BAB V • CINTA, KATANYA ❨2❩

0 0 0
                                    

      Jika kupikir lagi, perkataanku kepada Kevin tadi tidak keliru, aku memang benar – benar tidak tahu bagaimana definisi dari suka ataupun cinta itu. Mungkin karena aku tidak pernah punya orang dekat lagi sejak tujuh atau delapan tahun lalu. Ya aku akui kalau Mama memang masih ada disisiku, tapi perasaan mendalam itu tak begitu kentara di tiap hariku yang cenderung datar dan beberapa kali diselingi oleh suram.

      Disamping itu, aku juga takut kalau – kalau nantinya perasaan itu bisa berubah jadi kekacauan tak terelakkan layaknya yang Mama dan mantan suaminya alami dulu. Aku tidak ingin hal itu terjadi di kehidupanku sendiri, aku tidak ingin diriku jadi sosok Mama yang kedua.

      Ngomong – ngomong, sekarang masih jam tiga sore, aku tidak punya tugas atau hal apapun untuk dilakukan, jadi aku memilih untuk tidur di ranjangku setelah mengganti seragamku dengan kaus oblong yang membuat tubuhku jadi merasa sejuk.


      “Bunganya cantik, ya? Coba buat jadi mahkota, Nia. Mama kumpulkan dulu beberapa ya,” ujar Mama yang masih mengenakan baju kerjanya. Aku yang memakai kaus putih dan celana pendek hanya berdiri keheranan. Aku tidak sadar kalau Mama sudah pulang, tetapi yang paling membingungkan itu, kenapa kami ada di taman?

      Aku berusaha mengikuti alur yang Mama inginkan, bunga yang sudah Mama kumpulkan aku rangkai menjadi mahkota sederhana bermodalkan kemampuan kriyaku yang lumayan bagus. Setelah selesai, aku mencoba memasangnya di atas kepalaku, tapi ternyata ukurannya terlalu besar. Aku pun menaruhnya dengan hati – hati di atas kepala Mama yang ternyata pas dan cocok dengannya.

      “Cantik,” aku spontan memuji perempuan dewasa di hadapanku ini.

      Aku memandangnya lamat lamat, kerutan di wajahnya ternyata mulai terlihat kasar. Bekas lukanya yang tumpang tindih ternyata masih ada. Aku jadi sadar kalau ternyata aku masih menghargainya terlepas dari apapun perlakuan dan perkataan kasar yang sudah ia beri padaku dari dulu.

      Namun senyumku seketika hilang, aku cemas tak karuan ketika ia tiba – tiba berubah menjadi dandelion halus yang seenaknya dibawa terbang oleh angin yang terasa sejuk. Meninggalkan mahkota bunga yang pelan pelan terbuka tiap ikatannya dengan sendirinya.

      “Hah… Apa – apaan?! Mama!”

      Aku seketika kalut, tak bisa berpikir dengan baik.

      Aku berusaha sekuat tenagaku meraih dan mengumpulkan biji – biji dandelion yang menempel pada serat putih nan melayang itu, aku menggenggam yang sudah aku dapatkan dengan sekuat tenaga. Aku tidak peduli akan kakiku yang mulai lecet karena rerumputan berduri, aku juga tidak menghiraukan wajahku yang sudah basah karena air mataku sendiri.

      Bahkan sekarang kaus putihku tidak putih lagi.

      Aku terjatuh berkali – kali,

      Aku meraung berkali – kali,

      Aku memanggilnya sekuat yang suaraku bisa,

      Berulang kali.

      Kini aku meringkuk turun, bersimpuh dan memeluk kedua tanganku seerat yang aku bisa. Aku tidak mau biji dandelion ini terbang lagi, aku tidak mau kehilangan satu biji pun meski ia kecil dan tak bisa apa – apa.

      Aku tidak pernah mau kehilangan Mama.


      Bzzt… bzzt…

      Aku membuka mataku, dan ternyata semuanya hanya mimpi. Tetapi air mataku nyatanya benar – benar membasahi wajahku. Napasku tersengal tak beraturan. Aku mengambil posisi duduk dan bertopang pada kedua tanganku yang mencengkram erat alas kasurku.

      “Mimpi… itu hanya mimpi…”

      Diam – diam aku bersyukur karena Mama tidak benar – benar menghilang. Aku mengusap wajahku kasar dan berusaha mengatur irama napasku yang masih berantakan.

      Bzzt… bzzt

      Getaran dari telepon pintarku membuatku melihat ke sisi kanan. Di atas nakas kecil, layar sentuh dengan latar hitam itu menampilkan nomor telepon tak dikenal berwarna putih dengan pilihan ‘terima’ dan ‘tolak’ pada sisi bawahnya yang berwarna merah hijau. Aku pun mendeham dan berusaha membersihkan wajahku, menghapus air mataku, kemudian menekan pilihan ‘terima’ dan mendekatkan benda tipis itu ke telinga kananku.

FORGETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang