Bab II

587 49 0
                                    

"Braakkkk...!!!" Tak cukup hanya dengan membanting pintu, Mbak Padmi juga menyandarkan punggungnya pada daun pintu yang telah menutup rapat itu, seolah berusaha menahan agar apapun atau siapapun yang ada diluar sana tak bisa masuk dengan mendobrak pintu itu.

Rona ketakutan jelas tergambar di wajah perempuan itu. Pucat pasi dengan mata liar menatap nanar kian kemari. Nafasnya tersengal memburu, sementara butiran keringat sebesar biji jagung membanjir membasahi wajahnya yang tegang kaku. Degup jantungnya berpacu lebih cepat dua kali lipat dari biasanya, membuat perempuan itu nyaris pingsan dibuatnya.

Butuh waktu bagi Mbak Padmi untuk menguasai rasa ketakutannya itu, hingga saat ia benar benar telah berhasil menenangkan diri, perempuan itu hanya bisa mentertawakan kebodohannya sendiri.

"Bodoh! Itu kan hanya bau bangkai! Kenapa juga aku harus takut! Dan soal nenek tua itu, bisa saja ia hanyalah orang kurang waras yang kadang memang suka keluyuran ke desa desa untuk sekedar mendapatkan makanan dari penduduk. Atau..., Astaga!" Selintas pikiran buruk yang tiba tiba berkelebat di benaknya, membuat Mbak Padmi buru buru memeriksa seluruh penjuru ruangan yang ada di rumah itu.

"Ah! Syukurlah! Tak ada barang atau perabotan yang hilang! Berarti benar, nenek tua itu bukanlah orang yang berniat ndak baik. Mungkin orang kurang waras yang suka keluyuran ndak jelas! Asem! Nyaris saja jantungku dibuat copot karenanya," gerutu Mbak Padmi lagi, sambil kembali duduk di kursi ruang tamu.

Pagi pun beranjak menuju siang. Tak ada hal janggal yang terjadi di rumah itu. Kedua adik Mbak Padmi yang telah pulang dari sekolah, membuat rasa sepi yang dirasakan oleh Mbak Padmi menguap entah kemana. Perempuan yang tengah hamil tua itu lalu menyiapkan makan siang untuk kedua adiknya itu. Juga bekal makan siang untuk kedua orang tuanya yang tengah bekerja di ladang. Bekal itu nantinya akan diantar ke ladang oleh Parni, adik bungsunya yang berusia sebelas tahun itu. Sementara Parjo adik keduanya, selesai menyantap makan siang segera bersiap untuk menggembala kambing kambing piaraan mereka ke padang yang berada di sebelah barat desa.

Rasa sepi kembali menemani Mbak Padmi begitu kedua adiknya itu pergi melaksanakan tugasnya masing masing. Untuk mengisi waktu, Mbak Padmi lalu memilah milah jemuran pakaian yang digantung di palang bambu yang ada di halaman. Baju baju yang telah kering ia angkat dan ia bawa masuk kedalam rumah, sementara yang belum begitu kering, ia bolak balik dan ia geser ke tempat yang lebih terkena sinar matahari.

Tak terasa, siangpun merambat menuju sore, lalu malam datang menjelang. Keluarga kecil itupun berkumpul kembali di rumah, menikmati makan malam bersama sama, lalu kembali larut dengan kegiatan mereka masing masing.

Pak Mitro dan Mbok Mitro, duduk di depan TV sambil menikmati kopi dan teh hangat. Parjo dan Parni terlihat serius belajar di meja belajar masing masing. Sementara Mbak Padmi, nampak sibuk mengacak acak tumpukan baju diatas dipan yang berada di sudut ruangan.

"Nyari apa to Ndhuk? Kok diacak acak begitu pakaiannya?" Tegur Mbok Mitro pada sang anak sulung.

"Enggak kok Mak, ini lho, celana dalamku kok ndak ada satu ya, padahal tadi pagi sudah jelas jelas kucuci dan kujemur kok," jawab Mbak Padmi sambil terus sibuk membolak balik tumpukan pakaian yang teronggok diatas dipan.

"Sudah dicari diluar? Jangan jangan terbang kebawa angin," tanya Pak Mitro.

"Sudah Pak. Bahkan sampai ke kebun kebun aku tadi mencarinya. Tapi ndak ketemu," sahut Mbak Padmi.

"Halah, cuma celana dalam sebiji saja lho, kok pada ribut," celetuk Parjo, yang merasa terganggu konsentrasi belajarnya akibat keributan itu.

"Bukan masalah celana dalamnya Jo, tapi kalau sampai jatuh ke tangan orang yang salah, terus digunakan untuk hal hal yang kurang baik, bisa repot urusannya. Apalagi Mbakyumu ini lagi hamil," hardik Mbok Mitro pada Parjo, lalu menoleh ke arah Mbak Padmi. "Coba kamu cari lagi yang bener, siapa tau nyelip dimana gitu."

"Sudah Mak, tapi tetep saja ndak ketemu. Apa jangan jangan...."

"Jangan jangan apa Ndhuk?" Penasaran, Mbok Mitro menyela, karena sang anak tak melanjutkan ucapannya.

"Anu Mak, tadi siang ada nenek nenek bungkuk yang datang minta minum kemari, eh, pas tak tinggal ke dapur untuk bikin teh, itu nenek nenek tiba tiba sudah ndak ada. Apa jangan jangan nenek itu ya yang mengambil celana dalamku?"

Parjo dan Parni serempak tertawa mendengar ucapan sang kakak itu. "Hahaha...! Ada ada saja Mbakyu ini. Buat apa nenek nenek mencuri celana dalam?"

Lain tanggapan anak anak itu, lain pula tanggapan Pak Mitro dan Mbok Mitro. Kedua orang tua itu saling pandang untuk sesaat, dengan raut wajah berubah menjadi sedikit tegang. Pak Mitro bahkan sampai menegakkan duduknya dan mematikan rokok tingwe yang semula dihisapnya kedalam asbak.

"Seperti apa ciri ciri nenek itu Ndhuk?" Tanya Pak Mitro dengan nada yang sangat serius.

Mbak Padmi pun lalu menyebutkan ciri ciri dari nenek bungkuk yang memang masih diingatnya dengan sangat jelas itu.

"Apa nenek itu memiliki payudara yang sangat besar?" Tanya Pak Mitro lagi, membuat Mbak Padmi seketika menghentikan kesibukannya. Pertanyaan sang ayah itu, terdengar sangat janggal di telinganya.

"Ya ndak tau lah Pak, sampeyan ini lho, kok nanyanya yang aneh aneh. Aku mana sempat memperhatikan bagian yang itu," jawab Mbak Padmi.

"Bukan begitu Ndhuk, tapi..., Ah, perasaan bapak kok jadi ndak enak gini ya Bune," Pak Mitro mengalihkan ucapannya kepada sang istri.

"Iya Pakne, perasaanku juga jadi ndak enak ini. Apalagi kemarin Padmi sudah berani melanggar pantangan dengan menyusul kita ke ladang yang ada di Tegal Salahan sana. Apa ndak sebaiknya sampeyan kerumah Mbah Atmo saja Pakne? Coba tanyakan kepada beliau soal nenek itu," sahut Mbok Mitro.

"Hmmm, iya juga ya. Ya sudah kalau begitu, biar aku tak kerumah Mbah Atmo dulu," Pak Mitro lalu beranjak dari duduknya, mengambil senter yang berada diatas bufet, lalu melangkah ke arah pintu depan. Namun belum sempat laki laki itu membuka pintu, dari arah luar terdengar suara orang mengucap salam sambil mengetuk pintu.

"Eh, siapa yang bertamu malam malam begini?" Gumam Pak Mitro setelah menjawab salam. Laki laki itupun segera membuka pintu. Dan alangkah terkejutnya ia saat mengenali siapa yang telah berdiri di depan pintu rumahnya itu.

"Lho, Pak Bayan to? Kok tumben, ada apa malam malam begini datang kemari Pak?" Tanya Pak Mitro setelah mempersilahkan sang tamu masuk.

"Anu Tro, ada berita duka. Mbah Atmo tilar ndonya (tilar ndonya = meninggal dunia)", jawab Pak Bayan sambil melangkah masuk dan duduk di kursi ruang tamu.

"Innalillahiii...!!! Kapan Pak? Dan kenapa? Padahal siang tadi saya masih ketemu sama beliau, dan kelihatannya sehat sehat saja," ujar Pak Mitro.

"Baru saja, sehabis isya' tadi. Memang ndak sakit kok. Pulang dari mushalla katanya langsung tiduran di dipan. Pas dibangunin sama Mbok Atmo mau diajak makan malam ndak taunya sudah ndak ada. Ini aku mampir kesini sengaja mau ngajak kamu kesana. Siapa tau ada yang bisa dibantu bantu disana, soalnya...."

"Kenapa Pak?" Tanya Pak Mitro penasaran, karena Pak Bayan sepertinya enggan untuk melanjutkan ucapannya, seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi ragu untuk mengatakannya.

"Ah, bukan apa apa kok. Nanti juga kamu akan tau sendiri. Lebih baik kita kesana saja dulu, mumpung belum terlalu malam," jawab Pak Bayan.

Tanpa banyak tanya lagi, Pak Mitropun segera bersiap, mengganti kain sarungnya dengan celana panjang, lalu segera pamit kepada sang istri untuk pergi ke rumah duka.

"Bagaimana dengan Padmi Pak?" Bisik Mbok Mitro saat sang suami hendak beranjak keluar rumah.

"Nantilah kita pikirkan Bune. Mbah Atmonya saja sudah ndak ada gitu. Nanti biar Pakne ke Kedhung Jati saja, minta tolong sama Pak Dul Modin," jawab Pak Mitro, juga sambil berbisik, sebelum melangkah menyusul Pak Bayan yang sudah terlebih dahulu berjalan meninggalkan halaman.

Mbok Mitro hanya bisa memandangi kepergian sang suami dengan hati resah. Entah mengapa, perasaan tak enak semakin kuat merambat di hatinya. Kematian Mbah Atmo yang tiba tiba, adakah hubungannya dengan usaha yang telah dilakukan oleh orang tua baik hati itu untuk melindungi Padmi tempo hari? Dan nenek bungkuk yang kata Padmi datang ke rumah ini siang tadi....

"Ah, mudah mudahan ini bukanlah sebuah firasat buruk," Mbok Mitro mendesah pelan, lalu menutup pintu rapat rapat dan menguncinya dari dalam.

Bersambung

Short Story Kedhung Jati 3 : Mbak Padmi Dan Wewe GombelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang