Dari sini saja sebenarnya ada rasa iri pada diri Nara yang belum mampu membuat orang tuanya bangga padanya. Tapi mama selalu berkata jika mereka semua berharga dan sudah bangga karena mau lahir sebagai anak mama. Padahal disini Nara lah yang beruntung.

🍀🍀🍀🍀

Seberapa besar tingkat kebahagiaan kalian hari ini?
10-100 berapa kira"?
Kalo aku ada di 50, just so so but i love this day🥰

Maaf ya lama update nya,
Tapi aku usahain
Dan untuk AuRevoir sabar dulu ya😇
.
.
.
Bye" Salam sayang, kini🥰

TA 22/04/2024

Rumah Terakhir (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang