5

146 25 0
                                    

Bagi Hana, tidak ada yang berubah; terutama mengenai keteguhan hatinya. Wanita itu terus saja memikirkan keduanya untuk berakhir. Namun tidak dapat dipungkiri, akhir-akhir ini sang suami justru melimpahkan afeksi yang terlalu berlebihan.

Hana masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana dirinya selalu memunggungi pria itu ketika menjemput lelap di malam hari. Namun, pada saat wanita itu terbangun, dirinya justru berada dalam pelukan sang suami; entah itu dari belakang atau justru saling berhadapan satu sama lain.

"Morning," sapaan bernada rendah masuk ke dalam rungu.

Rasa sesak menyelingkupinya saat menyadari bahwa dirinya kembali berada di pelukan pria itu. Belum sempat kelopak matanya terbuka, wanita itu merasakan kecupan pelan di dahi, kedua mata, hidung, dagu, dan juga ranum yang sengaja menjadi labuhan terakhir dengan durasi detik yang lebih lama.

Entah kenapa Hana merasa benci ketika hatinya berdesir hanya karena perlakuan calon mantan suaminya tersebut.

Tanpa berucap, Hana mendorong dada Yoga untuk melepaskan pelukan pria tersebut. Yoga pun juga tak memaksa, dia melepas begitu saja setelah Hana menyingkirkan lengannya. Kendati begitu, yang bisa dirinya lakukan hanyalah menghela napas penuh kepasrahan saat mengamati punggung sang istri yang menjauh dari pandangannya.

Perubahan terasa begitu jelas.

Punggung itu tak lagi hangat; terkesan dingin dan tak dapat terjangkau.

***

"Kamu mau ke mana?"

Hana membisu, bahkan dirinya tak memiliki niat untuk mengatakan apa pun mengenai kepergiannya kali ini.

Seharusnya pria itu juga sudah tahu bahwa hari ini adalah hari persidangan perceraian mereka. Hanya saja, Hana berharap Yoga lupa sehingga pria itu tidak akan menghadiri persidangan. Jika pihak tergugat datang, proses perceraian pun akan semakin sulit dengan adanya mediasi di antara kedua belah pihak.

"Hana."

Wanita itu tidak menjawab, pun memilih untuk tak menggubris seakan tidak ada orang lain di ruangan ini.

Seketika Yoga mengingat satu hal, yang tentu saja menjadi kekhawatirannya akhir-akhir ini.

"Kamu mau ke pengadilan, Han?" tanya sang suami, sekadar memastikan.

Terdengar nada kecewa dibalik pertanyaannya tersebut. Usaha dirinya dalam memperbaiki keadaan rumah tangga mereka nyatanya tak mampu merobohkan benteng pertahanan sang istri yang sejak awal menginginkan perpisahan darinya.

Hana masih dalam mode membisu, berusaha menutup rapat mulutnya agar energinya tak terbuang sia-sia. Barangkali, dirinya harus memupuk banyak energi untuk dapat menghadapi persidangan hari ini.

"Apa kamu bakalan bahagia kalau pisah dari aku, Han?"

Kali ini Hana diam tak berkutik, seakan dirinya tak memiliki jawaban spontanitas dari pertanyaan tersebut. Seharusnya, dia bisa langsung mengiyakan tanpa ada keraguan, 'kan? Namun, mengapa saat ini lidahnya begitu kelu?

Dan mengapa hatinya terasa ngilu seakan pertanyaan itu penuh dengan hujaman belati?

Yoga mendesah saat menghadapi sang istri yang terus saja membisu. Sepertinya keputusan Hana tidak bisa diganggu gugat. Wanita itu benar-benar menginginkan perpisahan darinya.

"Aku akan antar kamu ke sana," ucap Yoga yang seketika membuat Hana langsung menoleh dan membelalakkan kelopak matanya.

"Mas mau hadir di persidangan?" Terdengar nada protes di dalamnya.

"Aku dapet surat panggilan, otomatis aku harus dateng, 'kan?" balas Yoga dengan vokal retoris. Pun pria itu tak menginginkan jawaban dari sang istri. "Atau kamu mau aku nggak usah dateng? Supaya proses perceraiannya lebih cepat?"

Hana tak langsung menjawab. Kedua bola matanya bergerak gusar saat mendapati sorotan tajam dari sang suami.

"Itu yang kamu mau, Han?" tuntut pria itu sekali lagi.

Seakan membutuhkan waktu, pada akhirnya wanita itu pun menjawab.

"Ya."

Yoga tak serta merta merespons. Tentu saja dari dalam lubuk hati dia tak menginginkan jawaban tersebut. Tapi mau bagaimana lagi jika kebahagiaan sang istri memang tidak lagi ingin menjadi bagian dari kehidupannya?

"Kalau emang itu yang kamu mau, oke. Tapi aku akan tetap antar kamu ke sana," ujar pria itu yang kemudian langsung memutar daksanya dan beranjak pergi, meninggalkan jejak peluru yang tiba-tiba menghantam dada sang wanita.

Kenapa?

Kenapa sekarang mengambil langkah saja terasa begitu berat? Beban apalagi yang dipikul hatinya hingga dia kembali diterpa perasaan ragu di saat Yoga bahkan sudah tampak rela untuk melepasnya?

***

Jikalau [✔]Where stories live. Discover now