11 • anything

50 23 3
                                    


"Ara, pacaran sama gue, yuk?"

Bukan hanya Ara yang terpaku, bahkan Sanggita tadinya ketawa keras gara-gara Keita terjungkal dari kursi—kini hanya terdengar suara kipas angin merasuk ke indra pendengaran mereka.

Suasana antara canggung dan kesal menjadi satu, Ara meneguk salivanya kasar-kasar. Sementara si pelaku hanya tersenyum tipis. Sialnya lagi, Ara tidak bisa merasakan ada satu kebohongan dari kata-kata Arka barusan.

"Loh, bukannya kalian udah pacaran, ya?" celetuk Hasbi di belakang sana. Tentu saja celetukan Hasbi mendapatkan pukulan cepat di lengannya oleh Sanggita Junara.

Arka hanya tersenyum tipis. "Ini lagi usaha. Tergantung jawaban Ara aja. Doain, ya, Bi!"

Rasanya Ara ingin menenggelamkan diri ke rawa-rawa. Malu bukan kepalang. Arka memang bakal selalu jadi tetangga berandal yang menyebalkan. Lantas Ara menghela napas kecil.

"Lo mau ngajak pacaran sama anak orang kayak mau lagi kerja kelompok aja. Minimal bawain cokelat atau bunga, dong," sanggah Keita, Hasbi tertawa menanggapi.

"Oh, gitu, ya?" Arka dengan polosnya mengangguk, "kalo gitu, tunggu bentar, Ra. Gue beli cokelat dulu di minimarket depan sana."

Namun, lagi-lagi langkah Arka terhenti begitu tangan Ara mencekalnya. Lelaki itu menoleh dengan hati-hati. Kemudian Ara cepat-cepat melepasnya. Kejadian barusan tentu saja mendapatkan sorak sorai dari anak-anak di belakang sana.

"Lo nggak usah ke minimarket," imbuh Ara cepat. "Karena gue juga nggak mungkin bisa pacaran sama lo. Sekarang, lo bisa pergi dari sini."

Arka masih setia tersenyum tipis. "Gara-gara gue mau ngasih tiket festival ke Shasa, ya? Gue nggak jadi jalan sama dia, kok. Gue—"

"Arka."

Terdengar tegas, tetapi tidak ada nada tekanan dari Ara. Akhirnya Arka mendengus kecil dan tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Gue nggak bakal nyerah sampai di sini. Pokoknya kita harus pacaran. Gue bakal nunggu sampai lo terima gue."

"Pacaran, pacaran ... langsung nikah, dong," cerca Keita cengengesan bersama Hasbi.

"Soon, ya!" Arka tersenyum memberikan jempol kepada Keita dan Hasbi. Pandangannya lalu beralih pada Ara yang tampak muak dengan semuanya, "kalau gitu, gue ke kelas dulu, ya, Calon Pacar!"

Habis ngomong seperti itu, Arka langsung ngacir keluar kelas.

"WOI, WOI, WOI, CALON PACAR!!"

"KAPAL GUE FINALLY BERLAYAR, GUYS!"

Sudah tidak heran Keita dan Hasbi saling bersuara memberi respon dari kejadian langka barusan. Sanggita hanya menggeleng kepala heran melihat Keita —pacaranya ini berisik.

Jira juga sedari tadi terdiam diambang pintu menyaksikan drama picisan yang dibuat-buat, seolah rasanya ingin muntah saja. Jira jadi penasaran, apa temannya ini akan menjilat ludah sendiri atau sebaliknya.

*****

Ternyata rencana Arka untuk menjadikan Ara sebagai pacar bukan omongan semata saja. Lelaki itu selalu punya cara untuk mendekatkan diri dengan si gadis penyuka ultra milk taro.

Padahal, nggak perlu pake effort juga mereka pasti bakal ketemu entah secara sengaja maupun tanpa sengaja, meskipun banyak nggak sengaja-nya, sih.

Mari kita ambil contoh seperti sekarang, dimana Arka setia menunggu jam pelajaran Ara selesai di depan ruang kelas. Sebenarnya minggu-minggu ini hanya diisi oleh jadwal remidi saja, sih, dan berhubung Ara tidak remidi—maka selama jam sekolah hanya diisi untuk membantu teman-teman lainnya yang lain kesusahan. Itung-itung mengetes ilmunya sudah sampai mana.

Jelas, keberadaan Arka di depan pintu kelas sangat menganggu. Sampai pernah ditanyai oleh Bu Asti, "Kenapa nggak pulang, Nang?", terus dengan santainya Arka malah menjawab, "Lagi nunggu Calon Pacar, Bu."

Lalu respon Bu Asti hanya geleng-geleng kepala sembari diiringi sorak sorai dari anak-anak kelas. Kalian pernah merasakan perasaan salah tingkah sekaligus bercampur rasa kesal? Nah, ini yang dirasakan Ara sekarang.

Sebenarnya kalo ditanya masih suka Arka atau tidak, jawabannya masih. Bohong kalo gadis itu bilang "gue gak suka dia", bahkan cewe ambis sekalipun mana sih yang tidak mau menolak pesona cowo itu? Hanya saja, Ara merasa tidak yakin, atau bisa dikatakan Arabella itu selalu denial soal perasaan. Seolah yang ada dalam dirinya tidak pantas untuk disukai oleh orang-orang. Dia selalu tidak percaya diri.

Tapi disatu sisi, Ara juga ingin kehidupannya nyaris dilingkupi oleh lelaki itu. Namun bukan jenis lingkup yang terlalu berlebih-lebihan, biasa saja.

"Kenapa lo nggak terima Arka aja?"

Lingkup yang membawa Ara kembali ke alam sadar, menoleh sekilas ke arah Jira yang masih sibuk mencatat poin penting pada jawabannya.

"Dia udah punya effort buat deketin lo. Masa nggak diakuin, sih? Gue kalo jadi lo, sih, bakal terima langsung. Gue akuin, sih, Arka itu manly. Jadi nggak heran kalo anak-anak cewe pada suka dia," sambung Jira yang merasa tidak ditanggapi, "mantannya aja Shasa, coy. Anak cheers leader."

"Gue cuma takut nggak sesuai sama ekspektasi, Ji."

"Kenapa lo harus percaya sama ekspektasi? Ekspetasi malah bikin lo jadi gila, Ra. Denger, ya—"

"Abis ini, gue mau pindah. Gimana gue bisa nggak percaya sama ekspektasi?"

Pergerakan tangan Jira terhenti, menoleh sepenuhnya ke arah temannya ini. "Gue nggak tahu apa lo pikirin soal long distance relationship with Arka. Tapi jatuh cinta nggak bisa ketebak, kan?"

"Justru karena nggak ketebak malah tambah serem. Jatuh cinta diumur sekarang itu masih labil-labilnya, Ji. Dia bisa suka sama gue sekarang, tapi nggak tahu kalo besok."

"Lo lihat Keita sama Sanggita. Lo ngerasa ada yang aneh sama hubungan percintaan mereka, nggak? Yang paling penting itu komunikasi. Lo kalo nggak bisa jalin komunikasi dengan baik, jangan harap, deh, bisa baik-baik aja. Tapi ngelihat diri lo yang selalu nyembunyiin apa-apa, gue juga makin yakin ... kalo lo emang nggak bisa jalanin apa-apa sama Arka."

Ara terdiam. "Jadi ... lo sekarang dukung gue jadi pacar Arka atau engga, nih?"

"Itu, sih, tergantung sama lo yang mau apa-apa selalu cerita atau engga ajaa," Jira tertawa kecil, melanjutkan aktivitas menulisnya.

Gadis itu mendengus kecil. "Lo nggak penasaran kenapa gue mau pindah?"

Celetukannya itu jelas Jira mendengarnya. "Takdir lo emang harus pindah, kan? Jadi gue nggak bakal tanya kenapa lo harus pindah, sebab gue nggak mau jadi orang egois cuma gara-gara penasaran tapi nggak bisa nyari solusi."

Oh. Semoga lo nggak dapet tetangga ngeselin kayak gue lagi di lingkungan lo yang baru.

Gue turut seneng karena gue nggak bakal ketemu sama lo lagi.

Ara mendengus kecil, seolah baru saja mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya sepulang dari tribun siang tadi. Lalu pandangannya mengarah pada Arka yang masih setia berdiri diambang pintu. Tanpa sadar Ara menipiskan bibir.








tbc

everyday [yoon jaehyuk x winter]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang