BAB VII • PEREMPUAN DENGAN PIXIE ❨2❩

0 0 0
                                    

      “Menghilang katanya…” aku berguman sendiri saat membersihkan meja nomor empat. Sore ini pelanggannya belum terlalu banyak, jadi seluruh karyawan di Fine Goods ini melakukan hal – hal lain seperti bebersih atau memainkan media sosial mereka. Ada juga karyawan senior yang duduk merokok di luar sambil berbincang santai.

      Lingkungan kerja disini aku akui lumayan baik, tapi hal itu bukan berarti kami semua dekat satu sama lainnya. Aku tak pernah berbincang dengan siapapun kecuali berhubungan dengan pekerjaan.

      Berbulan aku bekerja paruh waktu disini, yang aku tahu dari rekan – rekanku hanyalah nama dan perawakan mereka. Aku tidak pernah tahu tentang kehidupan pribadi mereka, begitupun mereka yang tak pernah aku ceritakan tentang masa laluku maupun tentang kehidupanku sekarang.

      Aku sangat menghindari berbicara dengan siapapun tentang masalahku. Aku tidak ingin dinilai buruk oleh orang lain hanya karena hidupku yang berantakan. Cukup aku saja yang tahu seberapa hancurnya diriku.

      “Saye, tiga sembilan tadi apa?” ujar Bang Don mengalihkan fokusku yang kini sudah ada di dalam dapur lagi. Ya, nama panggilanku disini adalah Saye. Aku kemudian memeriksa kertas pesanan dan menyodorkan nomor tiga sembilan kepada Bang Don. Disana tertulis kode – kode menu yang hanya dimengerti oleh orang – orang dapur. Kemudian Bang Don dan yang lainnya termasuk aku langsung saja mengerjakan pesanan tersebut.

      Perlahan orang – orang mulai berdatangan. Membuat Fine Goods jadi ramai dan lumayan berisik karena anak – anak muda ataupun ibu – ibu yang saling bertukar cerita sambil menikmati makanan dan minuman pesanan mereka.

***


      Setelah jam kerja selesai, aku keluar sambil menunduk kepada siapapun yang masih berada di dalam Fine Goods, mengisyaratkan ‘terima kasih banyak untuk hari ini’ dan ‘sampai jumpa’.

      Malam ini langit hitam yang berada entah dimana itu menggantungkan beberapa bintang kecil di permukaannya. Membuatku berhenti dan mendongak sejenak untuk sekedar melihat indahnya. Namun sayang bulannya tak sama sekali dapat aku lihat.

      Jeda singkat yang mengikis pikiran burukku.

      Namun kemudian sesampainya aku di rumah, pikiran – pikiran itu langsung masuk lagi ke kepalaku, pemikiran tentang seberapa kejamnya dunia, tentang seberapa sialnya diriku, dan tentang seberapa pecundangnya aku.

      Di kamarku, aku mengganti baju dan lagi – lagi meringis sendiri melihat luka – luka di tubuhku. “Kenapa kau bisa jadi begini, Sania. Apa salahmu, Sania? Kenapa semuanya harus jadi begini, Sania? Kenapa seluruhnya jadi sekejam ini…

      Sania…?”

      Aku bertanya – tanya, namun itu hanya membuat pikiran burukku makin menjadi. Aku menatap lamat – lamat diriku yang dipantulkan oleh cermin oval itu.

      Rambut lebat gadis itu hanya sampai telinga dan berantakan meski tidak kusut, bagian bawahnya sangat tipis dan hampir habis saat mendekati tengkuknya. Matanya berwarna hitam legam layaknya helaian rambut yang sedikit menutupi dahinya itu. Kantung matanya tak terlalu gelap, namun ia terlihat kelelahan. Kedua pipinya kemerahan dengan tekstur yang tak biasa. Pori – porinya memang tak terlihat jelas, tapi ada corak yang lebih gelap dibanding warna kulitnya yang tersebar di seluruh wajahnya dengan bentuk panjang pendek yang tak beraturan.

      Semua bekas lukanya terlihat penuh kesedihan. Dari wajah, leher, atas dadanya, lengan dan bahkan jari – jarinya, punya bekas – bekas tertentu yang tidak sama sekali terlihat bagus. Luka – luka di tubuh gadis itu menurutku adalah tipe luka yang tidak bisa dibanggakan layaknya luka sayatan di mata pemain film aksi. Warna kulitnya tidak rata, bukan karena matahari, tetapi karena lebam yang ia dapatkan di waktu yang berbeda – beda sehingga mereka tak bisa sembuh bersamaan.

      Wajahnya sebenarnya manis, namun mata tajamnya yang tak kenal takut itu menjadikannya terlihat sedikit tegas sekaligus sombong. Bahunya cukup lebar jika dibandingkan dengan perempuan seumurannya, namun gadis itu sepertinya tahu kalau bahu itu tak cukup untuk membawa beban dunia yang terlalu berat meski ia baru hidup selama enam belas tahun lebih.

      Perempuan di hadapanku ini terlihat menyedihkan,

      Ia terlihat sakit,

      Ia tampak menderita,

      Dia…

      Dia ternyata adalah diriku.

      Ternyata aku seburuk itu.

      Ternyata aku semenyedihkan itu.

      Kenapa aku tak pernah sadar? Apa karena aku tak pernah begitu menaruh perhatian pada diriku sendiri? Kenapa aku terus merawat luka – luka itu meski tahu tak akan ada yang bisa sembuh? Kenapa aku terus memotong rambutku meski aku tahu hal itu tak akan mengubah apapun dalam hidupku? Kenapa bisa – bisanya aku berkata bahwa aku menganggap semuanya biasa saja? Kenapa aku selalu berlagak baik – baik saja.

       Kenapa aku selalu berlagak baik – baik saja…

      Kenapa,

      Kenapa aku selalu berlagak baik – baik saja?

      Memangnya siapa yang akan aku untungkan?

      Aku bodoh, perempuan di depanku ini benar – benar bodoh.

      Aku membencinya dengan sepenuh hatiku.

      PRANG

      “Ah…”

      Tunggu,

      Dimana kesadaran dan kewarasanku tadi?

      Kini cermin oval itu sudah terpecah menjadi beberapa bagian yang terpusat pada bagian tengahnya yang terkena noda darah. Aku mengangkat tangan kananku sendiri yang sudah mengepal begitu saja dan terluka di ruas terbawah tiap jarinya.

      “Apa… apa yang…”

      Aku termangu, menatap kosong pada banyak bayangan diriku yang tampak di pecahan kaca di hadapanku. Aku benar – benar tak sadar akan apa yang telah aku lakukan. Dan yang bisa aku sadari sekarang adalah air mataku yang menderas alirannya. Lantas aku menampar diriku sendiri dengan tangan kiriku berkali – kali.

      Aku hanya mencoba untuk mendapatkan kesadaranku kembali.

      “Haah… sakit…” ucapku kemudian setelah terduduk di lantai kamarku. Pandanganku masih kosong, namun aku sudah sadar akan apa yang telah aku lakukan, aku hanya tidak tahu kenapa aku melakukannya.

      Sekali lagi aku membuka kotak pertolongan pertama pada kecelakaan, mengambil kapas, obat luka, perban serta plester gulung yang ada di dalamnya. Kemudian aku mengambil serpihan kaca yang masih menempel di tangan kananku dan membersihkan lukanya dengan air. Setelah itu aku memberinya obat luka dan membalutnya cepat dengan kain perban.

      Tanganku secara mengejutkannya ternyata sudah hapal semua gerakan penanganan luka ini. Sepertinya hati dan kepalaku saja yang tidak tahu bagaimana cara untuk mengatasi seluruh luka lainnya.

      Setelah lukanya selesai aku tangani, aku kembali berpikir tentang semuanya. Dan lagi – lagi, air mataku jatuh, aku menggigit bibirku sendiri karena gugup dan cemas.

       Seketika aku merasa tertekan, jadi aku keluarkan saja seluruhnya dengan raungan serakku. Air mataku masih berjatuhan, aku berteriak sekuat mungkin, membungkus seluruh tubuhku dalam selindung yang semu hingga semuanya terasa seakan mengurung jiwaku.


      Aku tidak tahu akan sejauh apa lagi penderitaanku ini berlangsung. Aku tidak punya pikiran kalau sesuatu yang baik selain nilaiku akan terjadi tahun ini, atau bahkan sekedar di bulan ini.

      Entahlah, rasanya pikiran dan hatiku berkecamuk sendiri.

      Semuanya sekarang berisik.

      Termasuk detak jantung dan helaan napasku sendiri.

      Sialan.

FORGETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang