“Ini semua salahmu! Siapa juga yang mengira kalau kau akan menghabiskan seluruh harta kita di meja perjudian itu?!”
Lagi, teriakan kasar Mama terdengar lagi, kali ini alasannya cukup masuk akal menurut bocah sepuluh tahun sepertiku, pertaruhan tujuh ratus juta rupiah diajukan, kemudian Papa kalah. Kau tahu? Sederhananya orang tua laki-lakiku yang satu ini sudah membakar seluruh harta keluarga termasuk rumah ini—beserta sertifikat tanahnya.
Kini lagak Papa seperti yang ingin membela diri, padahal ia terlihat sudah kehabisan setengah dari kata kata yang ada dalam kamus kepalanya. Jari telunjuk kirinya masih teracung tajam ke depan wajah wanita yang dulu ia akui sebagai istrinya, menyalahkan pasangan hidupnya itu.
“Hei hei… ini bukan sepenuhnya salah diriku, ya. Kau camkan itu! Kau sendiri juga terus terusan membeli barang bermerek yang bahkan tak sekali sebulan kau pakai, kau—"
“Seenaknya kau bandingkan pengeluaran puluhan jutaku dengan tindak bodohmu mempertaruhkan kehidupan kita?? Memangnya kesenangan sementara perjudian itu bisa membayar hidupmu hingga sepuluh tahun atau bahkan sekedar satu pekan kedepan? Aku rasa kepala bodohmu itu harusnya tahu seberapa biadabnya tindakanmu itu, bangsat.”
Keluar, ini kelima kalinya dalam pekan ini Mama mengeluarkan kata kasar itu dari mulutnya meski sekarang masih hari Selasa. Untung saja aku bukan anak nakal yang serta merta menirukan semua yang orang tuaku sebutkan di dalam bangunan tiga lantai yang mereka sebut rumah ini, aku masihlah anak dengan topeng yang baik.
Tetapi jika ditanya soal intensitas, seorang Sania sepertiku yang belum lulus sekolah dasar ini tidak tahu berapa kali sesuatu harus disebutkan hingga bisa dikatakan sering. Namun Mama dan Papa sudah sarapan dengan adu mulut setiap hari. Ketika senja menjelang, Papa yang baru pulang dari kantor pasti menyulut sesuatu, atau jika tidak, Mama yang akan memulai keributan apapun itu alasannya. Sebelum tidur pun aku tidak pernah lagi mendengar dongeng atau nyanyian lullaby dari Mama sejak ulang tahunku yang ke delapan, malah mereka masih berteriak dan berdebat tak jelas di kamar tidur mereka yang salah satu dindingnya menempel dengan dinding kamarku—bersebelahan—hingga aku tertidur dengan sendirinya karena kelopak mataku yang lelah membuka diri.
Aku memang belum dewasa, masih anak kecil yang sering disapa ‘adik’ oleh orang – orang, tapi aku tahu perselisihan berkepanjangan ini bukan hal yang patut dinormalkan di kapal rumah tangga yang nyaris pecah ini. Jika aku bertanya pada lantai marmer rumah ini, mungkin kotak kotak batu ukuran tiga puluh senti kali tiga puluh senti itu pun sudah tak bisa lagi menghitung berapa banyak barang yang sudah terhempas kepadanya dan berapa keping pecahan keramik ataupun kaca yang telah menggores tiap sudut permukaannya.
Aku dan kotak – kotak marmer ini sebenarnya sudah sama sama muak, hingga tanpa sadar aku meneteskan air mataku tepat di sudut kiri bawah salah satunya.
“Pa… Ma… sudah cukup, aku mohon…“ mencoba beradab, masih menahan diriku, aku berusaha mengajukan perkataan yang sehalus mungkin untuk menghentikan pertengkaran mereka, setidaknya untuk satu atau dua jam kedepan.
“DIAM KAU ANAK SIALAN!! Ini semua urusan kami, dan kau lebih baik masuk ke kamarmu, SEKARANG!” lelaki dihadapanku ini malah bersungut sungut dan mengacungkan tangannya dengan kasar padaku.
Bocah tanggung sepertiku masih punya cukup rasa tahu diri, tapi rasa asing dalam diriku ini malah memintaku berusaha mendamaikan mereka lagi hingga keluar satu kata tambahan dari mulutku.
“Tapi…”
PLAKK!!
“DIAM DAN MASUK KE KAMARMU SEKARANG!!”
Tamparan kesekian yang kudapat satu bulan terakhir, mendarat tepat di pipi kananku dan memberi rasa pedih sampai ke dalam mulutku. Aku tahu ini bukan ‘pencapaian’ yang bisa aku banggakan, tapi aku merasa mending karena Papa tidak memukulku lebih dari ini. Wajahku sendiri sudah basah oleh air mataku, maka aku memilih berlari ke kamarku dan menutup rapat pintunya.
***
Di kamar, dengan emosi yang meluap ditambah kesedihan yang luar biasa dan perih yang masih membekas di pipi kananku, air mataku tak mau berhenti mengalir. Aku ingin mengutuk diri, tapi aku tahu semua ini bukan salahku.
“Kenapa… Kenapa mereka selalu seperti ini? Hiks… Kenapa setiap hari ada saja yang mereka jadikan masalah? Kenapa keluargaku harus seperti ini? Kenapa kami tidak seperti keluarga lain di luar sana?!” aku terisak, menutup wajahku dengan kedua tangan kecilku, berharap sambil menutup mata air wajah ini akan berhenti, tapi ternyata tidak bisa, ia tetap membasahi pipiku dan-
PRANGG!!
“Ah… pajangan apa lagi yang dibanting oleh Papa, seberapa parah lagi Mama akan terluka...” aku selalu memikirkan hal itu, aku tidak tahu entah ini yang disebut rasa peduli atau kepalaku hanya ingin aku tak begitu memikirkan akan jadi seberapa hancur lagi keluarga ini.
Tapi sepertinya alasan kedua tidak akan berlaku, sebab sekarang rasanya kepalaku makin sakit. Namun bukannya berhenti menangis, aku malah meraung sejadi jadinya hingga tenggorokanku terasa hampir luka.
Hawa sendu dan kacau memenuhi rumah ini, aku tak tahu lagi apakah surya akan kembali menyapa kami atau tidak, karena sekarang pun bulan tak terlihat terang. Tanpa lagu pengantar tidur dan tak ada ucapan selamat malam dari Mama, aku langsung terlelap di depan pintu kamarku tanpa menarik sehelaipun selimut, membiarkan kakiku dihembus oleh dinginnya angin malam dari jendela yang masih terbuka.—tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGET
Teen Fictionhanya sekilas cerita tentang perjalanan hidup dan petualangan pikiran seorang Sania Saeres yang punya sifat sejati tak begitu peduli dengan dunia, bahkan juga dirinya. -cerita ini mengandung diksi yang ternilai kasar dan sangat tak patut ditiru, pem...