BAB II • PREDIKSI ❨1❩

4 1 0
                                    

     Orang - orang bilang waktu itu akan terasa singkat bila tak dinikmati, dan aku rasa hal itu benar. Karena aku tidak pernah begitu menikmati tahun - tahun di hidupku, kini seragam putih merahku sudah beralih posisi ke gudang dan sekarang aku tengah memandangi diriku yang mengenakan kemeja putih lengan pendek dan rok biru tua selutut lipit depan, dan wajah yang makin hari terlihat makin sendu, juga kacamata bulat berbingkai tipis yang bertengger di muka sembabku. Dan rambutku pun kini sudah berubah pendek-potongan tak rapi yang menyentuh bahuku-aku sepertinya tidak se-termotivasi itu lagi untuk membiarkan rambutku tumbuh panjang, karena yang ada rambut panjang itu malah merepotkan. Cermin kamarku pun sepertinya sudah lelah melihat parasku walau ini baru hari ke-382 aku menggunakannya, yah itu bukan waktu yang sebentar sih.

     Kami tidak tinggal di rumah tingkat tiga itu lagi, kini aku dan Mama tinggal berdua di rumah kecil yang lumayan nyaman ini. Sementara Papa pergi entah kemana bersama selingkuhannya. Dan ya, Papa ternyata memang setega itu, bukan hanya menyakiti fisik Mama ataupun berkata sekasar mungkin yang dia bisa, lelaki itu juga dengan mudahnya meninggalkan Mama hanya karena seorang perempuan-yang bisa kubilang-pelacur rendahan yang ia temui di kelab malam, tempat para pecundang penolak cara kerja dunia berkumpul.

     Mungkin jaraknya terasa terlalu jauh, jadi kalian sepertinya perlu tahu apa yang terjadi sebelum ini, bukan?

***

     Sekarang sudah bulan Maret, angin sisa hujan kemarin masih berhembus menggugurkan daun - daun dari pohon di puncak kepalaku. Seperti biasa, pagi hari ini aku berjalan ke halte bus sendirian setelah sarapan sendiri di rumah dan mendapat oleh - oleh tamparan dari Papa sebelum ia pergi entah kemana.

     Ngomong - ngomong, sekarang Sania yang satu ini sudah naik tingkat ke kelas lima sekolah dasar, tapi yah tetap saja, orang - orang masih memanggilku 'adik' dan Mama pun belum membelikan seragam baru buatku. Teman - temanku pun juga masih sama, karena sekolah kami punya sistem untuk tidak mengubah anggota kelas mulai dari kelas empat hingga ke kelas enam nanti. Tapi wali kelas kami ditukar, sekarang pak Abdi lah yang menjadi wali kelas kami, beliau juga guru yang baik dan berwibawa, membuat kami ingin menaruh hormat besar padanya meski sebelumnya kami belum pernah diajar olehnya.

     Keluargaku? Tidak, bertukarnya bulan dan tahun tidak akan mengubah apa - apa, mereka malah memperparah keadaan. Kami tetap tinggal di rumah yang dulu sepenuhnya milik Papa ini meski sekarang label penyitaan sudah mulai ditempel di dinding - dindingnya, yang artinya kami harus segera mencari rumah baru entah bagaimana caranya. Aku tidak peduli entah Mama dan Papa akan berhutang sana sini entah mereka akan kabur dari penyita rumah kami itu entah aku akan ditinggalkan begitu saja, aku tidak sama sekali tahu apa yang akan dilakukan oleh kedua orang tuaku itu.

     Aku tidak lagi menangis jika mereka bertengkar, beradu mulut, maupun saling melempar apapun yang bisa mereka raih, ini semua jadi terlalu wajar buatku, dan aku sekarang bisa beranggapan bahwa akal sehatku tak lagi sesehat itu karena aku telah perlahan menormalkan apapun pecah belah kehidupan yang dibuat oleh orang tuaku. Dunia kami bertiga sudah kelewat hancur, melakukan apapun tidak akan memperbaiki satupun dari serpihan yang telah terlanjur hilang entah kemana.

    Duk!

     Aduh, hampir saja aku jatuh tersungkur, untungnya aku hanya tersandung oleh batu trotoar yang sedikit mencuat ini. Sepertinya lamunan kehancuran ini bisa saja membawaku kepada kesialan berikutnya, jadi kurasa lebih baik bagiku untuk memperhatikan sekitar dan berjalan delapan puluh meter lagi ke halte bus yang sudah nampak di depan mataku meski pandanganku buram-aku rasa aku membutuhkan kacamata.

FORGETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang