Bab III

533 52 0
                                    

Ditemani sinar sorot senter, Pak Bayan dan Pak Mitro berjalan dalam diam menyusuri jalanan desa yang gelap dan sepi itu. Keduanya sibuk dengan pikiran yang berkecamuk di benak mereka masing masing, hingga seolah lupa cara bercakap cakap untuk memecah sunyi yang mencekam. Kesunyian, yang masih begitu terasa meski keduanya telah sampai di rumah yang dituju. Hampir semua warga desa telah berkumpul di rumah itu, namun tak seorangpun dari mereka yang berani membuka suara. Hanya suara bisik bisik samar yang terdengar, saat Pak Bayan dan Pak Mitro memasuki ruangan dan mendekat ke arah jenazah yang terbaring kaku diatas dipan berselimut kain batik itu.

"Astaghfirullahhaladziiieemmm...!!!" Seruan keras dari Pak Mitro saat membuka selimut si jenazah, sontak membuat para pelayat yang hadir terlonjak kaget, hingga laki laki tua itu segera membekap mulutnya sendiri, sadar akan keteledoran yang baru saja ia lakukan.

Perlahan, Pak Mitro kembali menutupkan selimut itu ke tubuh si jenazah, lalu beringsut mundur dan duduk diatas tikar yang telah digelar, tepat disamping Pak Bayan. Sejuta pikiran kembali berkecamuk di benak laki laki itu. Pantas saja tadi Pak Bayan nampak ragu menjawab saat ia menanyakan keadaan Mbah Atmo. Kondisi jenazah kakek tua baik hati itu, terlihat bukan hanya sangat mengenaskan, tapi juga sedikit menyeramkan. Terbujur kaku dengan wajah menegang dan urat urat bertonjolan. Kedua matanya yang melotot seolah hendak melompat keluar dari rongganya itu hanya menampakkan bagian putihnya saja. Mulutnya yang menganga lebar dengan lidah terjulur keluar, sementara kedua tangannya mencengkeram erat lehernya sendiri. Entah apa yang terjadi dan dialami oleh laki laki tua itu sebelum ajal menjemputnya. Yang Jelas, Pak Mitro bisa merasakan bahwa laki laki tua itu sempat mengalami penderitaan yang teramat sangat sebelum ajal benar benar menjemputnya.

"Kenapa bisa seperti itu Pak? Dan kenapa dibiarkan saja seperti itu?" Bisik Pak Mitro pada Pak Bayan setelah berhasil menguasai keterkejutannya.

"Sssttt...! Jangan berisik! Aku juga ndak tau Tro. Dan jangan bilang kalau kami membiarkannya seperti itu. Tadi sudah berkali kali kami mencoba untuk membetulkan posisi tubuhnya, tapi gagal. Jasad Mbah Atmo sudah kaku dan keras meski baru beberapa saat yang lalu meninggalnya," jawab Pak Bayan, juga sambil berbisik.

"Aneh," gumam Pak Mitro.

"Memang aneh! Karena itu tadi aku sudah mengutus orang untuk menjemput Modin Kedhung Jati. Kudengar Modin itu cukup bisa diandalkan untuk mengatasi hal hal yang seperti ini. Mudah mudahan mereka berhasil membawa Pak Modin Kedhung Jati kesini," jelas Pak Bayan.

Pak Mitro hanya bisa mengangguk anggukkan kepala mendengar penjelasan sang Bayan itu. Modin Kedhung Jati! Ia juga sudah sering mendengar kemahsyuran nama tokoh yang satu ini. Dan, setitik harapan kembali muncul ketika sang Bayan menyebutkan nama tokoh yang satu itu.

Modin Kedhung Jati! Mudah mudahan ia juga punya kesempatan untuk meminta pertolongan dari sosok yang satu itu.

***

Sementara itu, pemuda yang diutus oleh Pak Bayan untuk menjemput Pak Modin Kedhung Jati telah sampai di rumah yang dituju. Beruntung, sosok yang ia cari sedang berada di rumah. Tanpa banyak basa basi pemuda itupun segera mengatakan maksud kedatangannya menemui laki laki setengah baya itu. Sang tuan rumah yang tanggap dengan situasi, juga sepertinya tak mau buang buang waktu lagi. Dengan diboncengkan motor oleh si pemuda, berangkatlah keduanya menuju ke desa Kedhungsono.

Sadar bahwa sedang menghadapi suasana genting, si pemuda berusaha memacu motor tuanya secepat yang ia bisa, menuruni jalanan terjal berbatu di area Tegal Salahan. Namun naas, saat sampai dibawah turunan, tepatnya diatas jembatan kecil atau biasa disebut 'buk' yang ada diantara turunan dan tanjakan jalan itu, laju motor tua itu tersendat, lalu mesinnya mati mendadak.

"Sial!" Si pemuda merutuk kesal, sambil berkali kali berusaha menyelah motor itu. Namun hasilnya nihil. Mesin motor tua itu tak juga kunjung menyala.

"Sebentar Le," Pak Modin yang duduk di boncengan belakang berkata pelan, lalu turun dari atas jok motor dan mendekat ke arah salah satu sisi dari jembatan itu.

Short Story Kedhung Jati 3 : Mbak Padmi Dan Wewe GombelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang