1

226 34 1
                                    

Yoga membuka kelopak mata dengan gerakan perlahan. Rasanya begitu berat, bahkan seluruh tubuhnya terasa remuk bak samsak yang telah dihajar berkali-kali oleh petinju. Belum lagi kepalanya yang terasa berputar-putar, padahal pria itu sadar bahwa dirinya masih berada di ranjang; belum melakukan aktivitas apa pun hingga dapat menyebabkan tubuhnya bereaksi seperti ini.

Dadanya ikut bergemuruh, mengikuti irama napas pendek yang begitu cepat. Setelahnya, pria itu menoleh ke arah samping; yang nyatanya Yoga dapati hanyalah kekosongan.

Sial.

Itu semua bukan mimpi, melainkan kenyataan yang terbawa dalam mimpi.

Kelopaknya kembali terpejam, merintih pilu dalam diam. Rasanya begitu melelahkan; juga menyakitkan. Barangkali untuk sekadar menurunkan kakinya menuju lantai yang dingin saja dirinya tak mampu.

Sesaat kemudian, Yoga dapat mendengar pintu ruangan yang terbuka. Satu-satunya orang yang dapat dirinya terka sedang masuk ke kamarnya ini adalah sang anak.

Namun, Yoga tak mendengar sapaan atau bahkan rengekan pagi sang anak. Di luar dugaan pria itu, benda basah dan hangat menghampiri keningnya; membuat Yoga membuka kelopak mata dengan gerakan cepat.

"Udah bangun dari tadi?"

Yoga membisu, bibirnya terkunci rapat. Bahkan dirinya tidak bisa membedakan apakah ini kenyataan atau halusinasi semata dibalik rasa pusingnya yang menusuk kepala.

"Mau aku anterin ke klinik?"

Ini kenyataan, kenyataan, kenyataan, batinnya mengulang; berusaha menyenangkan diri sendiri.

Namun Yoga mencoba untuk kembali meyakinkan diri bahwa sosok yang berada di sampingnya itu memanglah kenyataan.

Dengan gerakan perlahan, pria itu membawa tangannya untuk meraih tangan si puan; yang terasa begitu kontras dengan suhu pori-pori kulitnya saat ini.

Mengapa begitu dingin? Atau tangannya yang terlalu hangat?

Atau ... hati wanita itu yang sudah mati rasa hingga kehangatan tak lagi mengaliri dirinya?

"Mas."

Hana menggoyangkan tangannya, berusaha mengembalikan kesadaran Yoga yang sejak tadi terlihat selalu mengawang.

"Ke klinik aja, ya? Panasmu tinggi banget."

Hana nyata, wanita itu memang ada di sampingnya; masih mau berbicara dengannya.

Jadi, ternyata segala yang pernah dirinya lewati hanyalah mimpi buruk semata? mengapa terasa begitu panjang dan juga melelahkan?

Yoga menggeleng lemah, namun kekuatan tangannya justru berbanding terbalik; berusaha menggenggam erat tangan yang masih terasa begitu dingin itu.

"Aku mau di rumah, temenin aku," balasnya dengan nada serak. Ternyata tubuh lemahnya itu juga berefek pada pita suaranya.

Hana mengerutkan kening, merasa bahwa pilihan Yoga untuk tetap di rumah tidaklah tepat.

"Kita nggak ada stok obat. Gimana caranya kamu bisa cepet sembuh, Mas?"

Pria itu kembali terdiam. Yoga tahu bahwa batinnya yang bersuara tidak akan pernah didengar oleh sang wanita. Hingga dengan memecut keberanian, pria itu menjawab, "Aku nggak butuh obat, aku cuma butuh kamu."

Pada akhirnya, seorang Yoga mengatakan hal roman picisan yang bahkan terlalu sulit untuk keluar dari mulutnya itu. Bahkan leher Hana terasa meremang saat mendengar kalimat tersebut.

Mungkin demam tinggi dapat menyebabkan kerusakan otak, batinnya.

Hana mendengus pelan, merasa risi dengan tangan yang terus menggenggamnya itu.

"Aku mau beli paracetamol dulu," ucapnya sembari mencoba melepaskan genggaman tangan Yoga, namun pria itu tidak mengindahkan keinginan Hana.

"Just do the basic things."

"Ya makanya ini mau dibeli dulu obatnya," kekeuh wanita itu.

"Hug me, Hana, it's the basic one that I need."

Mungkin Yoga sedang tidak waras dan Hana juga sudah malas untuk berdebat. Pada akhirnya, wanita itu mengikuti kemauan sang suami; menyibak selimut dan ikut masuk ke dalamnya.

Lagi pula, mereka pasangan suami istri, 'kan? Mengapa harus merasa ragu saat melakukannya?

"Bantu lepasin baju aku."

Hana tidak protes. Wanita itu langsung membantu Yoga untuk melepaskan pakaiannya, kendati di dalam otaknya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya bingung dengan sikap sang suami.

"Kamu juga," perintah Yoga lagi.

Wanita itu tahu dengan aturan dalam menurunkan panas lewat pelukan. Hanya saja, entah kenapa dirinya merasa ragu untuk melepas baju di hadapan suaminya tersebut. Padahal, mereka juga sudah biasa melakukannya.

Maka dari itu, Hana sedikit membelakangi sang suami, barulah melepas baju dan menyisakan pakaian dalamnya yang melekat di tubuh.

Wanita itu masih tidak mengeluarkan suara saat kulit tubuhnya sudah melekat erat untuk mengonduktorkan hawa panas dari pori-pori kulit Yoga. Wajahnya yang berada di dekat leher pria itu pun juga dapat merasakan hawa yang hangat.

"Salah posisi, Hana. Kamu naik sedikit."

Hana bingung, dia hanya melonggarkan lengannya dari pinggang Yoga. Pria itu pun yang mulai bergerak sendiri; sedikit turun dengan memosisikan kepalanya berada di dada sang istri, lalu membawa tangan wanita itu untuk memeluk lehernya. Sedangkan Yoga merapatkan diri dengan memeluk pinggang sang wanita.

"Han-"

"Jangan banyak ngomong, Mas. Kamu butuh istirahat."

Tidak, Yoga terdiam bukan karena Hana yang memerintahnya untuk berhenti bicara, namun karena telinganya tak mendengar gemuruh debaran jantung sang istri; terkesan biasa seakan kegiatan mereka kali ini tak memberikan efek apa pun untuk memecut percepatan detak jantung wanita tersebut.

***

Jikalau [✔]Where stories live. Discover now