Pagi ini angin berhembus kencang. Terlihat dedaunan yang berserakan diatas batu-batu nisan yang ditumbuhi beberapa rumput liar. Namun bukan angin yang menjadikan mata ini kering, namun karena kesedihan yang menjadikan hati ini mengeras dan enggan menjatuhkan air dari sela-sela kelopak mataku.
Aku tatap kosong nisan di depanku. Tercium wangi bunga yang baru saja aku tabur di gundukan tanah yang tepat berada di depanku. Hari ini, tepatnya pada tanggal 23 Januari 2019 adalah hari yang paling menyedihkan bagiku. Bagaimana tidak? Hari ini adalah hari genapnya satu tahun kekasihku yang sangat aku cintai meninggalkanku.
Plak!!!
Satu daun berwarna kuning menghatam keras tepat di tengah-tengah wajahku. Menyadarkanku dari sebuah lamunan kosong tanpa makna dan tanpa guna di pagi hari ini.
Aku ambil daun tersebut yang masih setia menempel di wajahku karena kerasnya dorongan angin yang masih tak lelah untuk berhembus. Perlahan kubuka mataku tepat bersamaan dengan daun tersebut yang baru saja enyah dari wajahku. Tapi entah apa yang aku lihat. Sinar putih tiba-tiba menyilaukanku dan berhasil menculikku untuk kembali mengingat kejadian di masa lalu yang sangat menyakitiku.
***
Jam menunjukkan tepat pukul 13.00. Tidak seperti biasanya, Ulfa terlihat bergegas pulang karena tubuhnya yang dirasanya kurang fit hari ini. Namun ia kembali teringat saat kakinya berhasil menginjakkan diri di parkiran kampus. Motor berwarna putih yang selama ini setia menemaninya tidak terlihat olehnya. Dengan sangat lucu ia berucap sambil menepuk dahinya.
"Astagfirullahaladzim, aku lupa!"
"Assalamu'alaikum Ulfa," ucap Radit yang tiba-tiba hadir di sampingnya dengan motor berwarna merahnya.
"Wa'alaikumussalam. Eh Radit, ada apa ya?"
"Kamu tumben belum pulang?"
"Iya nih, aku lupa kalau tadi pagi motorku dibawa adekku dan tadi berangkatnya aku dianter. Eh malah kelupaan ke sini."
"Ya udah bareng aku aja yuk," ajak Radit.
"Em...gimana ya?"
Ulfa mulai menimbang-nimbang lagi tawaran Radit. Ia takut sakit kanker otaknya akan kambuh disini dan akan menyusahkan semua orang. Biasanya sih dia akan meneleponku untuk memintaku menjemputnya. Tapi sayang sekali ia teringat kalau aku siang ini aku baru saja selesai bekerja. Bayangan akan rasa capek yang aku alami membuatnya dengan segera mengiyakan tawaran Radit.
"Gimana Ulfa? Kamu mau?" tanya Radit lagi.
"E ... ya udah deh aku pulang bareng kamu aja."
Di tengah perjalanan Ulfa menuju rumahnya. Di situ pula aku melihatnya. Melihat sesuatu yang sama yang pernah aku lihat dan aku alami dulu. Tiba-tiba ingatan itu menghantuiku dan membuat emosiku memuncak bersama panasnya matahari di siang hari ini. Dengan kecepatan tiggi, aku mengejar motor berwarna merah itu. Tepat di jalan yang sepi aku berhasil membuatnya berhenti dengan memposisikan motorku tepat di hadapannya.
"Affan?" ucap Ulfa dengan nada terkejut.
Tanpa banyak bicara aku menggelandang kerah baju Radit dan membawanya tepat di tengah-tengah jalan raya. Satu, dua, dan tiga kali kepalan tanganku berhasil mendarat tepat di wajahnya tanpa adanya perlawanan sama sekali. Ulfa yang melihat hal itu pun teriak histeris dan berusaha meleraiku dengannya.
"Affan stop. Kamu ini apa-apa sih?" Ia menatapku dengan tajam.
Aku sama sekali tidak menggubris perkataannya. Aku hanya memegang erat pergelangan tangannya untuk kubawa menuju motorku. Ulfa yang hafal betul karakterku ia menjadi diam dan mengerti apa yang aku maksud.
Dia langsung naik ke motorku tanpa aku harus memintanya. Kini aku beralih untuk mengantarkan Ulfa ke rumahnya. Perjalanan kami begitu hening dan tanpa ada sepatah kata pun.
Sesaat setelah sampai di rumahnya aku langsung pergi begitu saja. Sesampainya aku di rumah, aku mendengar ponselku berkali-kali berdering. Dan yang sudah pasti bisa aku tebak siapa pelakunya. Tentu saja Ulfa. Keegoisanku dan kemarahanku telah mengalahkan segalanya. Sehingga aku tidak mengangkat telepon darinya.
Satu jam kemudian Kak Sofillah, kakaknya Ulfa datang. Ia bilang kalau Ulfa sedang sakit. Tapi aku sama sekali tidak mempercayainya. Bagiku itu semua hanya cara Ulfa agar mendapat maaf dariku.
Keesokan harinya Kak Sofillah datang lagi menemuiku. Aku yang seakan sudah tau apa yang mau ia katakan hanya memandang jenuh setiap langkahnya. Pasti hal yang sama seperti kemarin, pikirku. Tapi ternyata aku salah.
"Ada apa Kak? Permintaan Ulfa lagi?" ucapku tak bersemangat.
"Bukan. Ulfa udah meninggal dunia Fan."
Seketika dunia terlihat gelap. Aku terdiam bagaikan patung. Satu tetes air mata pun jatuh. Bersamaan dengan tububku yang sudah tak mampu lagi menopang dirinya. Akhirnya cahaya putih yang sama membuatku tersadar dari tidurku di gundukkan tanah yang di dalamnya ada kekasihku yang sangat aku cintai. Yang akhirnya membuat puluhan air mata berikutnya terjatuh tanpa bisa aku kendalikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kunang-Kunang di Balik Rinjani
General FictionTema "Masa Lalu" merupakan kumpulan karya indah yang terurai mengalir penuh makna dari sudut pandang beragam penulis. Masa lalu merupakan waktu yang telah berlalu dan tak dapat dirubah. Sebongkah penggalan kenangan yang tersimpan dalam ingatan. Namu...