Chapter 1 (New Version)

49.2K 2.5K 41
                                    


The Terror

Aku terlonjak dari kasur. Jantungku berpacu dengan cepat. Rasanya seperti hendak meledak. Tubuhku pun diselimuti oleh keringat dingin.

Apa yang telah terjadi? Tadi itu mimpi?

Aku mengusap wajah dengan tangan. Mimpi yang terasa sangat nyata sehingga membuat tubuhku dingin dan gemetaran. Mataku melirik jam di meja samping tempat tidur, pukul 06:43. Aku mengerang, sekitar empat puluh menit lagi aku harus kuliah.

Dengan lunglai, aku menyeret kaki menuju kamar mandi, lalu berhenti di hadapan sebuah cermin. Seorang gadis dengan rambut pirang acak-acakan menatapku dengan mata hazel mengantuknya. Keringat yang jatuh dari pelipisnya kembali mengingatkanku pada mimpi yang baru saja kualami.

Hawa dingin kamar mandi menciumi tubuhku. Kudukku meremang kala berusaha mengingat hal apa yang kupikirkan sebelum beranjak terlelap semalam. Tak ada sesuatu yang berarti, tak ada hal mengada-ada. Tapi..., mengapa aku bisa mendapat bunga tidur yang amat buruk itu?

Tak ingin mengingat mimpi tentang diriku yang terbunuh, aku segera mandi dan bersiap untuk kuliah.

*

Rumah yang kutempati saat ini tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil, pas untuk ibuku dan aku. Kami baru saja pindah ke Kota Pineswood karena Ibu ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih layak di sini. Aku tidak mengenal sosok Ayah. Ayahku telah meninggal karena kebakaran rumah kami saat aku masih berusia enam bulan. Foto-fotonya pun tak bisa diselamatkan sehingga aku tak punya gambaran tentang dia. Ibu mengatakan kepadaku bahwa Ayah adalah pria yang baik dan penyayang. Rambut pirang serta mata cokelat adalah peninggalannya untukku. Hanya itu yang kutahu tentang ayahku.

Saat memasuki dapur, mataku menangkap sosok wanita paruh baya. Tubuhnya kurus dan rambut pirangnya diikat ponytail. Tangannya dengan terampil mencuci beberapa peralatan masak, sedangkan mulutnya bersenandung kecil. Wanita itu ibuku, Isabella Maiara.

"Pagi, Bu," sapaku seraya berjalan menuju meja makan dan menarik kursi untuk kududuki.

Ibu tampak sedikit terkejut. Dia membalikkan tubuh untuk melihatku. "Pagi juga, Pu-" ada kilat keterkejutan di mata hitamnya yang kutangkap. "Putih. Ada putih-putih di rambutmu," sambungnya cepat.

"Oh?" Refleks aku menyapu rambutku dengan tangan.

Mungkin karena tadi aku habis mencuci rambut.

"Sudah?"

"Sudah," jawab Ibu dengan senyuman, lalu kembali mencuci peralatan masak yang lain.

"Bagaimana dengan kota ini, Olivia?" tanya Ibu tanpa berhenti mencuci, sedangkan aku sudah mulai mengoles rotiku dengan selai cokelat.

"Bagus. Ini kota yang tenang dan tetangga sebelah kelihatannya ramah." Aku mengingat tetangga baruku, sepasang suami-istri yang tersenyum hangat ketika aku melewati depan rumah mereka.

"Benarkah? Sepertinya Ibu akan mengunjungi mereka nanti," ujarnya sambil mengelap tangan dengan handuk kecil, kemudian duduk di depanku untuk sarapan bersama.

"Beberapa mangkuk muffin untuk tetangga baru, bagaimana menurutmu?"

Aku memandang Ibu dengan mata memicing, kemudian menjawab setelah menelan roti. "Tepat!"

*

Aku keluar dari rumah, lalu berjalan menuju halte bus terdekat. Rumah-rumah dengan bentuk yang sama berjajar di kedua sisi jalan yang sedang kulewati. Udara di sini hangat serta tak banyak kendaraan yang melintas, membuat suasana menjadi tenang dan nyaman. Aku sangat menikmati hal seperti ini. Tapi, tidak lagi setelah semilir angin menyapu bulu tengkukku. Alih-alih hangat, aku justru merasa dingin, merinding. Aku tak tahu mengapa dan sedang berusaha untuk mengetahuinya. Kulihat sekitar, tapi tak ada hal yang ganjil di hadapanku.

Ketika aku menoleh ke belakang, hanya ada sebuah mobil yang melintas. Aku akan mengembuskan napas lega kalau saja mataku tidak menangkap sosok berjubah merah sedang berdiri di atas bangunan toko yang tinggi. Tudung dari jubah yang dia pakai menutupi sebagian besar wajahnya sehingga aku tak bisa mengenali dia dengan jelas.

Orang itu sangat aneh. Mengapa dia berada di atas sana dan dengan pakaian seperti itu?

Hanya dengan melihatnya, merinding yang lebih membuat takut menjalar ke seluruh tubuh. Aku segera mempercepat laju langkahku, lalu naik ke dalam bus yang syukurnya tiba bersamaan denganku di halte. Napas lega akhirnya bisa benar-benar aku embuskan setelah menghempaskan tubuh di kursi bus. Seiring dengan bus yang mulai melaju menjauhi bangunan toko tempat sosok berjubah itu berdiri, aku memeriksa keadaan sekitar. Sepi. Amat sepi. Hanya aku satu-satunya penumpang bus.

Lagi-lagi, ini terasa ganjil untukku.

Aku duduk dengan gelisah. Takut menggigit-gigiti hatiku, tapi rasa penasaran ini tak bisa kuabaikan. Aku memberanikan diri melihat ke arah kaca belakang bus. Rupanya, ada satu sosok berjubah lagi. Tubuhnya lebih besar dibanding orang berjubah yang pertama kulihat. Tudung jubahnya juga menutupi wajah, tapi aku bisa merasakan bahwa dia sedang melihatku layaknya dia sedang merasuki jiwaku.

Darahku terpompa lebih cepat daripada sebelumnya. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Keanehan bisa kurasakan dengan jelas karena terus melihat sosok tersebut. Bukan aku ingin terus menatapnya, tetapi seakan aku tak bisa mengalihkan tatapanku dari dirinya.

PRANG!

Beneath The Sapphire Eyes #1 (SUDAH DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang