BAB VIII • FINE GOODS

0 0 0
                                    

      Kali ini aku sungguh – sungguh tidak ingin pergi ke sekolah. Jadi aku memutuskan untuk tidur lagi setelah terbangun karena alarm di telepon pintarku. Sebagian diriku sebenarnya masih bersorak menyuruhku bersiap – siap dan pergi ke sekolah, namun badanku dengan kerasnya berkata ‘tidak’ karena ialah yang merasakan seberapa tak mampunya aku berjalan dengan cepat dan baik.

      Pukul sembilan, aku kembali terbangun. Aku langsung mengenakan kacamataku setelah mengusap – usap wajahku. Aku berjalan dengan langkah gontai ke dapur dan mengambil bahan – bahan yang bisa aku pakai untuk membuat sarapan.

      Tiba – tiba aku merindukan Mama lagi. Aku tidak tahu entah ini karena aku memasak daging saus lada hitam dan kentang tumbuk untuk sarapanku atau entah karena aku memang sedang membutuhkan seseorang di hidupku saat ini.

      Dan ya, aku menangis lagi.

      Tangan kananku kemudian reflek menampar pipiku sendiri dan aku membatin, “Sadar… Sania… Sadar…” dan berusaha menghentikan tangisanku. Lagi – lagi kepalaku pengang dibuatnya. Padahal nyeri dari benturan kemarin saja masih terasa, kenapa sekarang semuanya harus bertambah parah?

***


      Daripada kembali berbaring di ranjangku, aku memilih untuk membuka seluruh perban dan plester di tubuhku kecuali yang baru aku pasang kemarin. Sekali lagi aku memperhatikan seluruh bekas luka yang terpampang jelas itu, ia seolah mengatakan ‘kau sudah melewati banyak hal’ ataupun ‘kau tampak lelah’ meski keduanya sama – sama benar.

      Aku mengenakan kemeja coklat muda lengan panjang bergaris dan Jeans selutut yang terlihat seperti celana akan – anak. Ngomong – ngomong yang dari tadi aku kenakan adalah seragam dari Fine Goods. Kami memang tidak punya kemeja atau kaus berlambang khusus, tapi setiap tiga hari, kami diberi warna khusus yang harus kami pakai, dan kali ini kodenya coklat muda.


      Sesampainya aku di Fine Goods, Bibi Rach menyapaku dan langsung bertanya apakah aku tidak pergi ke sekolah hari ini. Beliau juga bertanya apakah aku punya masalah tertentu, aku hanya menjawab dengan tawa canggung dan ucapan ‘tidak, bi' yang sangat datar.

      Aku tidak ingin begitu membuang waktuku, meski aku tak bisa belajar di sekolah, setidaknya aku bisa menghasilkan uang lebih banyak hari ini. Tanganku masih bisa lincah bekerja ternyata, namun dada dan perutku terkadang berdenyut aneh sendiri.

      “Kalau memang sedang tidak enak badan, jangan memaksakan diri, Sayes. Nanti kalau kamu kenapa – napa disini ‘kan bahaya jadinya,” ujar Bang Don dengan suara empuknya sambil menggoyang – goyangkan pan berisi makaroni aglio o’lio yang hampir selesai.

      “Aku tidak apa – apa bang. Masalahnya kalau aku tidak bekerja hari ini, aku tidak tahu akan makan dari uang siapa, hahah,” balasku dengan tawa hambar yang dibuat – buat sambil menata pastry kecil dan pelengkapnya di atas piring saji.

      Bang Don hanya tersenyum dan menghela napas singkat. “Ya kau benar juga sih, tapi jangan terlalu banyak bekerja ya. Kalau nanti kau pusing atau merasa aneh di badanmu, beritahu aku,” sambungnya kemudian sambil melihatku ramah. Aku berkata, “Baiklah Bang,” meski aku tahu aku tak akan meminta bantuan siapapun untuk mengurusi badanku.

      Aku tidak ingin merepotkan orang, itu saja.

***

    “Dan yak, itu tadi pelanggan terakhir kita hari ini. Terima kasih banyak untuk kerja kerasnya hari ini, Goods. Hati – hati di jalan dan istirahat dengan baik karena masih ada hari esok, oke?” ujar Papa Michael menutup evaluasi Fine Goods hari ini. Tadi pelanggannya lumayan banyak, dan aku jadi sadar kalau ternyata bekerja full time disini juga menyenangkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FORGETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang