“Duh, susah sekali sih,” aku mengeluh sembari memainkan jemariku untuk memperbaiki tangkai kacamataku. Entah bagaimana bautnya yang berukuran tak sampai satu senti itu lepas dari tempatnya, untunglah lensanya tidak apa – apa. Sekarang aku sedang duduk di ranjang unit kesehatan sekolah dengan beberapa bagian tubuhku ditutupi oleh perban dan plester. Setidaknya empat dari sepuluh jari – jariku dikelilingi oleh plester warna warni karena lecet lumayan parah. Sementara pipi kananku ditempeli plester persegi berwarna putih, membuatku terlihat seperti preman saja.
Kalau kalian tanya kenapa aku bisa luka – luka begini seperti orang selesai tawuran, jawabannya adalah aku mencoba memberi perlawanan, tapi sialnya tinjuku malah meleset dan mengenai dinding beton kelas tempat kami berseteru. Aku sempat dibanting juga ke lantai yang menyebabkan lebam di wajahku makin parah. Jika aku menjelaskan semua luka – lukaku berasal dari mana, sekolah ini akan keburu tutup meski sekarang masih pukul dua belas siang.
Kata penjaga unit kesehatan ini, aku tadi pingsan dengan adanya bercak darah di seragamku, tapi dia bingung karena tidak ada luka sayatan ataupun tusukan di tubuhku, aku pun berkata, “Saya tadi muntah darah,” dan membuatnya sedikit terkejut sekaligus bermuka kasihan. Kemudian aku membuka satu persatu kancing kemejaku, melepas seragam putih yang sekarang sudah jadi kelewat nasionalis ini dan menyisakan kaus hitam lengan pendek yang lumayan longgar.
“Haahh… —aw!”
Pipiku ternyata luka, mulutku yang sudah bengkak jadi terasa makin sakit. Sementara aku sibuk dengan diriku sendiri, penjaga UKS yang memakai bandana hijau itu duduk di seberang ranjang tempat aku berada, ia mengangkat kepalanya dan kemudian memulai pembicaraan—sepertinya ia tidak suka dengan suasana canggung yang menggantung.
“Kalian kenapa bisa sampai bertengkar seperti itu? Ada masalah apa? Laki – laki?”
Tiga pertanyaan beruntunnya menjadikan aku mau tak mau menatap lurus ke sepasang mata cerahnya dan menjawab apa adanya, “Bukan masalah laki – laki, mereka memang sudah merundung saya sejak saya masuk kesini, biasa… status sosial.
Oh iya, nama Kakak siapa?” aku menutup jawabanku dengan pertanyaan tambahan. Orang yang kupanggil Kakak karena wajahnya terlalu muda untuk dipanggil dengan sebutan 'Ibu' itu lalu sedikit tersenyum dan berkata, “Era, Erandi Kartika,” kemudian mengangguk pelan.
“Saya Sania.”
Wah, ternyata aku juga bisa. Ini adalah kali pertamaku memperkenalkan diri pada orang lain tanpa diminta. Pencapaian tak terduga dari si peringkat satu ini, hahah.
“Mereka sudah dipanggil ke ruang konseling, mungkin Sania bakal dipanggil juga nanti. Saya harap masalah kalian bisa selesai, soalnya ‘kan tidak baik kalau menutup masa SMP kalian dengan hal buruk seperti ini.
Saya juga dulu waktu SMP pernah ada masalah perundungan begitu, tapi di pertengahan dari masa tiga tahun belajar itu. Syukur masalahnya bisa selesai cepat dan tidak memanjang hingga saya lulus. Saya tidak tahu sih bagaimana kondisi mereka itu sekarang, tapi setidaknya saya sendiri sudah bisa hidup dengan baik.
Sania juga nanti, setelah ini jalani hidupnya dengan baik, ya.”Kak Era menjawab hampir semua pertanyaan yang ada di kepalaku saat ini, mulai dari dimana anak – anak tukang pukul itu berada sampai bagaimana aku harus menyikapi situasi sekarang dengan kenyataan bahwa aku adalah korbannya.
Tapi aku memanglah orang yang lemah alias tak tahu arah dalam bertindak, lantas aku jawab saja wejangan dari Kak Era dengan anggukan dari kepalaku yang masih berdenyut.“Nah, akhirnya,” ujarku antusias setelah berhasil menyambungkan kembali tangkai kacamataku dengan tempat dimana ia seharusnya berada. Kemudian aku mengenakannya agar penglihatanku bisa kembali jelas. Beberapa menit kemudian, Bunda Shil yang tinggi semampai masuk ke ruang UKS dan menghampiriku. Beliau menanyakan kondisiku dan aku jawab kalau aku baik – baik saja. Lalu aku diminta untuk mengikuti beliau ke ruang konseling.
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGET
Teen Fictionhanya sekilas cerita tentang perjalanan hidup dan petualangan pikiran seorang Sania Saeres yang punya sifat sejati tak begitu peduli dengan dunia, bahkan juga dirinya. -cerita ini mengandung diksi yang ternilai kasar dan sangat tak patut ditiru, pem...