Baik-baik Saja

202 19 0
                                    

Nyawanya seperti ditarik kembali ke dunia saat sebuah telapak tangan menyentuh bahunya. Syukurlah, karena ketika ia menoleh, ia mendapati Jaemin yang duduk di kursi berseberangan dengan dirinya. Ada dua mangkuk Jajangmyeon yang masih mengepul di atas meja. Oh, Jeno ingat sekarang. Tadi bel istirahat berdering nyaring, dan ia bersama Jaemin menuju kantin untuk menikmati Jajangmyeon buatan sekolah. Banyak yang bilang menu satu ini adalah menu paling enak di kantin sekolah.

"Kenapa tidak segera memakannya? Kalau dingin jadi tidak terlalu enak"

Astaga, Jeno harus jawab apa? Bahkan ia tidak tahu darimana Jaemin datang tadi.

"Ah, itu. Tadi aku sengaja menunggumu saja, aku ingin tahu rasanya terlebih dahulu darimu" sahut Jeno.

"Mwoya? Bahkan rasanya sama saja jika di lidahmu atau lidahku. Ayo makan!"

Jeno mengangguk, menuruti ajakan Jaemin. Ia membuka kertas yang digunakan untuk membungkus sumpit, kemudian melahap Jajangmyeon miliknya.







Jaehyun tidak akan mengatakan bahwa sekarang keadaan rumah sakit sepi, karena berdasarkan pengalamannya, rumah sakit menjadi begitu ramai ketika secara tak sadar Jaehyun mengatakan bahwa rumah sakit sepi. Jangan lagi, ia tak ingin membuat para suster menjadi kelelahan dan berakhir ambil cuti 3 hari lamanya.

Tapi di kesempatan yang lengang seperti ini, biasanya digunakan Jaehyun untuk refleksi, memikirkan dengan tenang apa kekurangannya dan berusaha mencari jalan keluarnya dengan tenang. Sebagai dokter yang menangani pasien, ia harus tetap menjaga kondisi psikologisnya agar tetap sehat.

Dahulu ketika masih duduk di bangku sekolah menengah, Jaehyun tak pernah terpikirkan sekalipun untuk menjadi seorang dokter yang dianggap pahlawan oleh banyak orang.

Matematika? Ia lumayan di bidang itu.
Sains? Ia adalah juaranya.
Olahraga? Ia bagus disana, tetapi tidak menaruh minat.
Sejarah? Meski membosankan, tetapi ia menyukainya.

Dahulu ia adalah seorang remaja yang bermimpi bahwa dirinya akan hidup sebagai pebisnis, seperti sang ayah. Tetapi niatnya itu berubah ketika hati kecilnya merasakan bahwa ada orang lain didekatnya, orang yang sangat membutuhkan pertolongan, orang-orang yang akan menangis ketika melihat besarnya nominal pembayaran atas sebuah pengobatan.

Ia ingat bahwa ia pernah bilang kepada ayahnya. "Ayah, bagaimana jika suatu hari nanti aku bukan seorang pebisnis seperti ayah?"

Pak Jung yang saat itu sedang menunggu kopi miliknya disajikan, menjawab pertanyaan putranya dengan santai.

"Tidak apa-apa. Ayah menyuruhmu untuk belajar, untuk pergi ke sekolah, dan untuk mencari teman yang banyak bukan untuk sekedar jadi pebisnis saja. Ayah pikir kau bisa lebih dari itu"

"Apa aku bisa lebih dari ayah?" Tanya Jaehyun. Ia tak yakin dengan dirinya sendiri.

"Tentu saja. Kau bisa lebih baik dari ayah dan ibumu. Jaehyun, rasakan saja apa yang kau inginkan, lalu ungkapkan, dan kejarlah sebisamu" ujar Pak Jung lagi untuk meyakinkan sang anak.

Nyonya Jung sedang tidak ada di rumah, jadi Jaehyun hanya berdua saja dengan ayahnya sore itu.

"Jaehyun, dengarkan ayah"

Sang pemilik nama saat itu masih berusia 14 tahun. "Ya?"

"Tak masalah kau tidak jadi pebisnis. Tetapi jadilah orang yang dikagumi khalayak, orang yang memiliki wibawa dimanapun. Junjunglah harga dirimu sebagaimana kau menjunjung cita-cita mu"

Ingatan itu kini masih membekas apik baik di hati maupun di kepala seorang Jung Jaehyun. Meski kini ayah dan ibunya sudah tidak ada disisinya lagi, tetapi Jaehyun sebisa mungkin akan mempertahankan keinginannya yang satu ini. Berkat dukungan kedua orangtuanya saat itu, kini ia bisa duduk di bangku dengan gelar Dr. didepan namanya.

Bukan hal yang mudah, tetapi Jaehyun akan tetap mensyukurinya.

"Permisi Dr. Jung Jaehyun, Lee Jeno datang dan ingin bertemu dengan anda"

"Oh, biarkan dia masuk!"

Tak lama setelahnya, seorang remaja dengan kemeja putih dan celana panjang hitam khas anak sekolah masuk ke dalam ruangan. Di pundak remaja itu masih ada tas punggung hitam yang digendong, dan tampak sedikit berat. Sepertinya Jeno baru saja pulang sekolah.

"Halo, Jeno. Kau langsung ke sini sepulang sekolah?"

Lee Jeno. Seorang remaja yang membuat Jaehyun terinspirasi hingga bisa berada di titik setinggi ini. Meski pertemuan pertama mereka bukanlah sebuah pertemuan yang baik, tetapi bagaimanapun Jaehyun akan memakluminya, dan menganggap bahwa Lee Jeno adalah adiknya, adik kandungnya.

"Hai, Hyung. Aku ke sini saja setelah sadar kalau aku bosan di rumah" ujar remaja itu yang kini merebahkan diri di sofa dengan seenaknya.

Jaehyun tak masalah, karena Jeno adalah adiknya. "Kau bosan? Baca buku-buku anatomi lengan atas disitu, siapa tahu nilai sains mu akan naik secara tiba-tiba"

"Hyung! Aku ini bosan! Kenapa malah di suruh membaca buku? Aku tambah bosan nanti!"

Oh, Jaehyun baru ingat. Bosan antara Jeno dan dirinya adalah sesuatu yang berbeda. "Baiklah. Kalau begitu pesan saja makanan, atau apapun. Kau tidak pergi bersama teman-temanmu?"

"Tidak. Aku mau tidur saja, masih ada 2 jam sebelum les akademi nya mulai. Hyung, perutku rasanya panas"

"Panas?" Jaehyun yang hendak memejamkan mata kembali terfokus pada Jeno. Ia melihat adiknya itu menganggukkan kepala. "Jaemin, anak itu menyesatkanku. Dia mengajakku makan Jajangmyeon pedas dan masih mengepul. Aisshh!"

"Dan kau mau-mau saja?"

"Aku tidak tahu kalau akan sepedas itu!"

"Yak! Kau terus membentak ku sejak tadi. Apa mau mu hah?"

Jeno baru sadar jika yang dikatakan kakaknya itu benar adanya. "Eh... Maaf Hyung. Emosiku sedikit tidak stabil sejak kemarin. Aduh, perutku panas"

"Beli saja yoghurt di kantin bawah. Mungkin itu bisa meredakan rasa panasnya" ujar Jaehyun yang kemudian memakai jas putih khas para dokter. "Hyung akan mulai bertugas, selama itu terserah kau mau disini atau pulang, tapi tetap kabari aku. Jangan buat kekacauan disini, hm?"

"Padahal aku baru saja bertemu denganmu. Tapi baiklah, mana uang untuk yoghurt nya?"

Jaehyun sedikit merutuk dalam hati. "Ini", tetapi pada akhirnya ia tetap memberikan uang kepada Jeno untuk membeli yoghurt. "Sudah? Hyung pergi dulu"

"Nee..! Semangat Hyung!"

Dalam langkahnya keluar untuk memeriksa para pasien, Jaehyun tersenyum. Ia berterima kasih kepada Tuhan karena telah mengirimkan seorang anak laki-laki yang bisa menemaninya, dan bisa ia jadikan seorang adik sebagai penyemangat hidupnya.

Andai ayahnya menolak untuk membawa Jeno saat itu, mungkin Jaehyun akan sendirian dan kesepian sekarang.















terimakasih sudah membaca!!

The Past Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang