Mbah Sumi

529 49 2
                                    

Malam telah larut. Suasana di Desa Kedhungsono terlihat mulai sepi. Kecuali di rumah Mbah Atmo, karena memang hampir semua warga desa yang laki laki berkumpul disana. Sementara yang perempuan lebih memilih untuk bergelung dibalik selimut semenjak ba'da isya' tadi. Hawa dingin musim kemarau, ditambah dengan rasa lelah setelah seharian bekerja, memang lebih cepat mendatangkan rasa kantuk.

Namun tidak demikian dengan Mbah Sumi. Meski perempuan tua itu juga sudah tergolek diatas dipan semenjak tadi, namun rasa kantuk yang ia tunggu tak jua datang menyapa. Entah kenapa, semenjak sore tadi hatinya resah. Ada perasaan tak enak yang mengganggu pikirannya. Ditambah dengan kabar meninggalnya Mbah Atmo dengan cara yang tidak wajar, membuat perasaan perempuan yang dikenal sebagai dukun bayi itu semakin tak tenang. Kabar kematian seseorang memang selalu membawa kesan menakutkan.

Sejenak wanita tua itu menggeliat, lalu menyibak kain jarik yang menutupi sebagian tubuhnya. Perlahan ia lalu beranjak bangun, lalu turun dari atas dipan. Dituangnya air teh dari dalam teko yang berada diatas meja bulat di sisi ranjang itu kedalam gelas kaleng bercorak putih hijau, lalu ditenggaknya pelan pelan. Segar rasanya, meski hanya air teh tawar yang sudah dingin.

Perempuan tua itu lalu duduk di kursi rotan yang ada disamping meja itu. Kedua tangan keriputnya lalu sibuk meracik kinang. Selembar daun sirih ia campur dengan kapur sirih dan gumpalan gambir, lalu ia kunyah dengan perlahan sambil menyandarkan punggung pada sandaran kursi yang ia duduki.

"Tok ..., tok ..., tok ...," suara ketukan pintu dari ruang depan mengejutkan perempuan itu. Siapa yang bertamu malam malam begini? Seingatnya tak ada warga yang hamil tua di desa ini, kecuali Mbak Padmi yang menurut perhitungannya masih sebulanan lagi untuk tiba waktunya melahirkan. Sebagai seorang dukun bayi yang sudah cukup ternama, sudah biasa Mbah Sumi kedatangan tamu di waktu waktu yang bukan saatnya untuk bertamu. Dan biasanya mereka yang datang itu membutuhkan bantuannya untuk menolong orang yang hendak melahirkan.

"Sinten nggih?" (Siapa ya?) Mbah Sumi berseru, sambil melangkah tertatih menuju ruang depan.

"Kulo Mbah, Parni," (Saya Mbah, Parni,) suara anak perempuan terdengar dari balik pintu. Mbah Sumipun segera membukakan pintu untuk tamunya itu.

"Ada apa Ndhuk?" Tanya Mbah Sumi sambil memicingkan mata tuanya. Suasana gelap diluar sedikit mengaburkan pandangannya.

"Anu Mbah, disuruh Simbok buat jemput Simbah. Mbak Padmi sepertinya mau melahirkan," jawab anak itu.

"Lho, bukannya baru delapan bulan ya?" Tanya Mbah Sumi lagi, heran.

"Nggak tau Mbah. Tapi Mbak Padmi sudah kesakitan tuh, makanya Simbok nyuruh saya kemari buat jemput Simbah," jawab anak itu lagi.

"Oh, ya sudah. Tunggu sebentar ya, Simbah tak siap siap dulu," Mbah Sumi kembali masuk kedalam. Tak butuh waktu lama baginya untuk mempersiapkan apa apa yang harus ia bawa saat akan menolong orang yang hendak melahirkan. Kurang dari lima menit, perempuan tua itu sudah berjalan tertatih menyusuri jalanan desa yang sunyi dengan ditemani oleh Parni yang mengekor dibelakangnya.

Rumah Mbah Sumi dan Pak Mitro tak begitu jauh. Kurang dari sepuluh menit, mereka berdua telah sampai di rumah yang dituju. Tanpa banyak basa basi, setelah dipersilahkan masuk, Mbah Sumi segera menuju ke kamar Mbak Padmi. Namun baru saja ia menginjakkan kaki di ambang pintu kamar itu, langkahnya terhenti. Mata tuanya kembali memicing, menyaksikan pemandangan ganjil yang terpampang di hadapannya.

Nampak Mbak Padmi tengah terbaring meronta ronta diatas tempat tidur. Kedua tangannya memegangi perutnya yang membuncit. Mulutnya menceracau tak karuan, dengan kepala menggeleng geleng keras kekiri dan kekanan, membuat rambutnya yang lebat panjang itu berantakan tak beraturan.

Short Story Kedhung Jati 3 : Mbak Padmi Dan Wewe GombelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang