BAB I • BOCAH KECIL ❨2❩

5 0 0
                                    

     Aku membuka mataku, kemudian mengernyit heran.

     Ngghh… kenapa aku ada di atas kasur?

     Aku kemudian menarik selimutku, membalikkan badan ke sebelah kiri, kemudian menutup mataku lagi. Pelan – pelan kelam di muka mataku berubah jadi semburat warna warna pudar yang tak beraturan, tapi kemudian warna warna itu hilang dan kembali diganti oleh hitam legam—kesadaranku kembali, aku tak jadi terjatuh ke alam mimpi.

     “Nia, bangun! Kau harus sekolah,” ujar Mama yang sudah berada di sisi ranjangku.

     Setelah aku membuka penuh kedua mataku sambil mengusap – usapnya, aku menyadari ada memar di tangan Mama dan beberapa goresan di wajah serta atas dadanya, ditambah lagi lecet yang lumayan parah di pergelangan tangan kanannya yang berusaha ia sembunyikan. Mama jelas tidak baik – baik saja. Aku lalu duduk, kembali mengusap – usap mukaku, lalu menoleh kepada wajah sayu Mama.

     “Aku tidak mau pergi sekolah...” ujarku singkat, sedikit khawatir soal Mama.

     “Kamu jangan buat Mama makin marah padamu, ya. Cepat bersiap – siap!!” balas Mama dengan suara yang makin tinggi, tapi sedikit serak.

     Hatiku masih terasa keras, masih ingin melawan Mama. Aku pun ikut meninggikan suara dan berkata, “Lalu bagaimana dengan Mama dan Papa?? Apa selama aku ada di sekolah Mama dan Papa akan bertengkar lagi seperti kemarin?!” Dasar emosi anak – anak, aku tidak tahu kalau suaraku akan jadi sekeras itu, aku hanya berharap Mama tidak akan memukulku pagi ini.

     Ternyata Mama tidak melihat kepadaku lagi, ia malah menarik selimutku dan melipatnya, lalu kembali berujar dengan nada tinggi dari suaranya yang sudah acap aku dengar.

     “Itu bukan urusanmu, cepat sana siap – siap!!”

     Aku tahu jika aku masih membantah, Mama akan benar benar menampar wajahku, jadi aku memilih untuk berkata, “Baik…” dan turun dari ranjangku, kemudian mengambil handukku dan segera masuk ke kamar mandi.

     Seragam putih merahku sudah aku kenakan, begitu juga dengan dasinya. Masih dua tahun lagi aku akan memakai seragam ini, tapi aku tak yakin apa dalam dua tahun itu kumpulan tiga manusia yang disebut keluarga oleh orang lain ini masih akan bertahan atau tidak. Aku sudah sering memikirkan kemungkinan terburuk dari pertengkaran rutin Mama dan Papa; perceraian. Dan aku sendiri sudah berpikir bahwa aku akan mengikuti siapa, ya jelas saja Mama. Anak gila mana yang mau ikut hidup dengan Papanya yang terus terusan menyakiti wanita yang melahirkannya.

     Bukannya aku berharap mereka berpisah— hmm yah, tidak juga. Nyatanya aku setengah berharap Mama akan jadi jauh dengan Papa dan berhenti beradu mulut. Nyatanya bocah sepertiku benar benar mengharapkan Papa pergi dari kehidupan aku dan Mama. Nyatanya aku benar benar berpikir bahwa keluarga ini akan aman aman saja jika tidak ada lelaki bodoh seperti Papa di dalamnya. Lucu ya? Hahah.

***

     Pecah dari lamunanku didepan cermin, aku bergegas ke dapur dan sekarang aku sedang memasak telur dadar untuk sarapanku. Aku tidak tahu kenapa Mama tidak memasak pagi ini, tapi mungkin dia terlalu lelah karena kehebohan tak berarah semalam. Dan karena aku terbilang lumayan tinggi untuk anak – anak seumuranku, aku bisa mencapai meja dapur dan memasak dengan leluasa tanpa khawatir akan kecipratan minyak panas atau apapun itu.

     Selesai memasak, aku duduk di kursi meja makan dan menikmati sarapanku sendiri. Kursi – kursi kosong di sekeliling meja makan ini bahkan kadang terlihat lebih damai dibanding rumah ini sendiri. Sebagai bocah SD yang masih butuh kasih sayang, aku memang masih ingin Mama dan Papa akur, tapi jika dunia inginnya kami begini, aku tak bisa apa apa lagi bukan?

FORGETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang