Aah… persetan. Seluruh badanku sakit, rasanya aku tak ingin pergi ke sekolah hari ini. Namun, aku masih punya sikap keras kepala yang cukup untuk membuatku memaksakan diri untuk mandi dan memakai seragamku dengan baik setelah merawat luka – luka di tubuhku untuk kesekian kalinya.
Sarapanku kali ini hanya susu dan oatmeal yang cenderung hambar. Aku tidak memasak sesuatu yang memiliki banyak rasa karena lidahku sekarang lumayan mati rasa, aku tak tahu jelas penyebabnya apa. Setelah sarapan, aku keluar dari rumah dan mengunci pintunya. Aku menghela napas panjang, kemudian melangkah keluar dari pagar dengan perasaan yang tak tentu.
***
Pandangan cemas seorang Kevin menyambutku di kelas, dia sepertinya ingin bertanya apakah aku baik – baik saja, tapi mungkin dia tahu kalau aku tak akan menjawabnya dengan apapun selain kilahan yang terlalu jelas. Mungkin dia juga paham kalau aku menaruh batas antara dirinya dan diriku sendiri, karenanya, ia jadi tak begitu memaksaku untuk bercerita.Pagi ini memang aku tidak disapa oleh satupun orang dari kelompok Jeanne, tapi aku yakin 98,6% kalau ia dan kelompoknya akan menghadangku lagi nanti sore. Aku sudah hapal akan rutinitas itu sampai rasanya tak apa kalau mereka memukulku setiap hari. Rasa sakit yang tumpang tindih itu seolah tak memberi efek lagi padaku. Aku hanya menganggap semuanya seperti menonton ulang semua yang sudah aku lalui dahulu, namun sedikit berbeda. Sederhananya, aku merasa seperti sedang bermain dalam game yang sama namun dengan level yang terlalu sulit dibanding sebelumnya.
Setelah guru Biologi masuk ke kelas, aku segera membuka buku catatanku dan bersiap untuk mencatat materi yang akan beliau jelaskan. Namun alam bawah sadarku malah seenaknya menjadikan perasaanku kacau tak berarah, ia membuatku menumpahkan air mata yang menjadikanku harus menunduk, menutupi wajahku di atas mejaku sendiri. Kemudian aku mendengar pertanyaan dari suara Kevin yang berbisik, “Sania, kau kenapa? Sakit?”
Sakit. Aku benar – benar sakit, kau tahu?
***
“Apa? Kali ini apa lagi? Seluruh lukaku belum hilang dan tubuhku terasa sakit di setiap bagian, apa lagi yang akan kalian lakukan kali ini?” tanyaku pada mereka yang menutupi jalanku untuk keluar dari toilet wanita. Dipikir – pikir, ternyata wajah mereka semua mulai terlihat memuakkan.“Wow wow wow… santai dong, kau antusias atau kenapa, sih? Apa kepalamu habis terbentur dinding?”
“Eh, memang benar ‘kan, kemarin kepalanya tidak sengaja aku dorong ke dinding. Pantas saja jadi begini ya~? Duh… maaf deh. Siapa suruh cari gara – gara dengan kami, HAH?!”
BRAK
Diah membanting punggungku ke salah satu pintu toilet dengan memegang erat kedua bahuku. Aku hanya membalas tatapannya tanpa berkata apapun. Aku tahu mereka lebih keras kepala dibanding aku, jadi aku sadar kata – kata seperti apapun tidak akan mempan untuk mereka.
PLAK
“Apa – apaan tatapanmu itu?! Kau kira kau yang paling hebat disini, hah?!” suaranya makin keras menusuk gendang telingaku. Disambut seruan orang di belakangnya, “Berani sekali anak yang satu ini ya, sudah mencari masalah, berlagak menentang pula. Kau kira kau bisa apa sampai – sampai berani menatap balik kami, hm? Apalagi dengan tatapan sok berani seperti itu, hahah.”“Aku punya mata, meski perlu bantuan kacamata, aku masih bisa melihat. Tak ada alasan bagiku untuk tidak menatap kalian balik—”
“Nah ini… ini! Ini teman – teman, contoh orang pintar yang saaangat pintar—”Jeanne tersenyum sarkastik kepadaku, menggantikan posisi Diah dan menarik rambutku sampai kepalaku terangkat. Lagi – lagi kulit kepalaku jadi sakit.
“—Aku saaangat suka kau, Sania. Gaya bicara sok cerdasmu dan kau yang senantiasa menjawab seluruh pertanyaan, atau bahkan memberi pertanyaan tanpa diminta dan berbicara seenaknya. Aku sangat suka hal itu sampai – sampai aku ingin kau enyah dan mati saja, tahu?!”
BUAGH
PLAK
Dua serangan telak, di ulu hati dan pipiku sama – sama terasa perih yang tak ada ampun. Mereka masih terus mengoceh sementara aku memegangi perutku. Sialnya aku tidak tahu bagaimana cara merawat luka dalam.Kemudian lagi, lagi, dan lagi. Mereka menampar wajahku kanan dan kiri sambil diselingi dengan kata – kata penuh amarah yang tak bisa aku ingat. Kemudian Jeanne berhenti dan berbicara dengan congkaknya kepada teman – temannya, “Oh ya, coba menepi sedikit, teman – teman. Aku mau mencoba teknik tendangan baru. Berdiri kau, pecundang.”
Aku tak berdaya, namun dua orang langsung menarik tanganku dengan kasar dan memaksaku berdiri. Wajahku yang sudah kusut dan air mataku yang tak henti keluar dari tadi sangat kontras dengan ekspresiku yang tajam dan penuh amarah.
“Wah? Lihat mukanya itu teman – teman. Kau marah, iya? Kau marah pada kami? Salah siapa selalu melawan dan mencari masalah. HEYYAAHH!”
BRAGH
Tendangan dari kaki Jeanne itu mengenai perutku, membuatku terdorong ke belakang sampai pintu toilet tempat aku disandarkan dari tadi itu terbuka. Aku jadi terduduk lemas.
Lagi – lagi Jeanne mengangkat wajahku dan berujar tepat di depan mataku, “Kalau kau tidak mau seperti ini lagi, lebih baik kau menghilang dari hidup kami, dasar sampah.”Mereka keluar dari toilet wanita ini seolah tak berdosa. Menyisakanku yang bingung bagaimana caranya bergabung kembali ke kelas dengan penampilan seperti ini. Akupun merapikan rambutku sebisaku dan membasuh wajahku dengan air dari wastafel. Refleksi diriku yang ada di hadapan mataku terlihat menyedihkan. Tapi bagaimanapun juga aku berusaha merapikan seragamku meski bagian bawahnya lumayan kotor.
—tbc..
KAMU SEDANG MEMBACA
FORGET
Ficção Adolescentehanya sekilas cerita tentang perjalanan hidup dan petualangan pikiran seorang Sania Saeres yang punya sifat sejati tak begitu peduli dengan dunia, bahkan juga dirinya. -cerita ini mengandung diksi yang ternilai kasar dan sangat tak patut ditiru, pem...