"Apakah kau akan mogok makan lagi hari ini?" Nayeon terlihat mengomeli Sinbi. Ya, semenjak Sinbi mengambil cuti, mereka menjadi akrab karena Nayeon sering mengunjunginya.
"Apa maksudmu? Tentu saja tidak, apakah kau membawakan sesuatu untukku?" tanya Sinbi balik. Sementara Nayeon yang mendengar itu justru terlihat terkejut karena reaksi Sinbi berbeda tidak seperti biasanya.
Tentu saja Nayeon senang Sinbi tidak akan melewatkan jam makannya lagi, namun entahlah sepertinya kepala wanita itu baru saja terbentur sesuatu.
"Hwang Sinbi, kau tidak mengonsumsi obat amnesia, kan?!" tanya Nayeon panik. Wanita itu mencengkram kedua bahu Sinbi memaksanya memandang ke arahnya.
Sinbi yang mendapatkan serangan tak terduga itu lantas terpontang-panting karena tenaga Nayeon yang terasa amat besar sore ini.
"Kau gila ya?! Memangnya ada obat semacam itu? Jangan konyol!" Sinbi menjawab sambil menjauhkan tangan Nayeon dari bahunya dengan bersusah payah. Sinbi heran, sepertinya yang baru saja mengonsumsi sesuatu malah wanita itu. Entah bayam kalengan milik Popeye atau mungkin obat penambah kuat, yang jelas Sinbi tidak habis pikir dengannya.
"Dan tolong jangan mencengkram bahuku seenaknya, ini sudah sore. Rumah sakit ataupun klinik ortopedi tidak ada yang beroperasi kecuali besok pagi..."
"Sinbi, kau pikir aku sedang bercanda?!" Suara Nayeon terdengar memekik dan reflek Sinbi memejamkan matanya mendapatkan rangsangan suara yang langsung menendang gendang telinganya.
"Seharusnya aku tidak membiarkanmu datang hari ini ke apartemenku."
Nayeon mengernyitkan dahinya. "Dan kau tidak akan makan, tidak terima kasih. Jika perlu merusak pintumu, maka aku akan melakukannya!"
"Bukankah kau begitu berlebihan? Keluargaku saja tidak peduli dengan keadaanku, mengapa kau harus bersikap seperti ini?"
Nayeon membeku ditempatnya. Ia sangat mengerti dengan keadaan wanita itu, meski keadaannya jauh lebih baik dibandingkan seminggu yang lalu, Nayeon tahu masih ada pedih dimatanya.
"Sinbi? Kau temanku, tentu saja aku peduli padamu."
"Aku hanya perlu menjalaninya dan bertahan, Nayeon."
Nayeon lagi-lagi hanya terdiam ditempatnya, namun tidak berapa lama kemudian wanita itu bangkit dari duduknya sambil memandang Sinbi yang tampak melamun.
"Sudah berapa kali ku bilang? Berhenti mengatakan kalimat itu!" katanya memperingatkan Sinbi.
Sementara Sinbi yang tidak menduga Nayeon memarahinya pun memandangnya bingung. "Apakah aku mengatakan hal yang salah?"
"Hwang Sinbi! Ada banyak kalimat lain yang lebih enak didengar, sementara kalimat yang terus kau ucapkan berulang kali selama seminggu terakhir itu adalah kalimat penuh keputusasaan!"
"Bukankah kau juga tahu jika aku memang seputus asa itu, Nayeon?"
Nayeon mengusap wajahnya dan kembali duduk disamping Sinbi. Wanita itu langsung memeluk Sinbi. "Sinbi, masih ada hidup yang lebih baik didepan sana. Hidupmu belum tamat."
"Aku tidak menginginkan hal lain lagi, aku hanya ingin menjalani..."
"Sshh! Apakah wanita yang lulus dengan predikat cumlaude dan mandiri harus menyerah begitu saja hanya karena masalah yang sebesar kerikil..."
"Masalahku tidak bisa disamakan dengan sebuah batu kerikil, Nayeon. Bahkan dibandingkan gunung, tidak ada apa-apanya. Kau tidak tahu betapa melelahkannya diriku selama ini. Dan hanya kalimat itu yang menyelamatkan aku."
"Sinbi?"
"Aku hampir saja mati jika saja kalimat itu tidak melekat di dalam kepalaku."
"Apa maksudmu?"
Sinbi memandang Nayeon yang terlihat bingung. Wanita itu menghela nafas. "Seminggu yang lalu aku hampir terjun dari jembatan sungai Han..."
"Hwang Sinbi, apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?! Kau..." Nayeon menghentikan kalimatnya, ia tidak sanggup melanjutkannya karena begitu syok dengan pengakuan wanita itu. "Dan kalimat itu mengilhamimu hingga akhirnya kau tidak memutuskan terjun?" tanyanya memastikan.
Sinbi menggeleng. "Aku diselamatkan oleh seorang pria misterius. Dia yang mengatakan hal itu padaku dan aku merasa hidup lagi setelahnya meski sekarang aku tidak yakin, tapi setidaknya kalimat itu menjadi pegangan ku saat ini untuk tetap hidup."
Nayeon tanpa sadar meneteskan air matanya. Hatinya hancur mendengar penjelasan Sinbi, ia sangat tahu jika saat ini Sinbi teramat berantakan. Dan Nayeon merasa bersalah. Tangannya menggenggam tangan Sinbi dan mengusap punggung tangannya pelan bermaksud memberinya kekuatan.
"Sinbi, aku minta maaf."
Sinbi menoleh ke arah Nayeon. Dahinya mengernyit setelah mendengar perkataan wanita itu. "Mengapa kau harus meminta maaf? Kau tidak perlu merasa bersalah dengan keadaanku saat ini, karena semua ini tidak ada sangkut pautnya denganmu meski kejadiannya terjadi saat aku menjadi tamu pestamu."
Nayeon menghela nafas dan kembali memeluk Sinbi dengan erat. "Aku akan selalu disini menemanimu, Sinbi. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian meski dunia memunggungimu," katanya.
Dan kali ini Sinbi membalas pelukan Nayeon. Kalimat Nayeon begitu dalam, tapi rasa Sinbi sudah mati. Ia bahkan sudah tidak bisa menangis seakan-akan air matanya sudah habis.
Dan tanpa sepengetahuan Sinbi, Nayeon hanya memandang udara kosong didepannya sambil menghela nafas berat.
****
"Sudah waktunya," ujar Jungkook pada seseorang dari telepon yang tersambung di antara mereka. Pria itu tersenyum sambil mengusap kecil bibirnya.
Telepon itu terputus setelahnya, tampaknya dia baru saja mendapatkan informasi penting dari orang itu.
Jungkook meletakkan ponselnya asal ke atas meja, pria itu membenarkan jasnya dan bangkit dari kursi kerjanya. Kakinya melangkah menuju ke arah kaca besar transparan di ruangannya itu yang langsung mengarah ke arah luar kantornya.
"Hwang Eunbi, aku senang kau tidak berkutik meski kau tahu adikmu akan hancur ditangan ku," katanya sambil tersenyum miring. Perasaannya teramat begitu senang hari ini apalagi setelah semua rencananya berjalan sesuai keinginannya. Sebentar lagi masa balas dendamnya kepada Hwang Eunbi akan dimulai.
Ia akan menghancurkan mantan kekasihnya yang berani mengkhianatinya itu melalui adik kandungnya, Hwang Sinbi. Jungkook tidak peduli dengan keadaan wanita itu yang terlihat tertekan karena ulahnya karena pada dasarnya tujuannya adalah ini. Melihat bagaimana wanita bernama Sinbi itu hancur, tentu saja akan membuat seorang Eunbi juga hancur seketika.
Wanita itu sangat menyayangi adiknya, dan kini dia tidak berkutik karena keputusan orang tuanya yang tidak bisa diganggu gugat. Besok ia akan menemui keluarga Hwang. Rencana pernikahan antara dirinya dengan Sinbi akan dibicarakan. Ya, setelah beberapa lama bersembunyi, Jungkook menunjukkan diri. Dan siapa sangka Hwang Minhyun menyerahkan putrinya begitu saja seakan dia menyetujui jika balas dendam itu patut didapatkan oleh putri sulungnya.
Betapa buruknya pria itu sebagai seorang ayah, padahal insiden itu tidak benar adanya namun dia lebih memilih mengorbankan putri bungsunya. Jungkook tidak peduli mengapa pria itu memilih jalan itu, tapi setidaknya rencananya akan berjalan mulus hingga akhir.
Tok..Tok..
Tiba-tiba pintu di ruangannya itu diketuk dari luar. Hal itu langsung mengundang perhatian Jungkook.
"Ada apa Lisa? Masuklah!"
Sekretarisnya itu kemudian masuk setelah mendapatkan persetujuannya. Wanita berambut hitam panjang dengan rok span hitam ketat di atas lutut dan blouse putih menempel ditubuhnya menambah kecantikannya.
"Tuan, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda."
"Siapa?"
"Aku!" ucap seorang wanita yang tiba-tiba muncul dibalik punggung Lisa.
Senyum dibibir Jungkook langsung terukir. "Selamat datang, Nayeon. Aku sudah menunggumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Kontrak Dengan Mantan Kekasih Kakak
De TodoSinbi tidak pernah mengira karena sebuah insiden di klub malam itu, ia harus dinikahi paksa oleh seorang pria yang notabenenya mantan pacar kakaknya, Jeon Jungkook. Namun setelah pernikahan terjadi, Sinbi menemukan fakta bahwa ternyata otak dibalik...