Kotak Pandora Part 1

7.8K 33 5
                                    

2006.

"Jadi pulang kamu, Wir?"

Wira yang tengah sibuk mengemasi barang bawaan yang tidak seberapa menoleh ke arah teman sekamarnya itu dan tersenyum sumringah.

"Ha'ah."

"Seneng banget kayanya bisa temu kangen sama pacar."

Senyum di bibir Wira bertambah sumringah. Memang itu alasan sebenarnya Wira memutuskan kembali di sela-sela libur kuliah dan libur kerjanya. Ya, saat ini Wira kuliah sambil bekerja. Wira tidak seberuntung pemuda lain yang orangtuanya mampu mengirim anak-anak mereka mengenyam pendidikan sampai ke menara gading. Tapi Wira cukup beruntung karena dianugerahi kecerdasan yang membuatnya menjadi salah satu penerima beasiswa sehingga meski di tengah keterbatasannya ia masih berkesempatan untuk menggapai cita-cita.

Tentu saja uang beasiswa diberikan hanya untuk menutup biaya kuliahnya sedangkan untuk biaya hidup sehari-hari dia harus membanting tulang sendiri. Benar, ibunya yang seorang janda kadang mengiriminya uang namun jumlahnya tidaklah seberapa dibanding biaya hidup di kota tempat dia bersekolah. Untuk tidur Wira membantu menjadi tukang bersih-bersih di sebuah rumah kost-kostan agar mendapat kamar gratis. Wira juga mengajar les anak-anak tingkat sekolah dasar hingga menengah, kadang dia ikut kerja part time menjadi waiter di restoran-restoran. Kalau mentok tidak ada kegiatan sama sekali, ia akan ikut mengamen di alun-alun kota. Dalam sehari Wira hanya bisa tidur tiga sampai empat jam saja. Semua perjuangan itu ia lakukan untuk memantaskan dirinya di depan keluarga pacarnya, Kamila.

Kamila, gadis manis pujaan hatinya. Sebenarnya Kamila bukan berasal dari keluarga bangsawan dan kaya raya. Dalam strata sosial, keluarga Kamila masih satu level dengan keluarga Wira. Kamila hanya gadis yang kebetulan juga ditaksir oleh pemuda sekampung yang sangat dia benci, Raga, anak semata wayang dari tuan tanah paling kaya di kampungnya. Sebagai orangtua, tentu saja bapak dan ibu Kamila lebih merestui anaknya bersanding dengan Raga, terutama bapaknya yang seorang pemabuk dan penjudi berat sebab Raga sering mengucurinya uang.

Kamila bukanlah satu-satunya alasan kenapa Wira membenci Raga. Persaingan mereka sudah lama terjadi sejak masih di bangku sekolah dasar. Meski berasal dari keluarga miskin, Wira yang berwajah tampan dan ramah lebih digemari oleh kawan-kawannya. Raga juga tak kalah tampan sebenarnya, namun karena sudah terbiasa dimanja dia tumbuh menjadi pribadi yang sombong dan semena-mena. Saat pemilihan ketua kelas yang menyandingkan Wira dan Raga sebagai kandidat, Wira menang telak meskipun Raga telah mengeluarkan uang untuk menyogok teman-temannya.

Semenjak dari kejadian itu mereka hampir selalu bersaing dalam segala hal. Raga selalu saja berada di tengah jalan yang akan dilewati oleh Wira. Sayangnya, tidak peduli seberapa keras dia berusaha Raga tidak pernah dapat mengalahkan Wira. Entah itu dalam urusan fisik, urusan kecerdasan, urusan pertemanan hingga urusan percintaan, Raga selalu tertinggal satu langkah di belakang. Satu-satunya hal yang Raga miliki dan tak bisa Wira saingi hanyalah kekayaan keluarganya.

"Berapa hari kamu di kampung nanti, Wir?"

"Nggak lama, paling seminggu." jawab Wira singkat sambil menutup resleting tas ranselnya lalu menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu.

Wira berjalan meninggalkan temannya itu, keluar menuju kamar mandi. Sesampainya di dalam tandas, Wira tidak segera melucuti pakaiannya. Ia mengeluarkan foto Kamila dari dalam saku celananya dan meletakkan di pinggiran bak. Sembari memelototi wajah cantik Kamila di dalam foto, perlahan Wira menyentuh miliknya yang sudah menyembul di balik celana. Dia akan segera melakukan ritual yang selama ini rutin dia lakukan untuk melepas kerinduan pada kekasih tercintanya itu.

Wira menyelusupkan tangannya ke dalam celananya dan mulai mengelus miliknya dari ujung tip sampai ke pangkal batang lalu bermain-main sebentar dengan kedua bijinya. Dari mengelus, Wira mulai memijit pelan, kemudian mengurutnya hingga burungnya yang terusik mulai bangun dari tidurnya.

Setelah aset miliknya mengeras dan tampak mengembang dua kali lipat dari ukuran sebelumnya, Wira segera menggenggam miliknya itu dan menggerakkan tangannya naik turun seperti gerakan sedang mengocok. Dimulai dari gerakan pelan agar miliknya beradaptasi, begitu dirinya merasa nyaman Wira mempercepat tempo pergerakan naik-turun kocokannya.

"Aahh... Mmhh...." Wira merasakan geli-geli nikmat dari permainannya.

Ujung kepala miliknya mulai manggut-manggut. Ada gejolak hebat dari dalam yang membuatnya ingin segera meledak dan memuntahkan lahar panas. Begitu rasa gelinya sudah tak tertahan, Wira segera menghentikan laju pergerakannya. Ia mendiamkan miliknya itu hingga ujung kepalanya mengkerut. Metode ini adalah cara agar permainannya bisa bertahan lama.

"Mmhh... Sshhh...." Wira memulai kegiatannya dari awal lagi.

Pandangannya yang sayu tak pernah lepas dari wajah cantik Kamila. Otaknya membangun imajinasi, menghadirkan sosok gadis dalam foto itu didepannya. Satu tangan Wira yang bebas mulai menggerayangi tubuhnya sendiri sambil membayangkan ketika jemari lentik Kamila lah yang menyentuhnya dengan lembut.

Ah, kali ini Wira tidak akan menahannya lagi. Rasa geli-geli nikmat semakin tak tertahankan. Gejolak dalam dirinya semakin hebat tak terkendali. Ujung kepala asetnya sudah berkedut kuat. Wira mempercepat tempo pergerakan naik turun tangannya. Ia mengatupkan bibirnya kuat-kuat agar desahannya tak terdengar dari luar. Duar! Miliknya meledak, cairan putih kental menyembur dengan deras.

Wira menyandarkan tubuh lelahnya ke dinding. Nafasnya ngos-ngosan. Darahnya berdesir kencang. Jantungnya dag-dig-dug tak karuan. Aktifitas ini lebih menguras tenaganya dibanding olahraga jogging yang sering ia lakukan.

"Mil...." Wira meraih foto kekasihnya dan memandanginya penuh cinta. "Aku kangen banget. Sebentar lagi kita bakal ketemu."

Wira mengecup  foto itu sebelum membawanya ke dalam pelukan.

TBC.

Kotak PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang