"Tapi, untuk apa?"
Yoga tidak mengatakan apa pun, namun sorot matanya terus saja menerjang netra keheranan milik sang istri.
"Mau coba lihat-lihat dulu ke dalam?"
Hana memilih untuk menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang terus saja muncul di otaknya. Pada akhirnya, wanita itu memasukkan kunci dan membuka pintu utama. Tanpa suruhan Yoga, Hana melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah tersebut.
Beberapa furnitur sudah mengisi ruangan, kendati terdapat kain putih di atasnya untuk menghindari debu. Namun selebihnya masih banyak ruangan yang kosong.
"Jadi, ini maksudnya apa?"
Hana merotasikan tubuh; membuatnya berhadapan langsung dengan Yoga yang nyatanya sejak tadi tengah membuntutinya berjalan ke ruang tengah.
"Maaf aku nggak pernah ngomong ke kamu tentang rumah ini. Tadinya, aku mau kasih kejutan ke kamu, karena aku tahu kamu merasa kurang nyaman di rumah kita yang lama. Tapi nyatanya, malah kamu yang kasih aku kejutan dengan gugatan cerai itu."
Maksud dari 'rumah kita yang lama' adalah rumah yang masih mereka tempati saat ini; yang merupakan tempat tinggal utama Yoga dengan mendiang istrinya.
Hana tidak pernah mengatakan bahwa dirinya tidak nyaman saat menghuni rumah tersebut. Dirinya hanya menyimpan kegelisahan dalam diam, sebab di setiap sudut rumah tersebut memiliki kenangan mendiang istri dari suaminya tersebut.
Kenyataannya, Yoga dapat membaca ketidaknyamanan tersebut dari bahasa tubuh sang istri. Kendati pada akhirnya dia memperlihatkan sikap tak acuh, diam-diam Yoga kembali membangun rumah lain untuk dapat diisi kenangan baru dengan istrinya saat ini.
Tetapi, mungkin sebentar lagi akan terasa sia-sia, ya?
Dulu, Hana memang pernah berharap bisa memulai kehidupan yang baru bersama Yoga; perlahan meninggalkan jejak kenangan mendiang istri dari suaminya tersebut.
Namun keinginannya tersebut harus terkubur dalam; mematuhi perintah mertua untuk tidak mencari rumah baru dengan menetap di hunian yang masih memiliki memori pekat dari Lina.
Dan sekarang impiannya justru terwujud.
Tetapi, kenapa baru sekarang?
Kenapa harus di saat dirinya sudah tak lagi memiliki harapan untuk terus bersama?
Kenapa harus di saat dirinya sudah berada di titik batas kelemahannya?
"Hana."
Yoga melangkah maju. Wanita itu dibuat terkejut saat tiba-tiba saja Yoga berlutut di hadapannya. Dengan gerakan panik, Hana membungkukkan tubuh dan meraih lengan pria itu agar segera terbangun.
"Mas! Apaan sih?"
Pria itu sengaja mengeraskan tubuhnya, membiarkan posisinya tetap berlutut sehingga tenaga yang dikeluarkan Hana untuk membuat pria itu kembali berdiri tentu saja sia-sia.
Mau tak mau Hana pun turut berlutut, menyejajarkan posisinya dengan Yoga. Dia hanya merasa perlakuan Yoga tidaklah pantas. Pria itu masih berstatus suaminya; di mana Hana masih menjunjung tinggi kehormatan pada pria tersebut.
"Tolong, Han, aku nggak mau cerai dari kamu," pria itu berucap dengan posisi kepala menunduk, berkali-kali menggeleng sebagai tanda penolakan. "Liana memang butuh kamu, Han. Tapi ..." Yoga menjeda sejenak, kembali sedikit mengangkat kepalanya untuk menangkap netra milik sang istri. "Aku yang paling butuh kamu, Han."
Yoga meraih tangan Hana, menggenggamnya begitu erat. Hana tidak membalas, tidak juga melepas. Namun itu sudah lebih baik dibanding tangannya ditangkas begitu saja.
YOU ARE READING
Jikalau [✔]
Short StoryApa yang akan kamu lakukan jika diberi kesempatan? [Sekuel dari Kali Kedua]