Bab IV

497 51 0
                                    

"Tadi, memang saya pulang bareng bapak pas dari mushalla. Tapi sampai di tengah jalan, bapak nyuruh saya pulang duluan. Katanya sih, bapak masih ada urusan gitu. Nggak tau urusan apa, tapi sepertinya penting banget, karena bapak kelihatannya agak khawatir gitu Pak," Wandi, anak almarhum, menceritakan kejadian sore tadi kepada Pak Modin.

"Apa bapakmu bilang kalau ia akan menemui seseorang? Atau ada hal lain yang aneh saat bapakmu menyuruhmu pulang duluan?" Tanya Pak Modin.

"Setahu saya sih enggak Pak. Tapi nggak tau setelah saya pulang bapak menemui seseorang atau tidak. Cuma...."

"Cuma apa Le?" Desak Pak Modin, saat menyadari kalau Wandi seperti ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Cuma, bapak sempat mengira kalau seikat batang singkong yang disandarkan pada sebatang pohon di kebun Pakde Jono, dikira orang sama bapak. Maklum Pak, pengelihatan bapak saya memang sudah agak kurang, apalagi kalau malam," lanjut Wandi.

Pak Modin manggut manggut. Apa yang dikatakan oleh Wandi barusan, mungkin bagi sebagian orang terdengar wajar. Warga memang sudah biasa menyimpan batang batang tanaman singkong yang berukuran bagus untuk dijadikan bibit. Dan ikatan batang singkong yang dikira manusia oleh orang yang pengelihatannya sudah berkurang seperti Mbah Atmo, jelas itu terdengar wajar. Namun tidak bagi Pak Modin. Ia tahu, sebagai orang yang dianggap 'ngerti', bisa saja pengelihatan lahir Mbah Atmo sudah kurang berfungsi dengan baik. Tapi tentu tidak dengan pengelihatan batinnya. Apa yang nampak sebagai seikat batang singkong di mata lahir Wandi, bisa saja terlihat berbeda di mata batin sang bapak.

"Apakah ada sesuatu yang aneh Pak?" Tanya Pak Bayan saat menyadari raut wajah Pak Modin sedikit berubah setelah mendengar penuturan Wandi barusan.

"Ah, tidak kok. Tak ada yang aneh selain dari posisi jenazah yang kurang lazim tadi. Tapi tak apa. Semua sudah bisa diatasi. Lebih baik, sekarang Pak Bayan perintahkan kepada warga untuk mempersiapkan uoacara pemakaman. Semakin cepat semakin baik Pak, sebab kurang baik juga kalau terlalu lama membiarkan jenazah menunggu untuk dimakamkan," jawab Pak Modin.

Meski kurang yakin, karena Pak Bayan merasa ada hal yang sengaja ditutup tutupi oleh Pak Modin, namun laki laki pemimpin desa Kedhungsono itu hanya bisa menuruti saran dari Pak Modin. Dikumpulkannya beberapa laki laki untuk mempersiapkan upacara pemakaman.

Sedang Pak Modin sendiri, masih tetap duduk di tempatnya, menyalakan sebatang rokok untuk sekedar mengurangi rasa gundah di hatinya. Memang ada yang mengganggu pikirannya saat ini. Firasat buruk begitu terasa menekan perasaannya. Apa yang menghadang perjalanannya tadi di Tegal Salahan saat menuju kemari, kondisi jenazah Mbah Atmo yang tidak wajar, serta apa yang dikatakan oleh Wandi barusan, sepertinya semua masih berhubungan erat.

Tapi semua masih belum jelas. Semua masih terasa samar, hingga laki laki setengah baya itu tak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan. Biarlah semua berjalan seperti apa adanya. Menyampaikan uneg unegnya pada orang lain disaat seperti ini, justru hanya akan menimbulkan kegaduhan. Siapa tau, sambil menunggu nanti akan ada petunjuk lain yang lebih jelas lagi.

Tengah larut Pak Modin dengan pikirannya, tiba tiba ada salah seorang warga yang mendekat ke arahnya. Sedikit ragu laki laki itu mengatakan sesuatu dengan setengah berbisik kepada Pak Modin. Pak Modinpun mendengarkan dengan sangat serius. Sesekali ia mengangguk anggukkan kepalanya, tanda ia mengerti dengan apa yang diucapkan oleh si laki laki.

"Hmmm, jadi seperti itu ya," Pak Modin menggumam pelan begitu si laki laki mengakhiri ucapannya. "Saya sudah menduga. Dan, Insya Allah Pak, nanti akan saya usahakan untuk membantu, tentu dengan sebatas kemampuan yang saya miliki. Tapi sebelumnya, lebih baik kita selesaikan dulu urusan Mbah Atmo ini."

"Terimakasih banyak Pak. Saya sangat mengharapkan bantuan Pak Modin," ujar laki laki itu yang tak lain adalah Pak Mitro.

"Sama sama Pak. Sudah menjadi kewajiban kita kan sebagai sesama manusia untuk saling menolong," Pak Modin tersenyum. Lega hati Pak Mitro setelah mendengar kesanggupan laki laki setengah baya itu.

Malam kian merambat. Suasana di rumah duka semakin hening. Meski masih banyak warga yang berkumpul di rumah itu, namun rata rata dari mereka enggan untuk mengeluarkan kata kata. Andapun ada sesuatu yang perlu untuk dikatakan, mereka akan mengucapkannya dengan cara setengah berbisik.

Hingga saat hampir tengah malam, keheningan itu dipecahkan oleh suara teriakan bocah laki laki dari arah jalan desa. Serempak, seluruh mata mengarah ke asal suara itu.

"Bapaakkk...!!! Bapaakkk...!!! Mbakyu Paakkk...!!!" Parjo, anak kedua dari Pak Mitro yang berlari menerobos kerumunan warga yang duduk bergerombol di halaman itu, jelas membuat semua orang menjadi ikut panik.

Pak Mitro yang sangat mengenali suara Parjo, segera berlari keluar dan menyongsong sang anak. "Ada apa Le? Kenapa dengan Mbakyumu?"

"Mbakyu Paakkk...! Mbakyuuu...!!!" Tersengal, anak itu menceracau tak jelas.

"Astaghfirullaaahhh...!!! Ya Sudah! Ayo kita pulang!" Tanpa sempat berpamitan akibat rasa panik, Pak Mitro segera menggelandang tangan Parjo dan mengajaknya pulang.

Warga desa yang hadir disitu juga tak tinggal diam. Merasa ada yang tak beres dengan keluarga Pak Mitro, sebagian dari mereka lalu menyusul laki laki itu, takut kalau terjadi apa apa dengan anak sulung Pak Mitro yang tengah hamil tua. Pak Modin sendiri yang sejak tadi memperhatikan kejadian itu, segera bangkit dan menemui Pak Bayan.

"Pak Bayan, maaf ya, perasaan saya kok jadi kurang enak begini ya. Tolong untuk sementara yang disini bapak urus dulu ya, saya mau ikut melihat keluarga Pak Mitro sebentar," bisik Pak Modin pada Pak Bayan. Pak Bayanpun mengangguk tanda mengerti.

****

Jerit tangis dan sumpah serapah terdengar dari arah rumah Pak Mitro, memecah kesunyian malam yang kian larut. Jerit tangis dari Mbok Mitro, dan sumpah serapah yang keluar dari mulut Pak Mitro. Mungkin hanya itu yang bisa dilakukan oleh sepasang suami istri yang tengah dilanda kemalangan itu, saat melihat Mbak Padmi, anak sulung mereka yang tergolek pingsan diatas ranjang. Darah segar masih menggenang diantara sela sela pangkal pahanya. Namun tak nampak adanya sosok jabang bayi yang mereka harapkan. Sementara Mbok Sumi, dukun bayi yang biasa menangani orang orang yang akan melahirkan, justru telah pingsan tergeletak diatas lantai.

Pak Modin yang datang bersama beberapa warga segera berusaha memberikan pertolongan. Ada yang berusaha menyadarkan Mbak Padmi, ada yang mencoba menenangkan Pak Mitro dan Mbok Mitro, dan sebagian lagi berusaha untuk membangunkan Mbok Sumi.

"Anak'e Padmi disaut wewe gombel!" (Anaknya Padmi disambar wewe gombel) Mbok Sumi menggeragap saat warga berhasil menyadarkannya.

Bersambung

Short Story Kedhung Jati 3 : Mbak Padmi Dan Wewe GombelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang