Berat Tapi Bahagia(Jartika)

2 1 0
                                    

Saya, kamu, dan kita semua pasti pernah merasakan sedih, senang, duka, dan lara. Baik itu dulu, sekarang, dan yang akan datang. Karena sejatinya kehidupan tidak akan lepas dari dua musim ini kalau tidak sedih maka bahagia. Dua hal ini juga yang membuat kehidupan seakan berwarna dan menjadi penyemangat dalam menghadapi lika-liku silih berganti hari-hari yang dilewati.

Ada banyak hal masa lalu yang sudah dilewati, terkadang pahit yang menjadi obat untuk masa yang akan datang dan sebaliknya terkadang manis tapi menjadi tuba untuk masa sekarang. Ada yang harus dilupakan karena mengingatnya adalah penyesalan yang akan menusuk jiwa. Ada juga yang senantiasa diingat-ingat supaya menjadi nostalgia yang indah untuk dikenang dan diceritakan.

Banyak hal yang dulunya sangat sulit dan berat bagi diri ini untuk meninggalkan dan pergi jauh darinya. Namun satu hal yang membuat saya sadar kini bahwa seandainya saya tidak meninggalkan semua itu dahulu maka betapa hari ini saya tidak layak dan merasa saya tidak akan sebahagia sekarang. Dulu saya masih sama seperti teman-teman saya yang seolah kehidupan hanya untuk dinikmati sementara saja. Sehingga persepsi ini yang menjadi pengarah kaki melangkah.

Saya menghabiskan masa lalu hanya untuk hura-hura, bergaul bebas, berteman bebas, mengumbar aurat, sifat hedonis, prakmatis, individualis, dan bahkan sangat jauh dari Islam. Hidup dengan semua ini tentu bukan sebuah ketenangan yang lahir dari hati walaupun nampaknya bahagia, tren, memukau, dan gaul masa kini. Bergelumur dengan dosa adalah hal sangat biasa karena menganggap Islam sebagai agama yang hanya mengatur tentang ibadah mahda dan nafilah saja. Ternyata ini adalah persepsi yang salah dan berbahaya.

Sering sekali hidup terasa gelisah, masih kurang, pokoknya tidak akan pernah cukup dengan apa yang dimiliki dan apa yang dilakukan. Berpikir lagi sekarang sangat wajar kenapa remaja saya dulu sangat jauh dari Islam karna memang saya lahir dari keluarga yang notabene tidak paham akan syariat Allah sehingga saya diberi kebebasan untuk bergaul asalkan tidak kelewatan. Di samping itu semua tidak adanya lingkungan yang baik yang bisa membentuk saya menjadi pribadi taat pada Allah dan generasi cerdas penerus bangsa. Apalagi pelajaran yang ada di sekolah tidak pula menuntun saya untuk itu semua.

Sampai pada suatu ketika terbesit dalam hati keinginan untuk berubah dan bertaubat atau istilahnya "Hijrah". Namun yang namanya setan tidak akan pernah senang dengan pertobatan manusia, sehingga sangat sering sekali muncul perasaan takut, tidak pantas, melakukan hal baru, meninggalkan, dan susah apalagi harus cadaran (karna menganggapnya hijrah harus pake cadar).

Berkata hijrah, ada keyakinan yang akan pasti terjadi yaitu kehilangan apa yang saya lakukan hari itu baik itu teman, kebebasan, dan segala macam corak kebahagiaan semu ditambah lagi akan dihadapkan dengan berbagai cacian, aktivitas yang mulai di batasan dan sebagainya. Maka kebiasaan-kebiasaan ini yang membuat saya berat untuk menggapai perubahan yang hakiki. Ditambah lagi dengan teman-teman yang pasti sedikit demi sedikit mulai melepaskan genggaman tangan ini hanya karena perbedaan yang mulai muncul pada diri saya.

***

Saya mulai berhijrah pada saat masuk kuliah, "Telat banget kan?". Yang namanya kampus pasti tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan-kegiatan formal dan nonformal seperti organisasi, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), komunitas, dan kegitan lain yang mana di sana ada yang dituntut untuk ikut serta dan ada juga hanya sekadar penambahan pengalaman dan pemahaman. Saya sebagai anak kampus, kegiatan semacam ini sudah menjadi keharusan untuk ikut berpartisipasi paling tidak pada BEM Fakultas sendiri. Namun sayangnya kegiatan-kegiatan ini sangat tidak jarang akan terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang sebelumnya sudah dipahamkan kepada saya. Wajar saja karena memang sistem pendidikan hari ini tidak berlandaskan pada Islam. Hal itu membuat saya sangat sering tidak ikut serta dalam kegiatan walaupun itu terkadang diwajibkan. Alasan saya sih sederhana yaitu karena dalam kegiatan ini tidak akan bisa di pisahkan dengan aktivitas ikhtilad (campur baur antar laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) aktivitas lain yang menyalahi aturan islam. Hal sederhana inilah salah satu yang paling aneh menurut teman-teman saya.

"Banyak teman-teman kita yang bahkan bercadar tapi tidak menutup diri seperti kamu," ujar mereka.

Saya terdiam dan sesekali menjawab dengan niat menjelaskan pada mereka, "Ini adalah bagian yang memang sudah dibatasi oleh Islam dan tidak bisa kita larang sebagai hambanya walaupun nampaknya biasa-biasa saja kawan," kata saya. Banyak lagi cacian, makian remehan dari teman-teman dulu yang di serang kepada saya hari demi hari.

Bukan hanya teman-teman saja yang menolak perubahan saya atau lebih tepatnya tidak suka karena saya dianggap berlebihan dalam menjalankan agama ini tetapi juga lingkungan tempat saya tinggal. Cuaca di daerah saya yang sangat panas dan saya tinggal di kampung. Dalam terik mataharinya saya masih tetap memakai kaos kaki, jilbab (gamis) dan khimar (kerudung) dalam keadaan memotong padi (kegiatan saat balik ke kampung). Apa yang saya lakukan serentak mereka tertawa sambil menghina dan sangat menyakitkan bagi saya.

Mereka bilang, "Kamu mau motong padi atau mau ceramah, gausah bawa-bawa gaya kotamu ke sini! Ini kampung bukan kota! Muka pun pas-pasan nggak usah takut kena sinar matahari yang namanya anak petani gak usah banyak gaya!" Saya hanya bisa mengeluskan dada sambil berlinang air mata dan pergi dari tempat mereka.

Alhamdulillahnya saya tetap kuat dan istiqamah dengan pendirian ini. Karena memang saya orangnya komitmen banget dengan satu keputusan yang sudah saya ambil termasuk dalam berhijrah walaupun sering terjadi keinginan untuk mundur, lelah, menyerah, dan tidak jarang air mata jatuh serentak dengan ejekkan orang-orang di sekeliling saya. Tentunya kekuatan dan keistiqamahan ini tidak lain adalah karena doa orang tua, teman-teman saleh dan ustazah saya yang selalu memotivasi dengan ilmu yang beliau beri dan membimbing saya dalam proses ini. Beliau tidak pernah menuntut dan memaksa saya untuk menutup aurat dan tidak ikut pergaulan barat yang tidak sesuai Islam tapi cara beliau adalah dengan menguatkan pemahaman akidah sebagai akar kehidupan melalui proses berpikir atau mengubah mindset.

Semua lika-liku yang saya jalani terkadang membuat saya tersenyum-senyum sendiri dan bersyukur kepada Allah dan tidak lepas saya selalu mendoakan teman-teman saya bisa merasakan nikmat yang saya rasakan ini. Karena upaya saya hanyalah mendakwahkan mereka selebihnya masalah hidayah adalah kehendak Allah.

Saya kemudian mulai mendekatkan diri kepada AlQuran sebagai kitab saya, belajar di majelis-majelis ilmu, memperbanyak ibadah, memperbaiki hubungan dengan manusia, dan yang pasti memiliki sahabat baru yaitu sahabat shalihah.

Sekarang saya sangat bahagia berada dalam ketaatan walaupun banyak sekali rintangan dan kamu juga harus bahagia yaitu dengan ketaatan kepada hukum Allah. Kembali lagi bahwa apapun yang terjadi di masa lalu intinya sudah terlewatkan dan tidak akan bisa kita mengulang kecuali menjadikannya sebuah dorongan untuk lebih baik lagi di masa sekarang dan masa yang mendatang.


Kunang-Kunang di Balik RinjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang