2

166 31 2
                                    

Yoga terbangun dengan kondisi tubuh yang berkeringat, namun itulah yang membuat fisiknya terasa jauh lebih ringan. Suhu tubuhnya juga sudah mulai menurun akibat ... tunggu sebentar. Pandangannya sedikit linglung saat melihat sisi ranjangnya yang kosong.

Tersadar dengan ketiadaan sang istri, pria itu beranjak dari ranjang dengan gerakan tergesa; tidak peduli dengan rasa pusing yang kembali menyerang kepala.

Pandangannya mengedar ke penjuru ruangan dengan langkah yang tak memiliki tuju, sebab isi kepalanya hanya memberikan perintah untuk menemukan sosok tersebut.

Hingga perilaku anehnya itu ditonton oleh sang anak; secara tidak sengaja.

"IH PAPA KAYAK TUYUL! MASA CUMA PAKE SEMPAK DOANG?!"

Yoga terkesiap, tidak sadar bila sang putri sedang bermain blok di ruang tengah dan kali ini menatapnya penuh keheranan. Pun Hana yang berada di dapur pun langsung beralih untuk melihat kondisi Liana yang baru saja berteriak.

"Astaga, Mas!"

Yoga kembali tersentak bercampur rasa lega sebab mengetahui bila Hana memang masih berada dalam jangkauannya; yang memberinya pecutan keras bahwa segala hal buruk mengenai kepergian Hana hanyalah sebatas mimpi.

"Masuk ke kamar, Mas! Nggak malu dilihat anak?"

Geraman Hana membuat pria itu kembali ke alam kenyataan, sebab sejak tadi matanya hanya terpaku untuk melihat sang istri. Melihat Yoga yang masih tampak mengawang dengan dunianya sendiri, Hana pun langsung menarik pria itu untuk kembali masuk ke kamar.

"Paling nggak sarungan, kek. Kalau Mbak Asih ngelihat gimana?" omel Hana dengan tautan alis yang menampakkan kekesalan di wajahnya.

"Mbak Asih ... masih kerja di sini?" tanya pria itu; kembali memastikan satu hal.

Hana kembali diserang keheranan. "Kamu kenapa sih, Mas? Kepalamu habis kebentur apa gimana?"

Tiba-tiba saja Yoga tersenyum lebar hingga hanya garis matanya saja yang terlihat, membuat Hana bergidik ngeri.

Kepergian Hana dari kehidupannya ternyata hanyalah mimpi buruk semata. Tuhan telah memecut Yoga untuk membuat wanita itu tetap berada di sisinya, dan dirinya tidak ingin membuat kesalahan yang sama; untuk kali kedua.

***

Dan di sinilah dirinya berada; di toko bunga yang sama di mana pria itu selalu berkunjung setiap tahunnya.

"Anyelir merah muda 19 batang 'kan, Mas?"

Yoga terdiam sejenak. Pria itu bukan merasa takjub pada florist yang nyatanya sangat hapal sekali dengan pesanannya tersebut saat dirinya berkunjung ke toko bunga ini. Ucapan sang florist justru menamparnya; menyadari bahwa selama ini dirinya memang tidak pernah memberikan bunga untuk Hana.

Pria itu pun menggeleng pelan. "Nggak kok, Mbak."

"Lho? Tumben, Mas?"

Yoga merasa tidak perlu menjelaskan mengapa dirinya tak membeli bunga yang seperti biasa dirinya pesan.

"Sebenernya saya juga bingung mau beli bunga apa. Ada rekomendasi?"

"Kalau boleh tau, bunganya mau dikasih siapa ya, Mas? Atau mungkin ada event tertentu?" tanya sang florist.

"Buat istri saya," Yoga pun menjeda sejenak, "Nggak ada event tertentu, sih. Cuma ... is there any flower that symbolize new beginning?" cicitnya pelan.

"Tentu ada, Mas," jawab florist tersebut. "Mau bunga daffodil, Mas?"

Tanpa perlu berpikir panjang, Yoga pun mengangguk sembari mengulas senyum tipis. Pasti Hana akan menyukainya. Lagi pula, wanita mana yang tak menyukai bunga?

***

Sesampainya di rumah, Yoga justru bingung sendiri. Pasalnya, dia tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk memberikan bunga tersebut pada sang istri. Apa perlu sekaligus diberikan kejutan? Atau langsung diberikan begitu saja seakan tidak terjadi apa-apa?

"Ih Ayah bawa bunga?!"

Yoga langsung menaruh telunjuk di bibir sambil berdesis, menyuruh sang anak untuk diam. "Jangan berisik. Mama di mana?"

"Mama di dapur ..." jawab Liana dengan nada pelan. "Itu untuk Mama ya, Yah?"

Pria itu mengangguk sembari mengelus puncak kepala Liana. "Dah kamu main lagi. Ayah mau ke Mama dulu."

Yoga beralih menuju dapur, berusaha menyembunyikan bunga di balik punggungnya. Tapi toh percuma saja, Hana juga sedang memunggunginya; berkutat dengan masakan untuk makan malam ini.

"Kamu masak apa?" tanya Yoga berbasa-basi. Hal itu tak membuat sang wanita tersentak karena kedatangan Yoga yang tiba-tiba itu. Bahkan Hana masih menyibukkan diri dengan masakannya.

"Tempe orek," jawab Hana dengan nada datar, membuat nyali Yoga tiba-tiba menciut. Pasalnya, Hana tampak sedang tidak ingin didekati. 

Sedang di masa merah, kah? pikirnya.

Tidak, tidak. Berikan saja sekarang, barangkali mood Hana akan naik setelah dirinya memberikan bunga tersebut.

"Hana," panggil sang suami. Namun wanita itu hanya berdeham. "Ini."

"Apa, Mas?"

"Nengok dulu ke belakang," pinta pria itu.

Tiba-tiba saja Hana bersin sebanyak tiga kali. Barulah dirinya membalikkan tubuh untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh suaminya tersebut. Namun, bukannya mendapatkan raut kebahagiaan, wajah wanita itu menunjukkan kening yang berkerut; merasa sanksi dengan benda yang berada di tangan sang suami.

"Apa?" tanya Hana dengan nada kebingungan.

"Ini buat kamu," balas Yoga sembari menyodorkan bunga tersebut ke arah sang istri. Namun yang dirinya dapati yaitu Hana yang kembali bersin sebanyak tiga kali.

"Maaf, maaf," ucap Hana tanpa arti. "Ada acara apa ngasih aku bunga?"

Hana masih tidak menerima pemberian dari Yoga, membiarkan tangan pria itu mengambang di udara sembari memegangi buket bunga tersebut.

"Nggak ada ..." jawab Yoga yang juga bingung dengan perilakunya hari ini.

Lagi dan lagi Hana bersin, dan kali ini wanita tersebut yang menjauhkan diri. Yoga yang melihat itu pun merasa aneh. Padahal, wangi dari tempe orek yang dimasak sang istri tidak menyengat, dia juga tidak sedang memasak sambal yang bisa membuat hidung menjadi gatal. Lalu, apa penyebabnya?

"Maaf aku nggak bisa terima bunganya. Aku alergi serbuk bunga."

Ah, you know nothing, Yoga.

Yoga terdiam sejenak. Tangannya yang memegang bunga terempas perlahan. Bahkan dirinya kembali menyembunyikan bunga tersebut ke belakang punggung; menjauhkannya untuk membuat alergi Hana tak semakin memburuk.

"Maaf, aku nggak tau," ucapnya pelan. Hana kembali berdeham sebagai jawabannya. "Kenapa kamu nggak pernah bilang?"

Kali ini Hana yang terdiam. Sejujurnya dia bingung dengan perilaku suaminya tersebut. Perubahannya terasa begitu kilat, dan juga aneh.

"Kamu nggak pernah nanya," jawab wanita itu. "Nggak pernah peduli juga, 'kan?"

Ah, kebenaran itu nyatanya menusuk relung hatinya.

***

Jikalau [✔]Where stories live. Discover now