Setelah makan malam tadi, Hana memilih untuk beranjak bersama Liana; menemani anak itu hingga tertidur pulas. Sedangkan Yoga kini sudah berada di dalam ruang kamar, ditemani kesunyian saat menunggu istrinya untuk tertidur di sisi.
Pintu kamar terbuka, membuat pria itu menoleh dan mendapati sang istri masuk ke dalam ruangan. Hana tidak mengatakan apa pun. Wanita itu berjalan di sisi ranjang yang kosong dan merebahkan tubuhnya di sana. Bahkan Hana langsung memunggungi pria itu setelah memasukkan tubuhnya ke dalam selimut.
Suasana justru semakin sunyi saat Hana sudah berada di sisinya. Ya memangnya dia harus mengatakan apa? Toh hal ini sudah menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari menjelang tidur.
Ah, tapi dirinya penasaran akan satu hal.
"Tadi kamu ke makam Mbak Lina lagi, Mas?" tanya Hana, masih dalam posisi memunggungi Yoga.
Yoga menoleh, menatap ke arah punggung sang istri yang terasa seperti tembok dingin di matanya.
"Nggak," jawabnya singkat. Tak mengerti juga mengapa Hana menanyakan hal tersebut.
Hana pun ber-oh ria. "Kirain. Biasanya juga beliin buat Mbak Lina, tapi 'kan anniversary kalian udah lewat kemarin," balas wanita itu dengan nada datar.
Yoga hendak menyangga, namun bibirnya terasa kelu. Untuk menyebut alasannya saja dia tidak bisa, sebab dirinya tahu; segala yang pria itu lontarkan akan menjadi bumerang untuk diri sendiri sebagai akibat dari perbuatannya selama ini.
***
Yoga dapat merasakan sarkasme yang akhir-akhir ini sering keluar dari mulut sang istri. Perubahannya justru membuat Yoga takut untuk semakin mendekat. Yah, mungkin juga perubahan dari sikap Yoga membuat Hana merasa aneh dan juga risi.
"Permisi!"
Suara seorang pria dari luar rumah membuatnya membuyarkan lamunan. Yoga pun langsung beranjak menuju pintu utama, menghampiri seorang petugas yang tampaknya ingin memberikan paket.
"Permisi, dengan Bapak Yoga Pratama?"
Yoga pun mengernyit. Pasalnya, dia tidak merasa memesan sesuatu. Namun pria beranak satu itu hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Ini ada kiriman surat dari pengadilan ya, Pak."
Mendengar hal tersebut membuat jantung Yoga terasa merosot menuju rongga perutnya.
Tidak. Tidak mungkin. Semuanya hanya mimpi, 'kan? Tetapi .... mengapa hal ini justru menjadi dejavu baginya?
"Bapak nggak salah alamat?" Yoga berusaha memastikan bahwa pengirim paket itu memang salah hingga dirinya masih belum mau menerima paket tersebut.
"Ini dengan Bapak Yoga Pratama, 'kan? Rumah jalan Pegangsaan Timur nomor empat?"
Bahkan dengan detail pengirim paket itu menyebutkan nama beserta alamat rumahnya.
Ya, memang tidak salah, tapi hatinya yang bergejolak untuk berusaha menolak.
Setelah menerima surat tersebut, Yoga masuk ke dalam dengan perasaan hampa. Dejavu ini terasa begitu menyakitkan. Apalagi saat melihat sang anak yang sibuk bermain ditemani asisten rumah tangganya.
"Mbak Asih," panggil pria tersebut, "bisa minta tolong ajak main Liana ke komplek depan? Baliknya agak siangan aja, ya."
Tanpa perlu bertanya, Asih pun membawa Liana untuk bermain di luar. Dari nada perintahnya saja sudah bisa membuat pengasuh tersebut tak berkutik apalagi sekadar bertanya.
Setelah Liana dan Asih keluar dari rumah, Yoga pun membuka amplop tersebut dan membaca sekilas. Di sana tertulis nama pria itu sebagai tergugat, dan istrinya sebagai penggugat. Bahkan Yoga tidak perlu berpikir dua kali apa maksud dan tujuan dari surat ini.
Yoga menghela napas sejenak, berusaha mengontrol emosinya. Barulah pria itu beranjak menuju lantai dua; di mana sang istri berada. Yoga melangkah menuju kamar, mendapati Hana sedang merapikan pakaian dan memasukkannya ke dalam lemari.
"Maksud kamu apa?" tuntut pria itu sembari menyodorkan kertas yang berada di tangannya.
Hana tersentak dan menoleh. Pasalnya, Yoga berbicara dengan nada yang cukup garang.
"Surat panggilan dari pengadilan buat Mas. Udah dibaca?" Wanita itu berusaha membalas dengan tenang. Dia sendiri tidak tahu kalau surat gugatan akan sampai hari ini, apalagi yang menerima adalah suaminya sendiri.
Padahal, jika surat itu sudah sampai, Hana akan berusaha menyembunyikannya agar Yoga tidak datang ke pengadilan dan membuat keduanya harus menjalani mediasi.
"Tiba-tiba?" tanya pria itu dengan nada sanksi.
Hana pun menggeleng pelan. "Itu bukan spontanitas, Mas. Aku bahkan perlu mikir beribu-ribu kali sampai aku berani datang ke pengadilan agama sendirian," jawabnya sedatar mungkin.
Yoga terdiam, menatap lamat sang istri untuk menangkap jawaban dari raut wajahnya yang terpampang begitu piasnya.
Sial. Bahkan hal yang diucapkan Hana sama persis dengan mimpi buruk yang dialami olehnya.
"Kenapa?" Yoga bertanya dengan nadanya yang kali ini terdengar lesu.
"Aku nggak perlu lagi kasih alasannya, 'kan? Kamu yang paling tau jawabannya, Mas."
Tidak, tidak. Ini tidak boleh terjadi. Semua mimpi buruk itu hanyalah mimpi!
"Hana .... kita udah enam tahun nikah dan--"
"Dan mau sampai kapan kamu memperlakukan aku kayak pajangan hidup, Mas?" potong Hana dengan cepat. Dadanya bahkan ikut bergemuruh saat mengatakan hal itu.
"Han," Yoga meremas kertas yang berada dalam genggamannya, sedangkan tangannya yang lain berusaha meraih tangan si puan. Untungnya Hana tidak menolak atau bahkan sekadar menepis. "Ini yang kamu mau?"
Hana pun mengernyitkan dahi, tak mengerti maksud ucapan sang pria. "Surat panggilan dari pengadilan bahkan udah sampai di kamu. Kamu pikir aku cuma bercanda?"
Lidah Yoga terasa kelu. Remasannya pada surat itu pun terlepas, berganti dengan menumpu tangannya agar bisa menggenggam erat tangan si puan.
"Nggak, Han. Aku nggak mau cerai."
Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Yoga, sedangkan Hana pun berdecih saat mendengarnya.
"Apa lagi yang bisa dipertahanin, Mas? Apa?" tuntut wanita itu.
Yoga menjeda sejenak. Dia tidak mau berucap dengan lantang tanpa memikirkan apa efek dari ucapannya tersebut.
"Aku ... aku mau mempertahankan kamu."
***
YOU ARE READING
Jikalau [✔]
Short StoryApa yang akan kamu lakukan jika diberi kesempatan? [Sekuel dari Kali Kedua]