Hana terdiam. Tak lama kemudian wanita itu pun terkekeh penuh ejekan. "Lucu kamu, Mas. Nyatanya kamu cuma butuh sosok ibu untuk Liana, 'kan?" tanyanya dengan nada retoris; sekaligus mengempas genggaman tangan Yoga.
"Nggak, Hana," elak pria itu; yang kali ini memegangi kedua lengan Hana, berusaha meyakinkan wanita tersebut dari sorot matanya. "Aku juga butuh kamu."
"Butuh aku buat di ranjang, 'kan?" lirihnya pelan.
Hana tahu dan tersadar bila ucapannya sangat merendahkan dirinya sendiri. Tapi dia tidak peduli. Toh, selama ini dirinya menganggap bahwa Yoga memang hanya membutuhkannya untuk melampiaskan hasrat seksual lelaki tersebut.
Jika hati terbuat dari material kaca, pecahannya melukai tepat pada bagian jantungnya.
Hana sudah hancur sejak lama, dan Yoga sadar bahwa dirinyalah penyebab hal itu terjadi.
"Kamu nggak pikirin Liana?"
Pertanyaan itu kembali mengusik relungnya. Hana pun sudah dapat menduga jika Yoga akan mengungkit hal tersebut, yang membuktikan bahwa Yoga hanya membutuhkan Hana untuk berperan sebagai ibu dari putri satu-satunya itu.
"Liana pasti bakalan ngerti. Dia pun udah tau dan paham aku ini cuma ibu tirinya," Hana mengarahkan jari telunjuk menuju dadanya sendiri. "Bahkan ... Liana mungkin juga punya pikiran bahwa nggak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi ibu kandungnya," wanita itu menjeda sejenak, berupaya menghela napas untuk mengatur emosinya yang terasa begitu meledak di dada. "Sama kayak kamu 'kan, Mas?"
Bukan. Bukan itu yang Yoga maksud. Dia hanya ingin Hana berulang kali kembali berpikir atau kalau perlu membatalkan pengajuan perceraian dengan dalih mementingkan perasaan Liana. Namun kenyataannya jawaban yang pria itu dapati justru mengoyak sudut hatinya.
Yoga baru menyadari bahwa mungkin .... selama ini Hana merasa tidak dicintai.
"Udahlah, Mas," Hana kembali angkat suara sebab Yoga yang terus saja menjelma sebagai patung; hanya menatapnya dengan sorot mata yang kosong. "Aku cuma mau cerai baik-baik. Aku juga nggak akan mengajukan harta gono-gini ke kamu. Aku cuma ...." Kembali terdengar helaan napas yang begitu berat. Saat ini, berbicara pun terasa begitu menyesakkan dada, seakan dirinya tengah berlari maraton tanpa henti. "Aku udah capek, Mas. Itu aja."
Yoga tidak bisa menampik bagaimana sorot kelelahan itu menampar kewarasannya.
Selama ini, sang istri tidak pernah mengeluh; selalu terlihat baik-baik saja saat menjalani biduk rumah tangga mereka. Namun kenyataannya, dibalik ketegaran bahu yang selalu dipajang oleh Hana, wanita itu terlalu apik untuk menutupi retak yang tercipta.
"Cerai baik-baik kamu bilang?"
Yoga pernah kehilangan satu keping puzzle dalam kehidupannya, di mana dirinya tak lagi bisa menemukan kepingan itu untuk menyempurnakan puzzle-nya.
Dan kali ini, Yoga tak ingin bersikap bodoh untuk membiarkan puzzle-nya yang lain hancur atau bahkan menghilang; lagi. Tidak. Dirinya tidak akan membiarkan hal itu terjadi kembali.
"Kalau kamu capek," Yoga melangkah untuk menipiskan jarak keduanya, "berarti sekarang aku yang harus berjuang buat kamu."
Sesaat Hana merasa ciut saat mendapati kilat tatapan Yoga yang menajam. Kakinya refleks mengambil langkah mundur di saat sang suami terus saja mencoba untuk mendekatinya, membuat wanita itu terpojok dan mengempaskan tubuh di ranjang.
Yoga mengambil kesempatan itu dengan menyambar birai sang istri. Bahkan dirinya sudah memosisikan kedua tangan di wajah Hana, berusaha menahan gerakan memberontak yang dilakukan istrinya tersebut.
Hana tidak menyukainya. Dia tidak menyukai bagaimana Yoga terus saja menggoda bibirnya untuk terbuka, tidak membiarkan lidah pria itu masuk yang mungkin dapat meruntuhkan pertahanan libidonya.
Hana semakin memberontak, namun dirinya tak memiliki kuasa di saat tenaga Yoga yang tengah mengukungnya tentu saja lebih besar dibandingkan tenaga miliknya. Pria itu bahkan menulikan telinga di saat Hana terus saja memohon untuk berhenti.
Yoga juga tidak peduli dengan tubuhnya yang mungkin saja meninggalkan jejak memar setelah mendapatkan pukulan-pukulan dari tangan mungil sang istri.
Jika Hana menganggap apa yang dirinya lakukan adalah sebuah pemaksaan, biarlah wanitanya berpikir seperti itu. Yang jelas, Yoga sedang berusaha memperjuangkan rumah tangga mereka kembali dengan cara ....
"Lepas."
Terdengar nada vokal yang dingin dalam perintah tersebut. Namun yang dilakukan Yoga justru berkebalikan. Pria itu semakin mengeratkan pelukannya dari arah belakang; membiarkan pori-pori telanjang keduanya melekat satu sama lain.
"Minggir, Mas," usir Hana sembari menyikut perut Yoga. Kendati pria itu mundur perlahan, Yoga masih enggan melepaskan lengannya. "Aku mau minum pil."
"Nggak perlu," balas Yoga dengan cepat, bahkan dari nadanya terdengar begitu tegas. "Mulai sekarang kamu nggak perlu minum pil lagi."
Hana meremang saat mendengar ucapan pria itu, belum lagi di saat tangan suaminya yang mulai merambat ke arah perut miliknya; mengusapnya dengan perlahan.
Seketika Hana tersadar tujuan dari calon mantan suaminya tersebut.
"Semoga kamu cepet ada, Nak," gumam pria itu, yang tentunya didengar begitu jelas oleh rungu sang wanita.
***
YOU ARE READING
Jikalau [✔]
Short StoryApa yang akan kamu lakukan jika diberi kesempatan? [Sekuel dari Kali Kedua]